Perang Saudara Berkobar di Palestina
13 Juni 2007Politik barat yang tidak mengakui hasil pemilu demokratis, dan melakukan boikot ekonomi terhadap pemerintahan Palestina, dianggap sebagai pemicu eskalasi kekerasan. Juga sikap negara-negara Arab yang setengah hati dalam mencari pemecahan damai konflik di Timur Tengah, merupakan pemicu yang lainnya. Harian Swiss Tages-Anzeiger yang terbit di Zürich berkomentar : Boikot keuangan menimbulkan dampak mengerikan bagi ekonomi dan politik Palestina. Politik barat ini, memicu dinamika perebutan kekuasaan antara Fatah dan Hamas. Bagi perkembangan negativ ini, negara-negara Arab tidak mau memikul tanggung jawabnya. Tapi, barat terutama menuding Mesir dan Arab Saudi, sebagai tidak berusaha cukup banyak, untuk menciptakan saling pengertian diantara kedua partai, setelah tercapainya kesepakatan Mekkah.
Sementara harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma menulis komentar yang lebih banyak menyalahkan Iran dan Suriah. Dalam tajuknya harian ini menulis : campur tangan pihak luar mengobarkan perang di Jalur Gaza. Tapi kita juga harus ingat, perang saudara itu memiliki masa inkubasi cukup lama. Puncaknya adalah kemenangan Hamas dalam pemilu parlemen tahun 2006 dan boikot ekonomi barat, yang semakin melemahkan pemerintahan otonomi dari gerakan Fatah yang sudah kehilangan kepercayaan rakyatnya. Sementara Hamas, yang dituding sebagai gerakan Islam radikal, mendapat legitimasi dengan perolehan suara mayoritas dari rakyat Palestina. Selain itu, Hamas juga mendapat dukungan ekonomi dan politik dari Iran dan Suriah.
Harian konservatif Austria Die Presse yang terbit di Wina, berkaitan dengan eskalasi di Jalur Gaza itu, dalam tajuknya menulis : Semakin kecil ruang gerak bagi tercapainya pemecahan damai di Timur Tengah. Pimpinan Hamas dan Fatah terus diimbau untuk mengendalikan para pengikutnya. Akan tetapi, mereka tidak mau dan dalam sebagian kasus tidak mampu. Juga Israel sebetulnya dapat memberikan kontribusinya untuk meredakan ketegangan. Antara lain dengan melonggarkan larangan bepergian dan mencairkan uang pajak hak warga Palestina. Akan tetapi, langkah serius semacam itu untuk proses perdamaian, saat ini hanyalah fantasi. Penyebabnya, di satu sisi Israel kini dipimpin PM paling lemah sejak 1948. Dan di sisi lainnya, PM Palestina dari gerakan Hamas, lebih suka melukai dirinya, sebelum bersedia mengakui hak eksitensi Israel.
Dan terakhir harian liberal Inggris The Guardian yang terbit di London berkomentar : Hamas dan Fatah mencoba untuk saling menghancurkan. Padahal, semakin lama destabilisasi dan kekerasan berlangsung, semakin besar kehancuran bagi warga di Jalur Gaza dan Palestina secara umum. Hamas dan Fatah seharusnya ingat, mereka diberi kekuasaan untuk mengabdi kepada rakyatnya, dan bukannya untuk kepentingan sendiri. Mereka juga seharusnya berjuang untuk mendapat dukungan internasional, bagi eksistensi rakyat dan negara Palestina.