Penduduk Kota Gaza Berpasrah Nasib di Tengah Serangan Israel
9 September 2025Fadel al Otol terus mengikuti berita dari kampung halamannya di Jalur Gaza sepanjang waktu.
"Hati saya menangis untuk Gaza. Saya tidak tahu nasib apa yang menanti warga di sana,” ujar arkeolog ternama itu kepada DW lewat sambungan telepon dari Jenewa.
Dia berhasil meninggalkan Kota Gaza beberapa bulan lalu, namun seperti banyak warga Gaza lain di luar negeri, dia selalu terpaku pada kabar dari tanah kelahiran. Sang arkeolog mengaku khawatir atas nasib putri dan keluarganya, serta warga lain yang masih bertahan. Dia juga mencemaskan kondisi situs-situs bersejarah yang selama puluhan tahun berusaha dia lestarikan, sementara serangan Israel terhadap Kota Gaza terus berlangsung.
"Gaza adalah tanah budaya dan buaian peradaban,” katanya.
Namun, baginya bukan hanya soal "peninggalan kota sejak 3500 SM yang kini hancur.”
Dia khawatir seluruh kawasan bersejarah dan kehidupan masyarakatnya ikut musnah — seperti kawasan tua Zaytoun di Gaza, dengan Masjid Al Omari yang berusia ribuan tahun serta dua gereja di sekitarnya.
Kota Gaza adalah salah satu kota tertua di dunia dengan sejarah panjang penaklukan dan pendudukan. Kini, banyak pihak khawatir invasi Israel ke kota Mediterania yang dulu ramai itu akan membawa kehancuran dan memaksa penduduk kota terusir selamanya.
Sebagian besar wilayah Jalur Gaza sudah ditetapkan sebagai "zona merah” oleh Israel yang wajib dievakuasi. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 80% kawasan tersebut kini tidak lagi dapat diakses oleh warga Palestina.
Pada Kamis (4/9), militer Israel mengumumkan telah menguasai 40% Kota Gaza dan berencana mebinasakan Hamas, yang memicu perang dengan serangan 7 Oktober 2023. Kini, militer Israel mulai menyasar gedung-gedung tinggi terakhir yang masih berdiri di kota tersebut.
Banyak warga Palestina di Kota Gaza yang tidak lagi ingin mengungsi dan berpasrah nasib di tengah serangan mematikan Israel
‘Ini masa tersulit yang pernah dialami Gaza'
Di Kota Gaza, Amjad Shawa, kepala PNGO, sebuah jaringan lembaga swadaya Palestina, setiap hari mengukur situasi. "Orang-orang dihadapkan pada keputusan mustahil: ke mana harus pergi dan kapan harus meninggalkan rumah,” ujarnya lewat telepon, diiringi dentuman ledakan di kejauhan.
Shawa dan keluarganya sempat mengungsi ke selatan pada awal perang, bulan Oktober 2023, ketika Israel mengeluarkan perintah pengungsian pertama. Mereka baru bisa kembali saat gencatan senjata singkat pada Januari lalu.
"Ini masa yang menakutkan. Saya pikir ini masa tersulit yang pernah dialami Gaza. Situasi yang menyedihkan,” katanya, menambahkan bahwa serangan Israel datang dari segala arah.
Dalam beberapa hari terakhir, militer Israel meningkatkan gempuran dalam upaya memaksa sekitar 1 juta warga keluar dari kota, sebelum pasukan darat masuk lebih dalam ke kawasan utara dan timur, menghancurkan lebih banyak rumah.
Pekan ini (2/9), seorang juru bicara militer Israel meminta warga mengungsi ke wilayah Muwasi dekat Rafah di Gaza selatan, yang diklaim lebih aman meski berulang kali dibom.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Kelaparan diumumkan
Sedikitnya 63.500 warga Palestina telah tewas menurut Kementerian Kesehatan Gaza, dengan kemungkinan lebih banyak lagi yang tertimbun reruntuhan. Jumlah tersebut dianggap kredibel oleh organisasi internasional termasuk PBB.
Semakin banyak kelompok hak asasi dan pakar menyatakan Israel melakukan genosida di Gaza. Pada tahun 2024 Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan tuduhan Israel melakukan genosida di Gaza bukan lagi sekedar tuduhan, melainkan dugaan yang "masuk akal.”
Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza dikabarkan kian memburuk. Para pekerja kemanusiaan seperti Shawa mengatakan distribusi bantuan hampir mustahil dilakukan, meski dapur umum terkadang masih beroperasi.
"Kapasitas kami sangat terbatas, terutama LSM lokal yang kini bekerja di lapangan,” ujarnya.
Pada akhir Agustus, lembaga pemantau kelaparan global IPC yang didukung PBB menyatakan telah terjadi kelaparan di Gaza yang "sepenuhnya akibat ulah manusia," terutama blokade Israel dan pembatasan distribusi bantuan.
Perang yang berkecamuk membuat evakuasi dengan berjalan kaki sangat sulit, apalagi bagi anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Pengungsian tanpa tempat aman
Hampir seluruh penduduk Gaza kini mengungsi, banyak di antaranya berkali-kali.
"Soal tempat berlindung, kami tidak punya apa-apa untuk diberikan. Ribuan keluarga hidup di jalanan tanpa tenda,” kata Shawa.
Tidak ada pilihan baik, ujar Sham Mahmoud, seorang ibu dua anak, kepada DW lewat telepon.
"Kami mendengar ledakan sepanjang waktu, baik di Jabalia, wilayah timur, atau Kota Gaza sendiri,” kata Mahmoud, yang kini tinggal di kawasan utara Kota Gaza.
Keluarganya pernah mengungsi ke selatan pada tahun pertama perang dan tidur di tenda hampir sepanjang waktu. Kini ia bingung apakah harus pindah ke barat Kota Gaza atau kembali ke selatan. Transportasi dan biaya sewa kamar menjadi kendala besar, karena kebanyakan orang sudah kehilangan sumber pendapatan.
"Menyewa tempat di selatan mustahil, harganya sangat tinggi,” ujar Mahmoud. "Suami saya tidak bisa membayar, bahkan untuk satu kamar pun, yang biayanya minimal 1.000 Shekel Israel (Rp4,8 juta) per bulan.”
Dia mengaku keluarganya sudah kehabisan pilihan.
"Anak-anak saya hidup dalam ketakutan, terutama di malam hari, karena suara ledakan. Tapi pengeboman ada di mana-mana, bahkan di selatan,” kata Mahmoud, 30 tahun. "Saya tidak ingin mereka terpapar bahaya dan kematian.”
Dalam beberapa pekan terakhir, pengungsi dari utara pindah ke barat kota, seperti ke kawasan Rimal, lalu mendirikan tenda atau membuat rumah darurat. Sebelum perang, kawasan elit di tepi pantai Mediterania itu dihuni hotel dan restoran.
Dulu, koridor tepi laut dan pantai menjadi tempat populer untuk melepas penat dari tekanan hampir dua dekade pemerintahan otoriter Hamas dan penutupan ketat Israel atas darat, udara, dan laut.
Meski nelayan Palestina sudah lama dibatasi oleh angkatan laut Israel, sebuah perintah baru pada Juli menutup total akses laut, bahkan berenang pun dilarang. Kini pantai penuh tenda pengungsi.
Rasa putus asa meluas di Kota Gaza
Tidak jelas apa yang akan terjadi pada mereka yang menolak meninggalkan Kota Gaza. Beberapa laporan media Israel menyebut mereka yang tetap tinggal bisa dianggap kombatan dan menjadi target. Setelah hampir dua tahun perang, rasa keputusasaan dan kelelahan meluas.
"Saya akan menetap di Kota Gaza selama mungkin. Saya tidak ingin kembali hidup di tenda. Pengeboman ada di mana-mana, tidak banyak bedanya,” kata Ezzedine Mohammed, 41 tahun, kepada DW dari Kota Gaza. Dia dan keluarganya sempat dipaksa mengungsi ke selatan pada awal perang. Pada Januari, mereka kembali ke utara.
"Hidup benar-benar menakutkan. Setiap hari ada kematian, ada rasa takut mati, dan rumah-rumah terus dihancurkan,” ujarnya.
Hal itu diamini oleh Shawa.
"Gaza sudah menjadi makam bagi orang-orang terkasih, kenangan, dan mimpi kami. Secara pribadi, saya tidak akan menyerah, Gaza tetap Gaza bagi saya,” katanya. "Tapi bagaimana dengan generasi berikutnya, anak-anak yang sudah mengalami penderitaan yang seharusnya tak pernah mereka alami?”
Bagi arkeolog Fadel al Otol, tidak ada keraguan bahwa dia ingin kembali. Namun ia tahu, segalanya tidak akan sama.
"Gaza akan menjadi kota yang sedih, bahkan jika dibangun kembali,” ujarnya. "Batu bisa dibangun lagi, tetapi membangun peradaban butuh waktu bertahun-tahun.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: