Menlu AS Rice Kritik Politik Pemukiman Israel
15 Juni 2008Rice mengatakan bahwa politik pemukiman Israel itu tidak mendukung tahap pembentukan rasa saling percaya antara kedua pihak yang berseteru.
Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice melakukan pembicaraan maraton di Yerusalem dan Ramallah. Pada kesempatan itu, Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Perdana Menteri Salam Fajad menjelaskan kepada Rice, mengapa menurut mereka perundingan perdamaian tidak menunjukkan kemajuan. Penyebab utamanya adalah pembangunan pemukiman Yahudi yang terus berlanjut di Yerusalem Timur yang merupakan kawasan Palestina.
Pada dua pekan terakhir Israel menyatakan akan membangun secara seluruhnya 2. 100 apartemen baru di berbagai kawasan pemukiman yang semuanya berada di wilayah yang diduduki Israel sejak perang enam hari, tahun 1967. Projek pembangunan permukiman Yahudi ini semakin dikritik tajam oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice. Seusai pertemuannya dengan Abbas dan Fajad, dia melontarkan kritik pedas pada Israel:
"Saya kira dan Amerika Serikat mengira bahwa aktivitas dan pernyataan-pernyataan membawa pengaruh negatif bagi situasi perundingan. Dan ini bukan yang kami inginkan. Rasa saling percaya harus dibina dan tidak dirusak. Tak satu pihak pun hendaknya mengambil langkah yang menghambat hasil perundingan."
Selanjutnya Menteri Luar Negeri AS menegaskan sikap pemerintahnya:
"Saya ingin mengatakan secara jelas bahwa Amerika Serikat tidak mendukung aktivitas ini yang mengganggu tercapainya sebuah kesepakatan, termasuk perbatasan final."
Sebelum pembicaraan Rice di Ramallah, dia bertemu Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni dan telah merembukkan masalah pembangunan pemukiman tersebut. Namun tidak diketahui rincian pembicaraan antara Livni dan Rice. Hingga kini, Israel tampaknya tidak peduli dengan kritik Amerika atas projek pemukimannya. Padahal pembangunan pemukiman baru itu menghambat pembicaraan sejak tujuh bulan ini.
Target pemerintahan Amerika Serikat untuk memediasi kesepakatan dua negara antara Israel dan Palestina pada tahun ini, tampaknya semakin menjauh. Condoleezza Rice pun kini menunjukkan sikap skeptis. Hambatan lainnya adalah krisis politik dalam negeri Israel saat ini yang dipicu skandal korupsi dari Perdana Menteri Olmert. Krisis ini dapat berakibat digelarnya pemilu baru dan pergantian pemerintahan. Dan ini berarti bahwa kelanjutan perundingan Israel-Palestina tidak dapat dipastikan.
Sementara itu, upaya Mesir agar tercapai gencatan senjata antara Israel dan kelompok radikal Hamas di Jalur Gaza, tampaknya menunjukkan kemajuan kecil. Namun, juru bicara Israel Mark Regev mengatakan, kemajuan tercapai hanya dalam bidang kerjasama dan bersamaan dengan itu Regev meredam harapan gencatan senjata dapat tercapai pada hari-hari mendatang. Dia mengatakan, target Israel masih tetap sama, yaitu menghentikan serangan roket dari Jalur Gaza ke pemukiman Israel:
"Israel ingin mengakhiri serangan teror di selatan. Pada akhir pekan ini roket kembali menyerang warga yang tak berdosa. Ini harus dihentikan dan akan berhenti, dengan cara apa pun juga. Apakah melalui penyelesaian Mesir yang sebenarnya kami inginkan, atau angkatan bersenjata Israel yang akan mengakhiri serangan itu."
Menurut laporan media, Israel tampaknya bersedia melakukan gencatan senjata, meskipun untuk itu Hamas tidak akan membebaskan tentara Israel Gilad Shalit yang diculik tahun 2006. Sebelumnya, Israel selalu mengaitkan gencatan senjata dengan pembebasan Shalit. Tapi, untuk imbalannya Hamas menuntut pembebasan sekitar 450 tahanan Palestina dari penjara Israel. Untuk saat ini mungkin mula-mula akan dilakukan gencatan senjata agar dapat melakukan perundingan menyangkut tentara Israel yang diculik tersebut. (cs)