Penduduk Gaza Harus Bertahan dalam Kegelapan
12 Desember 2008Sorot lampu senter besar bergoyang-goyang mendahului langkah kaki Abed el deim Abu Medean. Pria kurus berambut putih dengan janggut terawat itu adalah satu dari sedikit tuan tanah kaya di Jalur Gaza. Dia berjalan di depan, memimpin para pengunjung melintasi lapangan gelap menuju gudang persediaan dan peralatan. Semua orang di sini menderita akibat blokade Israel, kata Abed sambil membuka pintu besi untuk menunjukkan tanki generator miliknya.
"Tangki ini saya beli 20 tahun silam dengan harga 700 Dolar. Kalau saya mau menjualnya sekarang, banyak orang yang mau membeli dengan 10.000 Dolar. Kosong. Tanpa diesel!" Ungkap Abed.
Waktu menunjukkan setengah tujuh malam. Sudah 1 jam langit gelap bertabur bintang menaungi kebun jeruk milik Abed. Perjalanan dengan mobil dari Gaza City ke tanah miliknya memakan waktu lebih lama dari biasanya, karena hampir semua rumah di sepanjang jalan berselimut kegelapan. Anak-anak muda bergerombol di tengah jalan gelap. Tak ada lentera jalan yang menyala. Sesekali, muncul mendadak dari kegelapan, gerobak keledai yang dikendalikan anak-anak berusia 10 atau 12 tahun. Mobil berjalan lambat menuju selatan.
Seperti biasanya di musim dingin, setiao Kamis malam, Abed mengundang sejumlah pekerja ladangnya untuk pertemuan mingguan, di sebuah rumah kaca kosong dengan satu-satunya bola lampu yang menyala dari listrik yang dihasilkan generator. Hadirin, tak lebih dari 10 orang, duduk di kursi-kursi plastik. Dua ceret teh menggantung di atas tungku kayu.
Hani Abu Askol, ayah dari 10 anak menceritakan, "Anggota keluarga saya sekarang tengah duduk-duduk di halaman atau di dalam rumah dengan lampu gas. Di sekelilingnya anak-anak sekolah berkumpul, masing-masing berusaha mendapat tempat yang paling menguntungkan. Mereka membawa bolpen, kertas dan buku, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan menyiapkan pelajaran esok."
Setiap hari, istri Askol bangun pukul 5 pagi dan menyiapkan sarapan, biasanya dari kentang dan tomat. Makanan selain itu, sulit didapat.
Seorang pria lain, Abed el Ruhman, tampak masih gagah di usia kepala 50. Ia bekerja sebagai penjaga di sekolah dasar. Perubahan mencolok pada sikap murid-murid sejak Israel memblokade total Jalur Gaza, empat bulan yang lalu, tak luput dari pengamatannya.
"Anak-anak yang harus bangun pagi-pagi itu, menghabiskan waktu di malam hari dalam kegelapan. Tidakkah mereka lalu sepanjang hari memikirkan, mengapa mereka harus melewatkan sepanjang malam dalam kegelapan? Siapa yang harus bertanggungjawab? Mengapa, karena apa, atas alasan apa orang berbuat begitu?"
Sekitar pukul 10 malam, pertemuan berakhir. Tamu-tamu berpamitan pada Abed si tuan tanah dan berjalan kaki menembus kegelapan, kembali ke rumah masing-masing. Abed menyalakan senter dan berkeliling sekali lagi sebelum kemudian, dengan suara gaduh, mengunci gudang. (rp)