Pengosongan Jalur Gaza dan Kesepakatan Damai RI-GAM
15 Agustus 2005Pemerintah Israel memenuhi janjinya untuk mengosongkan pemukiman Yahudi di Jalur Gaza, setelah berbulan-bulan diwarnai pertikaian politik. Mengenai hal itu harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma menulis:
"Sejarah panjang pemukim Yahudi merupakan tantangan terhadap sistem demokrasi Israel. Penarikan dari Jalur Gaza telah mempertajam konflik legitimasi politik dan religius dalam kehidupan institusi Israel. Setelah Rabin, pada waktu bersamaan terlihat kembali risiko keselamatan yang mengancam seorang perdana menteri. Israel nampaknya sedang menjalani detik-detik dramatis dalam sejarahnya."
Sementara itu harian Amerika Serikat New York Times berkomentar:
"Gaza selalu merupakan contoh gagalnya politik pemukiman Israel. Perdana Menteri Ariel Sharon sudah semestinya diberi ucapan selamat karena berani mengambil langkah yang seharusnya sudah dilakukan pendahulunya. Namun yang nampak sekarang dengan penarikan dari Jalur Gaza adalah, Sharon berpikir untuk menguatkan posisinya di Tepi Barat Yordan. Pendukung penarikan di Partai Likud mengingatkan Sharon, bahwa penarikan itu bukanlah awal melainkan satu-satunya langkah yang harus dilakukan. Orang percaya jika Sharon berusaha menukar Gaza dengan Tepi Barat Yordan. Amerika Serikat tidak akan setuju dengan langkah tersebut. Bush harus menerangkan kepada Sharon penarikan dari Jalur Gaza merupakan langkah pertama. Sharon harus diperingatkan, jika ada peluang damai dapat diberikan, maka harus ada langkah-langkah berikut yang harus dilakukan."
Pengosongan pemukiman Yahudi di Jalur Gaza menghapus Sharon dari mitos para pemukim. Demikian komentar harian Swiss Le Temps yang terbit di Jenewa. Kami kutip:
"Para pemukim Yahudi di jalur Gaza kini kembali ke pangkuan tanah air mereka. Penarikan dari Jalur Gaza seharusnya mengikis kenangan buruk para pemukim. Tapi apa langkah Sharon selanjutnya? Orang tidak semestinya terus mengingat berbagai peristiwa tragis yang terjadi di Gaza melainkan memikirkan apa yang menjadi dasar konflik antara Israel dan Palestina."
Harian General Anzeiger yang terbit di Bonn juga menulis tentang dimulainya penarikan pemukim Yahudi dari Jalur Gaza. Berikut komentarnya:
"Masih terlalu dini untuk menorehkan tinta sejarah atas pengosongan Jalur Gaza yang dilakukan Sharon. Terlihat manuver Sharon untuk keluar dari masalah tersulit namun masih menghasilkan sesuatu. Hal ini menghasilkan risiko besar dalam politik dan pribadinya, yang sangat dikuatirkan para pendahulunya, yaitu mengevakuasi para pemukim Yahudi tanpa ada pertikaian dengan orang Palestina."
Tema kedua, yakni penandatanganan nota kesepahaman damai antara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan yang dilaksanakan Senin (15/08)pada Senin telah menjadi tema di beberapa media massa di Indonesia. Harian Media Indonesia menulis:
"Memang ada pro kontra selama proses perundingan. Namun, marilah kita semua melihat dari kacamata yang elbih luas, bahwa Aceh telah hidup dalam horor perang saudara selama 30 tahun. Sudah 15 ribu manusia tewas karena pandangan yang berbeda dalam kurun waktu itu. Jika perdamaian tidak lekas dimulai, pastilah Aceh yang telah luluh lantak karena gepa dan tsunami, bakal kian menderita."
Dalam menyikapi peristiwa yang sama, Harian Republika memberikan komentar:
"Penandatanganan kesepakatan damai tentu bukan segala-galanya. Ia hanya merupakan langkah awal menciptakan perdamaian. Langkah berikutnya sangat ditentukan oleh pihak-pihak, terutama pihak GAM dan Pemerintah Indonesia, untuk menaati butir-butir draf kesepakatan damai itu. Meski ada pengamat dan pemantau asing, kesepakatan itu hanya tinggal di atas kertas manakala tidak diterjemahkan di lapangan. Tidak diikuti dengan tindakan nyata yang mendukung terciptanya perdamaian.
Semoga kesepakatan damai yang ditandatangani hari ini menjadi hadiah berharga bagi seluruh rakyat Aceh menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-60. Ini sebagaimana rakyat Aceh juga telah menghadiahkan pesawat Seulawah sebagai pesawat pertama Republik Indonesia ketika baru merdeka."