Pekerja Rumah Tangga, Mengabdi Tanpa Payung Hukum
19 Juni 2025Kondisi ekonomi keluarga yang sulit menuntut Yuni Sri Rahayu, 43 tahun, untuk bekerja. Pada tahun 2010, ia memutuskan untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) atas informasi dari tetangganya.
"Jam kerja pada saat itu masih panjang, dari jam 07.00 sampai jam 19.00. Waktu itu karena kondisi ekonomi sedang sulit, suami sedang tidak bekerja, ya udah aku bekerja yang aku bisa karena untuk menyambung hidup," cerita perempuan yang akrab dengan panggilan Yuni saat mengenang saat pertama ia bekerja sebagai PRT.
Pahitnya bekerja sebagai PRT
Dalam kurun waktu 2010 hingga 2013, Yuni sering berpindah tempat dari satu majikan ke majikan lain. Pasalnya, ia kerap kali menerima berbagai kekerasan selama menjadi pekerja rumah tangga, mulai dari gaji yang tak dibayar hingga beratnya beban kerja.
"Waktu itu gaji dipotong Rp300 ribu karena telat lima menit, dan langsung di-PHK… Saya (sempat) bekerja dengan gaji Rp700 ribu, (bekerja) dari jam tujuh pagi sampai jam 7 malam dengan beban kerja yang berat, mulai dari pengasuhan anak, antar jemput anak, cleaning (membersihan rumah), terus bantu-bantu masak, cuci piring. Pokoknya semuanya. Liburnya itu cuma hari Minggu."
Yuni juga menuturkan jika ia pernah dua kali mengalami kekerasan seksual hingga Yuni mengalami trauma untuk beberapa waktu.
"Beberapa hari setelah kejadian, saya tetap masuk. Ada rasa takut, trauma kali, ya, setiap saya masuk lift, saya takut ada dia (pelaku) karena sempat diancam untuk tidak mengadu ke siapa pun," tutur Yuni di sela kegiatannya di Sekolah Pekerja Rumah Tangga Sapulidi.
Akibat kejadian tersebut, Yuni sempat menghindari bekerja pada majikan laki-laki yang lajang. Namun, ketakutan tersebut perlahan bisa ia lawan karena Yuni harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Berserikat adalah bentuk pelindungan bagi Yuni
Berbagai kekerasan yang Yuni terima selama bekerja mendorongnya bergabung dengan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi Jakarta. Melalui temannya, Yuni mendapat informasi tentang SPRT Sapulidi dan bagaimana organisasi tersebut membantu mengadvokasi berbagai masalah yang dialami oleh PRT.
"Tahun 2014 saya ketemu teman. Dia bercerita kalau dia bergabung dalam perkumpulan teman-teman PRT. Dari situ, aku ikut gabung dengan organisasi. Tujuannya, seandainya aku punya kasus mungkin aku bisa dibantu oleh organisasi ini… Buat aku, ini (organisasi) adalah bentuk pelindungan yang kuat."
Dengan berserikat, Yuni mengaku mendapat pengetahuan baru, mulai dari hak dan kondisi kerja layak bagi PRT hingga bagaimana bernegosiasi dengan majikan.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Kami belajar masalah gender, hak perempuan, kewajiban perempuan, dan kerja layak PRT tentunya, juga advokasi kasus…. Setelah saya berorganisasi, saya jadi bisa bernegosiasi tentang masalah THR dan BPJS ketenagakerjaan," Kata Yuni.
Setelah bergabung dengan SPRT Sapulidi, Yuni bahkan bisa melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi.
"Bagi pengurus yang aktif akan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi…Sekarang ini, saya sudah lanjut semester 6 dan sedang magang juga."
PRT, warga 'kelas dua' yang tak dilindungi negara
Kepada DW Indonesia, staf Divisi Advokasi Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Jumisih menyampaikan bahwa RUU Perlindungan PRT (PPRT) sudah mulai diajukan sejak tahun 2004. Sayangnya, RUU PPRT tak kunjung disahkan.
Padahal, jumlah PRT di Indonesia diperkirakan mencapai lima juta orang (Komnas Perempuan, 2023). Selain itu, JALA PRT mencatat sepanjang tahun 2017 hingga 2022, terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT di Indonesia. menurut Jumisih, PRT masih dianggap warga negara 'kelas dua' karena belum memiliki pelindungan hukum.
Hal ini diperlukan karena belum adanya pengakuan PRT sebagai pekerja oleh negara, termasuk hukum yang melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja. Hal ini diperlukan sebagai bentuk hadirnya negara di tengah relasi antara majikan dan PRT yang tidak seimbang.
"Ada relasi yang tidak imbang antara PRT dengan pemberi kerja sehingga supaya relasinya imbang, maka negara harus hadir, yaitu lewat hukum. Kalau ada hukum, maka ada birokrasi yang mengawasinya… Akan tetapi, selalu tergeser dengan kepentingan-kepentingan yang lain… Mau berapa lagi korban yang harus berjatuhan," kata Jumisih saat ditemui DW Indonesia di sekretariat JALA PRT di bilangan Jakarta Selatan.
Jumisih menyampaikan kalau salah satu faktor RUU ini tak kunjung disahkan adalah adanya kekhawatiran bahwa RUU ini nantinya akan memberatkan pemberi kerja sebagai pihak yang harus memenuhi hak PRT. Sementara itu, menurut Jumisih, rancangan UU Pelindungan PRT yang telah melewati lebih dari 50 kali revisi telah berupaya untuk mengakomodasi kepentingan PRT dan kepentingan pemberi kerja.
"Jika mengacu kepada draft terakhir, kan draft ini sudah direvisi sekitar 56 kali sejak tahun 2004, ini adalah draft yang paling sederhana, paling kompromistis…. Berdasarkan draft, RUU PPRT melindungi dua pihak, pihak pemberi kerja dan PRT sebagai pekerja. Jadi, kedua belah pihak bisa duduk setara untuk berunding dan bersepakat, maunya PRT apa, maunya pemberi kerja apa lalu dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis. Seharusnya, ini tidak terlalu mengkhawatirkan para pemberi kerja," terang Jumisih.
Di sisi lain, Yuni sebagai PRT berharap agar RUU PPRT segera disahkan sebagai bentuk pelindungan negara bagi para PRT.
"Semoga negara ini enggak abai dan benar-benar mengesahkan RUU PPRT. Jadi kami ada pelindungan yang tertulis dan diakui sebagai pekerja," ucap Yuni menutup perjumpaan dengan DW Indonesia.
Editor: Arti Ekawati