MBG untuk Anak Berkebutuhan Khusus, Seberapa Inklusif?
24 Januari 2025Anak berkebutuhan khusus (ABK) sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan gizinya. Masalah ini tidak hanya berdampak pada kondisi fisik mereka, tetapi juga pada kesehatan mental. Sebagai contoh, konsumsi makanan yang tidak tepat dapat menyebabkan hiperaktivitas, tantrum, bahkan tindakan melukai diri sendiri.
Seperti Galih, siswa kelas 4 di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta Barat. Ia adalah anak berkebutuhan khusus penyandang autisme. Kandungan gizi dari setiap makanan yang ia konsumsi jadi salah satu yang sangat diperhatikan sang ibu.
"Kalau dia mengonsumsi cokelat atau makanan mengandung terigu, langsung tantrum. Tantrumnya itu dia enggak mengganggu atau jahilin orang lain, tapi nyakitin diri sendiri. Jadi dia bakal nyakar atau menjedotkan kepalanya," ujar Euis, ibu Galih.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sekolah Galih menjadi salah satu sekolah penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program andalan kabinet Prabowo-Gibran. Berbeda dengan sekolah umum, tantangan implementasi MBG di SLB terletak pada proses penyesuaian menu yang mencakup kebutuhan serta spesifikasi gizi yang tepat untuk ABK.
Pada hari pertama peluncuran program ini, 190 siswa berkebutuhan khusus di sekolah ini mendapat menu makanan berupa nasi, ayam teriyaki, tumis kacang panjang, tahu goreng tepung, dan susu kemasan. Sama dengan menu yang didapatkan anak-anak di sekolah umum.
Namun, kebutuhan gizi ABK jauh lebih kompleks dibandingkan anak pada umumnya. Kepala sekolah SLB tersebut mengungkapkan pentingnya komunikasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN). "Kami sampaikan bahwa beberapa anak autis di sini tidak boleh minum susu cokelat. Ada juga anak dengan down syndrome yang tidak boleh makan pisang karena bisa langsung masuk rumah sakit," ujarnya.
Pentingnya diet khusus untuk ABK
Kesalahan dalam pola makan dapat berdampak besar pada kondisi ABK. Seperti yang dijelaskan Ahli Gizi, dr. Tan Shot Yen, bahwa konsumsi gula berlebih dapat meningkatkan risiko hiperaktivitas pada anak-anak dengan ADHD.
Ia juga menuturkan, "anak autisme menunjukkan reaksi negatif terhadap makanan yang mengandung gluten atau kasein, seperti gangguan pencernaan dan perilaku agresif." Hal ini semakin menekankan pentingnya memahami kebutuhan gizi spesifik setiap ABK untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas.
Menurut para ahli, gula berlebih dapat memicu berbagai reaksi pada ABK, mulai dari peningkatan energi yang sulit dikendalikan hingga gangguan tidur. Efek negatif ini membuat banyak orang tua ABK harus waspada terhadap makanan yang disediakan, terutama di acara-acara sekolah.
"Kadang kami wanti-wanti setiap ada kegiatan. Kalau ada cokelat atau makanan manis lainnya, langsung kami larang anak-anak memakannya," jelas Euis.
Selain gula, beberapa ABK juga memiliki alergi atau intoleransi terhadap bahan makanan tertentu. Ahli gizi juga menyoroti sensitivitas ABK terhadap bahan tambahan dalam makanan, seperti kecap, bumbu penyedap, dan produk olahan lainnya.
Tantangan penerapan MBG di SLB
Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan program MBG adalah memastikan bahwa menu yang disediakan aman dan sesuai untuk semua siswa, termasuk ABK. Karena program ini berskala besar dan menyasar banyak sekolah, penyediaan menu massal sering kali menjadi kendala.
Salah satu tantangan utama adalah logistik, seperti distribusi bahan makanan segar ke daerah-daerah terpencil, yang membutuhkan waktu dan biaya tambahan. Selain itu, setiap sekolah harus memiliki fasilitas dapur yang memadai untuk mengolah menu dengan kualitas yang terjaga.
Kendala lain adalah biaya, karena pengadaan bahan makanan yang sesuai dengan kebutuhan khusus, seperti makanan bebas gluten atau susu tanpa laktosa, cenderung lebih mahal. Hal ini menambah beban anggaran pemerintah dan penyelenggara program, sehingga diperlukan strategi pengelolaan sumber daya yang lebih efisien untuk memastikan keberlanjutan program.
Namun, pendekatan personal ini membutuhkan tenaga dan biaya tambahan. Setiap sekolah dengan anak berkebutuhan khusus yang terlibat dalam program MBG perlu berkoordinasi dengan ahli gizi untuk menyusun menu yang sesuai.
Misalnya, siswa dengan autisme yang sensitif terhadap gluten membutuhkan pengganti roti atau mie biasa dengan produk bebas gluten. Begitu pula siswa dengan alergi kacang harus menghindari makanan berbahan dasar kacang atau yang diolah di fasilitas yang sama dengan kacang.
Mungkinkah menu menyesuaikan tiap kebutuhan?
Hingga akhir 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) menargetkan 5.000 dapur MBG yang mampu melayani hingga 20 juta penerima manfaat, dengan masing-masing minimal satu ahli gizi di setiap dapurnya. Langkah ini bertujuan memastikan kebutuhan gizi ABK terpenuhi secara optimal.
Ketua BGN, Dadan Hindayana, menyebut kehadiran ahli gizi ini telah meningkatkan efektivitas program, khususnya dalam menyesuaikan menu dengan kondisi spesifik siswa. "Kami sudah melayani SLB dan menyesuaikan menu dengan kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus."
Namun dr. Tan, menyangsikan apakah implementasi penyesuaian gizi pada siswa berkebutuhan khusus dengan kondisi yang berbeda-beda akan benar-benar dapat terealisasikan, "Karena mereka prinsipnya adalah suatu produksi massal, apa mungkin bisa customized? Agak sulit kalau tidak benar-benar dipantau. Apalagi yang butuh menu khusus ini minoritas, hanya sebagian kecil saja."
Jumlah ABK di Indonesia
Menurut Data Pokok Pendidikan Kemdikbud, pada tahun ajaran 2023/2024 terdapat 158.792 siswa di Sekolah Luar Biasa. Jumlah ini belum termasuk ABK yang belajar di sekolah umum. Dengan angka tersebut, penting bagi program MBG untuk terus berkembang agar dapat menjangkau lebih banyak penerima manfaat.
Namun, tantangan tidak hanya berhenti pada penyediaan makanan. Dengan jumlah ABK yang terus bertambah, diperlukan investasi jangka panjang dalam infrastruktur, pelatihan tenaga kerja, dan pengembangan menu yang lebih variatif.
Guru di SLB juga memainkan peran penting dalam mendukung program ini. Karena berinteraksi langsung dengan siswa setiap hari, mereka perlu memahami kebutuhan gizi masing-masing siswa. Seperti yang dituturkan salah seorang guru SLB, Hani Rustisiani, "Kami perlu memantau apa yang dimakan anak-anak selama jam istirahat. Kalau ada makanan yang tidak sesuai, kami langsung memberi tahu orang tua agar tidak terjadi masalah di kemudian hari."
Harapan ke depan
Dengan semakin beragamnya penerima manfaat, MBG diharapkan dapat menjadi langkah nyata dalam mendukung generasi muda Indonesia, termasuk ABK, untuk tumbuh sehat dan berkembang secara optimal.
Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga pada perkembangan mental, sosial, dan akademik mereka. Melalui upaya kolaboratif antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan ahli gizi, program ini memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan.
Guru-guru di SLB ini pun berharap program MBG bisa terus berlanjut dan semakin disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
"Mudah-mudahan ke depannya menu-menu lebih bervariasi dan semakin cocok untuk anak-anak kami, sehingga ada perubahan signifikan pada mereka," ungkap Hani.
Editor: Arti Ekawati