Patung Yunani dan Roma Kuno Aslinya Berwarna-Warni dan Harum
29 Maret 2025Temuan baru terkait karya seni di Yunani dan Roma kuno terus digali. Sebuah studi Denmark yang diterbitkan dalam Oxford Journal of Archaeology pada bulan Maret menemukan bahwa patung-patung di zaman kuno kerap dibubuhi aroma wewangian.
Setelah meneliti teks-teks kuno, para periset menemukan referensi tentang penggunaan parfum dan minyak wangi pada patung-patung dewa dan dewi untuk membuatnya tampak lebih hidup dan memikat.
Dalam penelitiannya, penulis Romawi Cicero merujuk pada perawatan patung dewi Yunani Artemis di Sisilia, sementara penyair Callimachus mendeskripsikan patung Ratu Berenice II dari Mesir dengan detail yang mengungkapkan kekayaan artistik pada masa itu.
Studi tersebut juga mengutip bukti arkeologi dari tempat suci Delos di Yunani tempat bengkel parfum digali dan prasasti mengacu pada wewangian dan minyak yang digunakan pada patung-patung dewa seperti Artemis dan Hera.
Menurut peneliti yang menerbitkan studi tersebut, Cecilie Brons, temuan ini adalah bukti bahwa melihat patung di zaman kuno merupakan pengalaman visual yang juga memikat indera penciuman.
Penelitian ini melengkapi riset yang dilakukan selama satu dekade terakhir mengenai seni kuno yang menemukan bahwa patung-patung dari Yunani dan Romawi kuno sering kali dicat dengan warna-warna hangat.
Mitos tentang warna putih dalam seni pahat klasik
Pada zaman dulu, ketika mendekati Kuil Aphaia di Pulau Aegina, Yunani, orang-orang bisa melihat patung seorang pemanah muda, yang dicat dengan warna-warna cerah agar tampak senyata mungkin. "Arahkan pandangan kamu ke langit dan lihatlah relief pedimen yang dilukis," demikian bunyi kalimat tentang kuil tersebut dari drama "Hypsipyle," yang ditulis oleh dramawan Yunani kuno Euripides dan dipentaskan sekitar tahun 410 SM.
Tulisan-tulisan kontemporer tentang seni, termasuk buku karya penulis Romawi, Pliny the Elder, menyebutkan fakta bahwa patung-patung di Yunani kuno dicat dan tidak dibiarkan tampil dengan marmer putih yang terekspos.
Namun, banyak orang saat ini malah terkejut mengetahui bahwa patung-patung klasik itu ternyata berwarna-warmi. Jadi, bagaimana dan mengapa mitos patung marmer berwarna polos ini bermula?
"Konsep aneh tentang patung tidak berwarna ini berasal dari zaman Renaisans," ketika bentuk lebih ditekankan daripada warna, demikian penjelasan arkeolog Vinzenz Brinkmann kepada DW dalam sebuah wawancara tahun 2020.
Seniman Renaisans mengira bahwa patung dari zaman kuno hanyalah marmer putih polos dan membentuk karya mereka berdasarkan hal tersebut, sehingga membantu terciptanya mitos tersebut.
Patung berwarna-warni ditutupi
Warna-warni pada sebagian besar patung kuno telah memudar pada saat pertama kali digali, jadi diasumsikan bahwa benda-benda itu memang tidak berwarna. Namun, bahkan ketika ada studi selanjutnya muncul, kebenaran sengaja disembunyikan dari publik agar sesuai dengan cita-cita masyarakat, jelas Brinkmann.
Misalnya, patung "Laocoön dan putra-putranya," yang ditemukan di Roma pada tahun 1503, memiliki warna yang "sengaja diabaikan," ujar Brinkmann, seraya menambahkan bahwa jejak warna tersebut sering dikaitkan dengan "orang-orang barbar."
Brinkmann dan istrinya, arkeolog Ulrike Koch-Brinkmann, menyelenggarakan pameran "Gods in Color" dan berkeliling dunia dari tahun 2003 hingga 2023.
Pameran ini menampilkan lebih dari 100 replika patung yang dicat dengan warna-warna cerah berdasarkan gagasan tentang seperti apa rupa patung aslinya serta teknologi modern digunakan untuk mendeteksi jejak warna.
Patung-patung berkelir putih dari dunia klasik juga sesuai dengan cita-cita periode Abad Pencerahan abad ke-18, yakni gagasan tentang kemurnian dan kejernihan.
Kurangnya warna juga mengurangi sensualitas patung-patung tersebut dan membedakannya dari karya seni berhias warna-warni yang menjadi ciri khas Kekaisaran Ottoman.
Akibatnya, pada abad ke-18 dan ke-19, bahkan ketika penggalian skala besar menemukan patung-patung dengan jejak warna di atasnya, temuan berwarna-warni tersebut tidak diketahui publik, meskipun pengamatan ini sering kali dicatat.
Menyesuaikan seni dengan ideologi
Sebagian dari mitos tentang ras kulit putih ini dapat dikaitkan dengan sejarawan seni dan arkeolog Jerman abad ke-18 Johann Winckelmann, yang sering dianggap sebagai bapak sejarah seni.
Menurut sebuah artikel di majalah "The New Yorker", ia konon berkata, "Semakin putih tubuh, semakin cantik," dan, "warna berkontribusi pada keindahan, tetapi bukan keindahan."
Winckelmann adalah seorang pemikir Abad Pencerahan, periode yang berfokus pada sains dan memunculkan gagasan modern tentang rasisme. Patung-patung kulit putih kuno juga mendukung pandangan ini.
"Secara historis, masyarakat memasukkan ideologi mereka sendiri ke dalam cara mereka memandang dunia,"papar Direktur Umum Museum Acropolis, Nikos Stampolidis kepada DW.
"Karena sebagian besar patung-patung ini telah kehilangan warnanya pada saat digali, dan karena orang-orang pada saat itu mengagumi kesederhanaan warna putih marmer, dan itu sesuai dengan gagasan mereka tentang keunggulan orang kulit putih, yang selaras dengan kepercayaan mereka."
Penggalian Pompeii pada abad ke-18 seharusnya membuktikan bahwa melukis patung di dunia kuno adalah praktik umum.
Kota itu hancur lebur oleh letusan gunung berapi pada tahun 79 M, dan sebagai akibatnya banyak patung yang diawetkan dengan beberapa warna yang utuh, seperti patung dewi Yunani Artemis.
Namun, menurut informasi yang dipublikasikan di situs web "Gods in Color", "Metode penelitian yang tidak sesuai dan pemahaman yang berbeda tentang sumber-sumber tertulis kuno ... meninggalkan ruang untuk interpretasi dan keraguan" tentang apakah patung-patung itu telah dicat.
Salah satu contoh patung paling terkenal yang ditemukan jejak warna adalah "Peplos Kore," yang saat ini berada di Museum Acropolis Athena.
Patung ini ditemukan saat dilkakukan penggalian besar-besaran di Acropolis pada abad ke-19. Berasal dari periode Archaic sekitar 530 SM, dan terbuat dari marmer dari Pulau Paros di Yunani, patung seorang perempuan muda itu memiliki jejak warna jingga di rambutnya.
Para arkeolog melihat jejak cat itu dan mendeskripsikannya, tetapi juga segera membuat replika untuk membuat patung plester putih dan kemudian mengirimkannya ke pameran dunia.
Proses ini semakin memperkuat pandangan bahwa patung-patung Yunani kuno dianggap hanya berwarna putih.
Hitler dan patung putih
Pada abad ke-20, fasisme mengadopsi gagasan tentang figur-figur kuno berkulit putih sebagai simbol keunggulan orang-orang berkulit putih.
Baik Benito Mussolini maupun Adolf Hitler secara khusus memuji seni dan arsitektur Yunani dan Roma kuno, dan gagasan tentang patung-patung klasik berkulit putih yang mereka manfaatkan dalam mengkonseptualisasi keunggulan ras.
Bagi kaum Nazi, ini berarti menyelaraskan citra visual ras Arya yang mistis dengan patung-patung Yunani, misalnya dengan menampilkan pria-pria dengan tubuh yang dipahat dengan indah.
Warna-warna yang beragam yang digunakan dalam patung-patung Yunani kuno dianggap terkait dengan berbagai konsep kategoris — sebuah gagasan yang dieksplorasi oleh Museum Acropolis dalam pamerannya "Warna-Warna Arkaik."
Rambut pirang, yang biasanya ditampilkan pada dewa-dewi Yunani, prajurit, dan atlet, melambangkan kekuatan.
Warna kulit abu-abu melambangkan kebajikan dan keberanian, sementara kulit putih pada figur-figur perempuan muda "menunjukkan keanggunan dan cahaya awet muda," demikian menurut deskripsi museum.
Warna dalam seni Yunani kuno juga sering digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin: Pria digambarkan memiliki warna kulit yang lebih gelap, karena mereka biasanya bekerja di luar ruangan, sementara patung perempuan sering kali dicat putih, karena idealnya adalah tinggal di dalam ruangan dan terhindar dari paparan sinar matahari.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman.