Pembalut Kain: Solusi Iklim buat Nelayan Perempuan Demak
1 Juli 2025Sesaat setelah matahari terbit, Laksmi, 42, mulai menyiapkan perahu kecil serta jaringnya. Berbekal umpan dan topi caping, ia bergegas mengarungi laut yang terletak persis di depan rumahnya. Targetnya, mendapatkan rajungan dan kepiting.
Di Desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah, setidaknya ada 16 perempuan yang bekerja sebagai nelayan. Kebanyakan dari mereka mulai menekuni pekerjaan ini untuk membantu menambah penghasilan suaminya sebagai nelayan yang kian menurun. Pasalnya, desa ini telah dikepung air laut dan nyaris tenggelam.
Banjir rob pertama kali terjadi di Timbulsloko pada 2012 akibat abrasi, kenaikan permukaan laut, serta pengambilan air tanah oleh aktivitas industri yang intensif di sepanjang pantai utara Jawa.
Kini, tinggi banjir rob telah mencapai lebih dari 3 meter ketika air pasang. Seiring berjalannya waktu, penghasilan Laksmi dan nelayan perempuan sekitar menurun drastis.
"Dulu sebelum rob, bisa sampai Rp200.000 per hari. Sekarang kalau tangkapannya sedang sedikit, hanya dapat Rp45.000 sampai Rp60.000 ribu per hari," ujar Laksmi kepada DW Indonesia.
Kesulitan membeli pembalut sekali pakai
Menurunnya penghasilan Laksmi memaksanya lebih selektif dalam membeli kebutuhan sehari-hari. Salah satu kebutuhan yang ia korbankan adalah pembalut.
"Beli pembalut ya pengeluarannya cuma sedikit sih, Rp5.000 per bulan. Tapi sayang, uangnya bisa buat jajan anak," ucapnya.
Laksmi biasanya membeli satu bungkus berisi delapan pembalut sekali pakai. Masalahnya, ia membutuhkan minimal empat belas pembalut untuk periode menstruasinya yang berlangsung selama satu minggu.
"Saya cuma pakai pembalut empat hari. Sisanya, saya tambal pakai kain di rumah," jelasnya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Selain beban finansial, beberapa warung di desa juga kesulitan menyetok pembalut sekali pakai ketika banjir rob menghadang. Lokasi desa yang terisolasi serta infrastruktur yang kurang memadai menjadi tantangan bagi akses kesehatan reproduksi untuk perempuan pesisir.
"Dulu, sebelum dibangun jembatan dan ada perahu, kalau mau belanja harus jalan kaki melewati banjir. Waktu itu saya kehabisan pembalut, terpaksa mencebur ke laut. Seluruh tubuh basah sampai paha. Sesampainya di warung, semua stok pembalut habis," kata Laksmi.
Pembalut kain jadi solusi perempuan pesisir
Sulitnya akses terhadap kesehatan reproduksi di pesisir Demak membuat Masnuah, 51, tidak tinggal diam. Sebagai ketua komunitas nelayan perempuan Puspita Bahari di Demak, ia berinisiatif memproduksi pembalut kain bersama anggota komunitas lainnya.
"Desa-desa pesisir di Demak sudah mulai tenggelam, sehingga mempersulit perempuan untuk memiliki kesehatan reproduksi yang baik. Pembalut kain jadi inisiatif untuk meringankan beban perempuan pesisir yang terdampak banjir rob sebagai kebutuhan dasar," jelas Masnuah.
Komunitas Puspita Bahari bekerja sama dengan Biyung, sebuah organisasi berbasis di Yogyakarta yang berfokus pada keadilan menstruasi. Puspita Bahari menjual pembalut kain tersebut ke publik secara online dan offline, dan mendonasikan sisa profitnya kepada perempuan pesisir di Demak.
"Satu kantong berisi tiga pembalut, harganya Rp100.000. Dari hasil penjualan per kantong, bisa untuk mendonasikan 1 pembalut kain untuk perempuan pesisir yang membutuhkan," ungkapnya.
Selama setahun ke belakang, Masnuah dan komunitasnya telah memproduksi 1000 pembalut dan membagikannya ke 300 perempuan di pesisir Demak, mulai dari desa Timbulsloko, Morodemak, Margolinduk, dan Purworejo.
Salah satu penerimanya adalah Laksmi. Sejak menggunakan pembalut kain, ia bisa menabung lebih banyak untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau perlengkapan melaut yang lebih memadai.
"Awalnya, memang rasanya mengganjal, ketebalan, tapi lama-lama nyaman, sih. Pembalut kain kan jauh lebih tebal, jadi kalau harus berenang di laut lebih enak, kalau pembalut sekali pakai pasti langsung hancur kalau kena air," ujar Laksmi.
Laksmi dan semua perempuan di desa Timbulsloko telah menggunakan pembalut kain selama satu tahun terakhir. Bahkan, kini tidak ada lagi warung di sana yang menjual pembalut sekali pakai.
Krisis iklim dan kesehatan reproduksi perempuan
Sebelum perempuan pesisir di Demak menggunakan pembalut kain, sanitasi menjadi salah satu masalah yang sering kali luput dari perhatian masyarakat.
Dengan naiknya permukaan laut, hampir seluruh rumah di Timbulsloko telah menaikkan fondasinya agar tidak tenggelam. Meski begitu, tidak ada tempat pembuangan sampah yang memadai karena seluruh area desa telah tergenang air laut. Oleh karena itu, perempuan di desa sering kali membuang pembalut sekali pakai secara langsung ke laut di area pemukiman warga.
"Dulu, budayanya teman-teman perempuan itu membuang pembalut sekali pakai di perairan sekitar dengan dibungkus plastik, jadi tidak ramah lingkungan juga. Dengan adanya pembalut kain yang lebih ramah lingkungan, mereka tidak perlu membuangnya di lingkungan yang sudah tenggelam ini," jelas Masnuah.
Menurut pakar kesehatan reproduksi sekaligus bidan Natalia Debora, penggunaan pembalut kain bisa menjadi salah satu langkah aktif untuk meminimalkan sampah.
"Dengan adanya perubahan iklim, kita mulai sadar bahwa sampah juga menjadi tanggung jawab kita, sehingga pembalut kain ini bisa jadi pilihan untuk kita yang mau belajar zero waste," ucapnya kepada DW Indonesia.
Selain persoalan sampah, akses air bersih juga menjadi isu yang tak kalah penting. Beberapa warga di Timbulsloko harus menggunakan kamar mandi umum desa karena kamar mandi di rumahnya telah tenggelam oleh banjir rob.
Riset tahun 2024 yang dilakukan Ipas, sebuah organisasi nonprofit internasional yang berfokus pada kesehatan reproduksi, menyebut bahwa minimnya akses terhadap sanitasi dan air bersih merupakan salah satu efek dari krisis iklim yang paling banyak berimbas pada perempuan. Hal ini dapat berimbas pada komplikasi kehamilan, keguguran, hingga masalah kesehatan reproduksi lainnya.
Di sisi lain, dengan semakin parahnya krisis iklim, ada kebutuhan akan produk menstruasi yang ramah lingkungan, serta ramah kantong dan mudah diakses perempuan. Hal ini diungkap oleh jurnal akademik berjudul Climate change and sexual and reproductive health: what implications for future research? yang dipublikasikan National library of Medicine pada 2023.
Menurut Debora, minimnya akses terhadap kesehatan reproduksi di area terpencil menjadi tugas bagi tenaga kesehatan dan pemerintah.
"Ini adalah PR dari tenaga kesehatan dan pembuat kebijakan, karena ini adalah hak dari tiap perempuan untuk memiliki kesehatan reproduksi yang baik. Walau sudah banyak berbagai inisiatif dari komunitas untuk memproduksi pembalut kain, alangkah lebih baik kalau Indonesia juga memberikan concern yang lebih ke arah sana," jelas Debora.
Editor: Arti Ekawati