Overdosis Selebrasi Guru Besar
20 Juni 2025Sejak tiba di Indonesia beberapa bulan terakhir ini saya dikejutkan dengan adanya baliho-baliho berukuran raksasa yang dipasang di ruas-ruas jalan utama di Kota Semarang.
Baliho-baliho itu berisi foto diri sejumlah orang disertai ucapan selamat kepada mereka yang telah meraih jabatan "guru besar” atau di Indonesia disebut "profesor.” Tersirat ada kebanggaan luar biasa karena telah meraih predikat "profesor” yang mungkin dianggap sebagai prestasi yang spektakuler.
Tetapi jika direnungkan secara mendalam sebetulnya apa sih yang patut dibanggakan dari "gelar” "profesor” di kampus Indonesia?
Apakah predikat "guru besar” itu sebuah prestasi gemilang yang sulit diraih oleh seorang dosen di perguruan tinggi sehingga perlu dirayakan secara berlebihan dengan memasang baliho-baliho berukuran jumbo dan dipajang di jalan-jalan dan tempat umum?
Dan kalaupun itu dipandang sebagai sebuah "prestasi,” perlukah itu dirayakan dengan memasang baliho-baliho besar semacam itu?
Apakah fenomena ini mengindikasikan kalau dunia akademik Indonesia sudah terpapar "virus” dunia politik, bisnis, dan sosial masyarakat Indonesia yang hobi memasang spanduk dan baliho jumbo foto diri di ruang publik?
Dunia akademik seharusnya tidak perlu ikut-ikutan latah dunia politik, bisnis, dan sosial di luar kampus. Bahkah idealnya atau seharusnya dunia akademik ikut mengkritik "budaya baliho” dan "tradisi selebrasi” berlebihan masyarakat nonkampus yang identik dengan "budaya pamer.”
Selama kurang lebih dua puluh tahun saya mengajar atau meneliti di sejumlah kampus bereputasi dan berkualitas di sejumlah negara di luar negeri: Boston University, University of Notre Dame, National University of Singapore, King Fahd University of Petroleum & Minerals, dan terakhir Kyoto University, baru kali ini saya menjumpai fenomena "balihosasi” atau "spandukisasi” jabatan atau gelar profesor.
Di kampus-kampus ternama di luar negeri, professorship atau kenaikan pangkat jabatan akademik apapun adalah hal yang biasa saja yang tidak ada istimewanya sama sekali sehingga tidak perlu dirayakan secara berlebihan.
Kalaupun dirayakan, paling banter hanya mengtraktir teman dekatnya saja. Itupun kalau sohibnya tahu dan minta ditraktir. Pengumuman kenaikan pangkat paling-paling hanya dilakukan di email/grup internal terbatas atau di rapat dan website departemen. Tidak ada "pidato pengukuhan” guru besar misalnya apalagi sampai memasang spanduk dan baliho jumbo di jalan dan tempat umum.
Bagaimana di luar negeri?
Padahal kenaikan pangkat akademik bukanlah perkara mudah di kampus-kampus ternama di luar negeri. Selama bertahun-tahun saya terlibat di komite kenaikan pangkat yang bertugas mengevaluasi berkas-berkas dosen yang melamar kenaikan pangkat ini sehingga sedikit tahu seluk-beluknya.
Di kampus-kampus luar negeri, urusan kenaikan pangkat bukan dilakukan oleh negara (pemerintah) melainkan internal kampus.
Masing-masing kampus memiliki standar kelayakan yang berbeda. Karena perbedaan standar kelayakan ini, seorang dosen dengan pangkat tertentu di kampus tertentu belum tentu diterima atau diakui pangkatnya di kampus lain.
Saya tahu sejumlah teman dosen di kampus-kampus ternama di Amerika dan Eropa yang pangkat mereka tidak kunjung naik meskipun sebetulnya sudah memiliki banyak publikasi di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi serta menulis sejumlah buku akademik yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit berkualitas.
Bisa dipastikan, jika di kampus Indonesia, daftar karya ilmiah mereka sudah lebih dari cukup untuk "menggurubesarkan” sejumlah dosen.
Proses kenaikan pangkat akademik biasanya diawali dengan penunjukkan sejumlah profesor (4-5 orang) oleh wakil rektor untuk duduk di "komite kenaikan pangkat” guna mengevaluasi berkas-berkas lamaran yang diajukan oleh dosen.
Ada tiga kriteria umum yang biasanya dipakai untuk mengevaluasi: jumlah publikasi akademik (artikel riset di jurnal dan buku), hasil evaluasi mengajar yang diberikan mahasiswa, dan keterlibatan di pengabdian kampus (misalnya urusan kepanitiaan dan administrasi tertentu).
Dari tiga kriteria ini, riset dan publikasi yang biasanya paling banyak persentase dan skor nilainya, kemudian disusul hasil evaluasi mengajar dan pengabdian. Kriteria yang dianggap tidak kalah penting adalah dosen harus memenangkan sejumlah kompetisi grant riset dari lembaga-lembaga kredibel. Mendapatkan penghargaan dari kampus dan lembaga-lembaga kredibel, meskipun bukan syarat utama, dianggap memiliki nilai plus. Untuk publikasi akademik, setiap kampus memiliki kebijakan dan standar sendiri, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas (jumlah).
Walaupun demikian, biasanya ada acuan umum yang dipakai, misalnya penerbit buku dan jurnal harus diakui secara umum kualitas dan reputasinya, bukan jurnal/penerbit buku "ecek-ecek” apalagi predator (bogus journals/publishers).
Jika pelamar diketahui menerbitkan karya mereka di jurnal atau penerbit buku predator tersebut (yaitu jurnal atau penerbit berbayar yang tidak menggunakan standar ilmiah dan prosedur akademik dalam mengevaluasi naskah/tulisan, misalnya tidak ada proses review memadai dari academic experts) secara otomatis berkas-berkas lamaran ditolak. Tulisan-tulisan di jurnal-jurnal yang tidak memiliki reputasi internasional juga tidak dihitung atau dianggap.
Jika seleksi internal kampus lolos, komite kemudian mengirim berkas-berkas lamaran, terutama daftar publikasi, ke para ahli, akademisi, atau profesor (minimal tiga orang) dari kampus lain untuk mengevaluasi atau mereview.
Kampus tempat akademisi tersebut berdomisili pun tidak bisa sembarangan melainkan harus memiliki reputasi akademik internasional. Jika hasil evaluasi positif, komite kemudian merekomendasikan ke pimpinan kampus yang mengurusi kenaikan pangkat untuk menyetujui kenaikan pangkat tersebut. Tetapi jika hasilnya negatif, maka secara otomatis lamaran ditolak.
Saya tahu kenaikan pangkat di kampus-kampus ternama di luar negeri bukanlah persoalan mudah karena itu wajar jika banyak dosen yang kesulitan naik pangkat meskipun sudah memiliki banyak publikasi akademik di jurnal/penerbit berkualitas dan bereputasi internasional. Karena itu seandainya mereka pada akhirnya mendapatkan "imbalan” kenaikan pangkat atas kerja-kerasnya, layak dirayakan, meskipun mereka tidak melakukannya.
Dunia akademik Indonesia tidak ketat?
Bandingkan dengan dunia akademik Indonesia yang bisa dikatakan tidak ketat atau bahkan "tidak jelas” proses atau prosedur kenaikan pangkat untuk mendapatkan "guru besar.”
Misalnya saya mendapatkan informasi kalau seorang dosen bisa mendapatkan pangkat "guru besar” hanya menerbitkan satu artikel di "jurnal Scopus.” Itupun bukan penulis tunggal, dan belum tentu tulisannya sendiri. Informasi lain, banyak guru besar yang sebetulnya tidak bisa menulis artikel ilmiah dalam bahasa Inggris.
Karena itu mereka membayar jasa penerjemah kemudian mengirim artikel terjemahan tersebut ke jurnal. Bahkan tidak sedikit informasi yang saya dapatkan para "guru besar” tersebut membayar orang lain untuk menulis atas nama dirinya (populer dengan sebutan "penulis hantu” atau ghost writers).
Karena itu kadang saya heran, ada dosen-dosen yang tidak diketahui sama sekali karya-karya akademiknya tiba-tiba mendapatkan embel-embel "guru besar.” Yang lain berburu jurnal-jurnal berbayar yang memasang tarif tertentu untuk tulisan. Tidak peduli kualitas jurnal tersebut. Yang penting tulisan dimuat.
Informasi lain, banyak "guru besar” yang menulis di jurnal-jurnal abal-abal atau penerbit predator tadi. Saya pernah membaca laporan media rangkuman hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengenai fenomena ini.
Tim periset BRIN meneliti artikel-artikel jurnal para "guru besar” (ada sekitar 4.742 artikel yang diteliti) di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya? Sekitar 83 persen, para "guru besar” ini pernah menulis di jurnal-jurnal predator dan abal-abal.
Informasi lain lagi, proses mendapatkan "guru besar” juga banyak "rekayasa” (misalnya, pereview adalah teman-teman sendiri atau orang-orang yang sudah dikenal) dan bahkan hasil "kongkalikong” dengan pejabat pemerintah yang bertugas mengurusi proses seleksi kenaikan pangkat guru besar. Sangat memprihatinkan sekali. Jika prosesnya demikian, apa yang patut dibanggakan dari "guru besar” sampai-sampai dibuatkan baliho jumbo segala?
Bisa dikatakan dosen di Indonesia berlomba-lomba mengejar "guru besar” bukan dilatari oleh dedikasi keilmuan atau kesarjanaan melainkan karena motivasi keuangan, yakni untuk mendapatkan tunjungan yang lebih besar.
Oleh karena itu sangat wajar jika ada banyak guru besar tetapi ilmunya kecil dan wawasannya mini. Meski begitu bukan berarti semua guru besar di Indonesia demikian. Saya tahu ada cukup banyak guru besar, baik di lingkungan Kemendikbudristek maupun Kemenag, yang layak mendapatkan predikat itu sehingga patut diapresiasi karena karya-karya kesarjanannya yang cemerlang bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.
Sumanto Al Qurtuby
Direktur Nusantara Institute, Dosen Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, dan penulis lebih dari 40 buku akademik, antara lain, Terrorism and Counter-terrorism in Saudi Arabia and Indonesia.