Sudah sewajarnya bila beberapa tokoh kunci Generasi 1998 masuk kabinet, mengingat generasi inilah yang paling berdarah-darah dalam menumbangkan rezim Soeharto.
Begitulah tradisi politik yang terjadi selama ini, selalu ada skema "balas jasa” bagi tokoh gerakan mahasiswa. Seperti yang dulu juga terjadi pada Generasi 1966, yang dianggap ikut berkontribusi menumbangkan rezim Soekarno.
Bila kita bandingkan dengan Generasi 66, tampilnya Generasi 98 terhitung terlambat. Pada tahun 1978, Abdul Gafur sebagai eksponen Generasi 66 sudah masuk kabinet sebagai Menteri Pemuda (setara Menpora sekarang). Jadi hanya butuh waktu 12 tahun untuk masuk lingkaran dalam kekuasaan.
Generasi 66 termasuk generasi yang beruntung, sebab durasi perjuangannya relatif cepat, dan cepat pula menuai hasil. Bila awal perjuangan Generasi 66 dihitung sejak lahirnya Tritura (tiga tuntutan rakyat) tangal 10 Januari 1966, dua bulan kemudian generasi ini sudah mencapai kesuksesan, ditandai dengan lahirnya Supersemar, 11 Maret 1966, tonggak bagi berkuasanya Jenderal Soeharto.
Berbeda dengan generasi sesudahnya, yakni Generasi 74, Generasi 78, dan seterusnya, yang harus menunggu waktu lama untuk masuk lingkaran kekuasaan, karena durasi rezim Soeharto juga panjang (1966-1998), sehingga masa penantian mereka untuk masuk ring satu istana menjadi panjang pula.
Salah satu yang bisa disebut adalah Al Hilal Hamdi (tokoh Generasi 1978 dari ITB), yang baru bisa masuk lingkaran kekuasaan di era Presden Gus Dur (1999-2001), berarti ada penantian sekitar 21 tahun, terhitung sejak tahun 1978 sampai 1999. Itupun hanya sesaat, karena kekuasaan Gus Dur tidak penuh satu periode.
Demikian juga dengan tokoh Generasi 98, sebagian di antara mereka telah masuk kabinet yang resmi dilantik Oktober 2024, berarti ada penantian sekitar 26 tahun. Hampir sama durasinya dengan perjuangan rakyat Timor Leste untuk mencapai kemerdekaan (1975 – 2000).
Menjadi menteri pada kabinet sekarang, termasuk sekian kabinet yang akan datang, adalah hak sejarah Generasi 98, bila ukurannya adalah "keringat dan darah” dalam perjuangan. Kalau Generasi 66, yang tidak begitu berkeringat saja, bisa mendudukan eksponennya berkali-kali dalam kabinet, tentu Generasi 98 lebih pantas lagi, dan alokasinya harus lebih banyak.
Daya tarik kekuasaan
Dalam pembentukan kabinet, sejak Orde Baru hingga sekarang, selalu ada tempat bagi mantan aktivis pergerakan mahasiswa. Tentu yang paling istimewa adalah Mar'ie Muhammad (Generasi 66, lulusan FEB UI), yang pernah menjadi Menteri Keuangan (1993-1998), posisi yang sangat jarang dipegang mantan aktivis, mengingat persyaratan kompetensi keilmuannya sangat tinggi.
Selama ini ada posisi menteri atau kepala badan yang dianggap sedikit "longgar” dalam kompetensi teknis bagi calon yang akan mengisinya, seperti menteri koperasi, menpora, menteri transmigrasi, menseskab, atau kepala KSP, sehingga bisa dipercayakan bagi mantan aktivis gerakan mahasiswa.
Berbeda dengan kementerian keuangan, kesehatan atau gubernur Bank Indonesia, yang calonnya harus benar-benar kompeten dan kredibel. Sehingga termasuk kejutan besar, ketika nama Faisol Riza (mantan eksponen PRD dan salah satu korban Tim Mawar) didapuk sebagai Wakil Menteri Perindustrian.
Berdasar asumsi balas jasa atau balas budi, tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa seperti Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Nezar Patria, Fahri Hamzah, dan seterusnya memang sangat layak untuk direkrut sebagai menteri atau wamen dalam kabinet sekarang.
Khusus bagi Fadli Zon (Menteri Kebudayaan), statusnya sebagai mantan aktivis gerakan mahasiswa agak samar, karena Fadli Zon sejak mahasiswa sudah dekat dengan pihak militer (terutama dengan Prabowo), artinya Fadli adalah aktivis gerakan mahasiswa pendukung Orde Baru, bukan oposan sebagaimana yang umum dipahami selama ini.
Namun semuanya bisa masuk masuk kategori Generasi 1990-an, dan pantas menjadi menteri. Berdasar bunyi pepatah lama, bahwa kesempatan tidak pernah datang dua kali.
Sebagaimana pengalaman pribadi Budiman Sudjatmiko, yang sebenarnya sudah masuk nominasi kabinet, saat Jokowi baru berkuasa tahun 2014. Luas beredar kabar, Budiman sudah disiapkan untuk menjadi Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi, namun saat kabinet diumumkan, nama Budiman tidak kunjung muncul.
Beberapa aktivis, terutama mereka yang dari elemen PRD dan korban penculikan Tim Mawar, kesediaan bergabung pada rezim Prabowo, tentu karena begitu besarnya daya tarik kekuasaan.
Tidak sembarang orang sanggup menghindar dari silaunya kekuasaan, mengingat kekuasaan menjanjikan kesejahteraan dan martabat diri, terlebih di zaman serba susah seperti sekarang.
Dalam konteks Indonesia, daya tarik kekuasaan masih menyisakan misteri, sebab yang lebih sering mengemuka, adalah residu dari kekuasaan. Semisal orang ingin berkuasa, atau melanjutkan kekuasaannya, bukan karena faktor idealisme, semisal untuk memajukan kesejahteraan rakyat, atau atas alasan ideologis. Namun lebih karena dorongan gaya hidup, sebuah alasan yang terkesan ringan, seperti ingin selalu dikawal saat berpergian dengan membunyikan sirene strobo, atau pamer diri menggunakan barang branded di media sosial.
Adalah pemandangan biasa bagi warga Jakarta, di tengah lalu lintas yang padat, tiba-tiba ada kendaraan menteri atau pejabat melintas, dengan sirene meraung-raung, dan sejumlah kendaraan pengawal. Pertunjukan keangkuhan yang memperparah kemacetan seperti itu dengan gamblang ditonton rakyat. Ketika para elite politik naik mobil kelas premium, seperti Alphard atau Lexus, yang dalam dunia otomotif biasa disebut MPV/minivan.
Bila Budiman dan anggota kabinet lain yang berasal dari PRD, bertekad tidak ikut-ikutan gaya hidup hedonis dan arogan seperti itu, tentu merupakan sumbangan besar dalam koreksi perilaku elite politik kita. Keberanian moral seperti itu akan menemukan aktualitasnya, di tengah semangat efisiensi rezim Prabowo, serta sebagai bentuk empati terhadap kehidupan rakyat bawah. Setidaknya kampanye "revolusi mental” yang dulu pernah disampaikan Jokowi, masih terlihat jejaknya.
Budiman, Agus Jabo Priyono (Wakil Mensos), Faisol Riza, Nezar Patria (Wakil Menteri Komunikasi dan Digital), dan seterusnya, yang dulu dikenal sebagai aktivis beraliran kiri, harus memiliki kekuatan moral untuk hidup secara sederhana, seperti tokoh idola mereka (Tan Malaka).
Salah satunya dengan memaksakan diri mengendarai mobil sederhana, seperti biasa terjadi pada elite politik di India, bila perlu dengan mengendarai mobil Esemka, produksi anak negeri di Sukoharjo (Jateng).
Tim Mawar dianggap gagal
Salah satu ujian terberat bagi Generasi 98 ketika masuk ke lingkaran elite kekuasaan adalah, bagaimana respons mereka terhadap kasus HAM, terutama yang langsung bersentuhan dengan mereka secara personal.
Publik memiliki ekspektasi, mereka akan mendorong penyelesaian kasus (pelanggaran) HAM. Namun di sisi lain banyak pihak pula yang meragukan, bahwa orang seperti Budiman Sudjatmiko bersedia untuk itu, sekalipun salah seorang korban penculikan Tim Mawar, telah pula menjadi Wakil Menteri HAM (Mugiyanto).
Kekuasaan memiliki nalar sendiri, seorang mantan aktivis yang di masa lalu dikenal militan dan kiri, dapat bermetamorfosis menjadi sangat pragmatis
Jalan tengah paling fair bagi Generasi 98, khususnya yang menjadi pejabat publik setingkat menteri, adalah dengan membebaskan mereka dari beban isu HAM masa lalu, termasuk pada peristiwa yang sebenarnya mereka bagian dari korban. Biarkan mereka bekerja dengan tenang, dan secara paralel menyusun narasi baru terkait operasi Tim Mawar.
Tafsir ulang atas operasi Tim Mawar urgen dilakukan, sebagai upaya menyelamatkan citra para korban, terutama yang sudah bergabung pada pemerintahan Presiden Prabowo. Narasi atau tafsir ulang adalah sesuatu yang jamak, berdasar pameo "sejarah dituliskan oleh pemenang”.
Salah satu pintu masuk melakukan tafsir ulang atas operasi Tim Mawar, bisa melalui catatan pengalaman Desmond Mahesa (meninggal 2023). Bagi yang sedikit paham peta aktivis pergerakan tahun-tahun itu, tentu akan mengerti, Desmond sebenarnya adalah figur yang biasa-biasa saja, bukan tokoh pergerakan, dengan kata lain kurang cukup alasan untuk diculik, dibanding penyair Wiji Thukul misalnya.
Dalam pandangan sesama aktivis gerakan mahasiswa, atas alasan apa Desmond diculik? Melalui tindakan terhadap Desmond, kita bisa membaca ulang performa Tim Mawar, bagaimana sebuah operasi senyap yang telah menjadi kompetensi pasukan Baret Merah, bisa salah dalam menentukan target.
Kegagalan berikutnya adalah ketika mantan para pelakunya gagal berganti identitas, dan tetap saja diingat publik. Antara (sebagian) korban dan para pelaku, kini sedang berkolaborasi pada gerbong yang sama. Benar, apa yang sedang kita saksikan ibarat "Sindrom Stockholm” secara kolektif atau berjamaah.
Narasi ulang adalah dengan membentuk opini, yang bermaksud memberi pembenaran atas kegagalan operasi Tim Mawar. Para korban yang kini menjadi anggota kabinet, posisinya kita grounded, untuk kemudian disetarakan dengan Desmond, artinya Tim Mawar saat itu memang salah tangkap.
Narasi pembenaran seperti ini, anggap saja semacam investasi pertemanan, yang saling menguntungkan kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban.
Bila salah satu korban, sebut saja Budiman, Nezar, atau yang lain kelak berhasil menjadi penguasa (presiden), jejaring dengan anggota Tim Mawar tentu akan sangat berguna, untuk berkolaborasi kembali.
Dengan segala kemampuan dan kompetensinya, mantan anggota Tim Mawar bisa membentuk semacam satuan "operasi khusus” (Opsus), seperti dulu dilakukan Ali Murtopo saat membantu kekuasaan Soeharto.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial. Terima kasih