Pendidikan Seks di Indonesia: Antara Tabu dan Asa
12 Agustus 2025Di banyak ruang kelas di Indonesia, pendidikan seks masih menjadi topik yang dihindari dan begitu tabu untuk dibicarakan. Akibatnya, mayoritas remaja tumbuh tanpa pengetahuan dasar soal tubuh dan sistem reproduksi.
Faktanya, menurut penelitian oleh Universitas Diponegoro pada 2024, 84 persen remaja di Indonesia belum pernah mendapatkan pendidikan seks yang layak secara formal.
Minimnya pendidikan seks secara formal telah berdampak nyata. Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) pada remaja Indonesia berusia 15 hingga 19 tahun di tahun 2024 melonjak hingga 78 persen dibanding tahun 2022. Data tersebut dibeberkan Kementerian Kesehatan RI pada Juni 2025 dalam konferensi pers daring Temu Media Program HIV dan Infeksi Menular Seksual Kementerian Kesehatan.
Menurut Kemenkes, salah satu faktor utama yang menyebabkan lonjakan tersebut adalah kurangnya pengetahuan seksual dan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Padahal, Kemenkes sendiri sebenarnya sudah memiliki modul pendidikan seks dan kesehatan reproduksi dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Namun, menurut dr. Dyana Safitri selaku asisten profesor obstetri ginekologi dari Universitas Pelita Harapan, modul tersebut belum tersebar merata ke seluruh pelosok negeri.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Masalahnya, modul yang dibuat tersebut belum diakses secara luas. Meski sudah ada fasilitator pendidikan seks tingkat nasional, tapi ini belum dijalankan sampai ke tingkat lokal atau provinsi," ujar dr. Dyana Safitri kepada DW Indonesia.
Selain akses yang belum merata, stigma juga memperparah situasi. Pendidikan seks sebenarnya menjadi tanggung jawab para orang tua untuk mengajarkan pada anak, tetapi rasa malu dan canggung membuat orang tua enggan membicarakan seks dengan anak, tambah dr. Dyana. Hal ini juga berkontribusi pada minimnya pengetahuan seksual di kalangan anak muda.
Membagikan pengetahuan seksual lewat media sosial
Di tengah minimnya akses pendidikan seks secara formal, beberapa anak muda mengambil inisiatif. Salah satunya adalah Alvin Theodorus.
Bersama ketiga teman sebayanya, Alvin, 28, mendirikan Tabu (@tabu.id) pada 2018, sebuah platform di Instagram yang membagikan pengetahuan seksual lewat konten-konten yang mudah dipahami remaja. Kini, akunnya telah tumbuh pesat dan memiliki lebih dari 110 ribu pengikut.
"Waktu itu kami melakukan riset, dan sadar bahwa isu IMS dan kehamilan yang tidak diinginkan masih belum banyak ditangani. Dari situlah kami sadar bahwa pendidikan seks itu penting, karena di negara lainnya yang mewajibkan pendidikan seks, kasus-kasus tersebut justru menurun," ungkapnya kepada DW Indonesia.
Menurut Alvin, isu seksualitas dan kesehatan reproduksi masih jarang dibahas di Indonesia karena dianggap sebagai hal tabu.
"Ketika kita mengucapkan nama organ penis atau vagina, itu dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Ketika dari nama organ saja sudah ditutup-tutupi, maka akan muncul konsekuensi untuk topik-topik selanjutnya," ujar Alvin.
Untuk mendobrak stigma tersebut, ia berusaha membumikan pendidikan seks melalui konten-konten yang dibuat. Beberapa strateginya yakni menggunakan budaya populer, meme, serta mengemasnya dengan desain menarik.
Namun, Alvin dan teman-temannya masih merasa harus berhati-hati ketika mendiskusikan beberapa topik sensitif, seperti aktivitas seksual maupun identitas seksual.
"Kami enggak pernah membicarakan sesuatu dari posisi yang judgemental, jadi kami enggak pernah bilang apakah suatu hal itu salah atau benar, tapi kami tuliskan faktanya seperti apa. Kami juga melarang harm di akun kami, dan tidak membolehkan pengguna untuk menyakiti atau menghina,"
Pada 2021, platform Tabu pun bertransformasi menjadi sebuah yayasan yang bernama Yayasan Tabu Indonesia Berdaya. Melalui yayasannya, mereka gencar menjalankan berbagai program pendidikan seks, seperti kunjungan ke berbagai sekolah hingga bekerja sama dengan komunitas lain.
Pendidikan seks cuma soal aktivitas seksual
Menurut Alvin, masyarakat Indonesia sering kali salah kaprah dan menganggap bahwa pendidikan seks hanya soal aktivitas seksual. Padahal, pendidikan seksual juga membahas hal lainnya, seperti pubertas dan gender.
Namun, pendidikan seksual yang diajarkan di sekolah biasanya hanya berfokus pada anatomi dan kesehatan reproduksi. Topik lain yang juga krusial seperti gender, kekerasan, hingga relasi justru hampir tak pernah dibahas.
"Pendidikan seksual itu juga tentang cara berkomunikasi secara asertif serta nilai dan harga diri seseorang terhadap dirinya sendiri dan relasi sosial. Jika kita memahami nilai yang kita miliki, maka kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Lewat pendidikan seksual juga kita akan lebih memahami dan menjaga hak-hak kita sebagai manusia," jelas dr. Dyana.
Menurutnya, pendidikan seksual tidak hanya dapat menurunkan kasus IMS dan kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga bisa mencegah hubungan toksik serta kekerasan berbasis gender.
Penggunaan pendidikan seksual untuk mencegah kekerasan berbasis gender juga disebutkan dalam laporan berjudul Comprehensive Sexuality Education as a Strategy for Gender-Based Violence Prevention yang dirilis oleh United Nations Population Fund (UNFPA) pada 2021. Dalam laporan tersebut, pendidikan seksual komprehensif disebut dapat menjadi strategi utama pencegahan kekerasan berbasis gender, terlebih jika diajarkan kepada anak sedini mungkin oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar.
Remaja saat ini, calon orang tua di masa depan
Pendidikan seks di Indonesia tampaknya masih harus menempuh perjalanan panjang dalam menghadapi berbagai fenomena yang kompleks, jelas dr. Dyana.
Salah satu isu yang kerap disorot adalah kehamilan remaja. Data Bank Dunia 2023 mencatat, sekitar 26 dari 1.000 perempuan di Indonesia hamil pada usia remaja. Meski begitu, perlu diketahui bahwa tidak semua kehamilan remaja terjadi di luar pernikahan, tapi banyak yang terjadi dalam praktik pernikahan dini.
"Ada stereotip bahwa menikah lebih baik daripada berzina. Daripada pacaran, lebih baik langsung menikah. Kalau begini, yang perlu dididik bukan anaknya, tapi orang tuanya," ungkapnya.
Tak hanya itu, fenomena pernikahan transaksional juga menjadi persoalan serius yang berkaitan erat dengan kondisi ekonomi. Pernikahan ini kerap terjadi ketika keluarga menghadapi kesulitan finansial, sehingga memutuskan untuk menikahkan anak perempuannya di usia belia. Harapannya, hal tersebut dapat mengurangi beban keluarga.
Menurut dr. Dyana, berbagai persoalan tersebut mencerminkan kompleksitas pendidikan seks di Indonesia yang tidak hanya berkutat pada masalah IMS atau kehamilan tak diinginkan, namun juga berkaitan dengan tantangan berlapis yang mengakar dari budaya, norma sosial, hingga ekonomi.
"Memang fenomenanya kompleks, tapi bukan berarti pendidikan seks pada remaja itu sia-sia. Mereka adalah calon orang tua di masa depan. Jadi harapannya, kalau kita mulai mengajarkan pendidikan seks pada mereka, ke depannya pun mereka bisa menormalisasikan pembicaraan ini kepada anak-anak mereka," tambahnya.
Editor: Arti Ekawati