Menimba Minyak, Melupakan Rakyat
9 Mei 2008Mungkin tak banyak yang mengetahui sebuah negara kecil di pantai barat Afrika.Yakni Guinea Equatorial. Memang negaranya kecil, dan selama ini tidak ada sesuatu yang menarik, yang membuat nama negara ini terkenal di dunia. Tapi sejak beberapa tahun belakangan, sejak ditemukannya ladang minyak pada tahun 1991, negara di pantai barat Afrika ini dinilai mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat.
Guinea Equatorial luasnya sekitar 28.000 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 550 ribu jiwa. Yang menarik, wilayah negara ini, terdapat di daratan Afrika seluas 26.000 kilometer persegi. Sisanya berupa sejumlah pulau lepas pantai barat Afrika.Salah satu pulau terbesarnya bernama Bioko.
Guinea Equatorial mencatat sejarah yang panjang, sebelum meraih kemerdekaan pada tahun 1968. Pada tahun 1500, Guinea Equatorial dijajah Portugal dengan nama Fernando Poo. Pada tahun 1778 kasawan itu menjadi koloni satu-satunya koloni Spanyol di kawasan sub sahara Afrika. Penguasa kolonial Spanyol, pada abad ke-19, mengembangkan perkebunan terutama di Pulau Bioko.
Tanggal 12 Oktober 1968 Guinea Equatorial memperoleh kemerdekaannya. Tiga pekan menjelang merdeka Fransisco Macias Nguema dipilih menjadi presiden. Namanya dikenal dalam sejarah sebagai 'diktator paling berdarah di Afrika'. Pada awal tahun 1969 terjadi kerusuhan yang mendorong dicabutnya konstitusi, yang memungkinkan Fransisco Macias Nguema membentuk sebuah rezim teror. Ribuan penentangnya dihukum mati dan sepertiga penduduk Guinea Equatorial melarikan diri ke luar negeri.
Sejak tahun 1979 Teodoro Obiang menjabat presiden setelah melakukan perebutan kekuasaan. Guinea Equatorial disebutnya sebagai sebuah negara demokrasi dengan sistem multi-partai. Tapi yang menang mutlak dalam setiap pemilihan umum adalah Partai Demokrasi Guinea Equatorial yang didirikannya pada tahun 1987. dan sampai tahun 1991, partai tersebut merupakan satu-satunya partai politik di negara ini. Setelah tahun1991 bermunculan sekitar 20 partai oposisi yang umumnya sangat lemah.
Mengalirnya Petrodollar
Pada tahun 1991, di depan pantai Pulau Bioko dan di depan pantai wilayah Guinea di daratan Afrika ditemukan ladang minyak bumi, yang diolah perusahaan asing. Penemuannya melejitkan pertumbuhan ekonomi di negara ini. Dari tahun 1998 sampai 2002, produk nasional kotor meningkat mencapai 24 persen. Pada tahun 2004, sekitar 90 persen produk nasional bruto berasal dari penghasilan minyak bumi.
Pada tahun 2007, pendapatan perkapita di Guinea Equatorial mencapai lebih dari 44.000 Dollar. Angka yang tertinggi di Afrika dan menyamai pendapatan perkapita di Swiss. Mengenainya Simeon Sopaile Bubabaila, penerbit majalah Gacetade Guine Ecuatorial mengatakan:
"Dengan percepatan pembangunan yang sekarang dilakukan pemerintah, maka dalam waktu sepuluh tahun mendatang, Guinea Equatorial akan berubah menjadi sebuah negara yang menakjubkan. Saya yakin hasil dari pengolahan minyak, akan menjadikan Guinea Equatorial sebagai salau satu pionir di Afrika, terutama di kawasan Afrika Tengah."
Dalam memproduksi minyak, Guinea Equatorial menduduki tempat ketiga terbesar di kawasan subsahara Afrika, dan berada dibawah Nigeria dan Angola. Tahun lalu, Guinea Equatorial memproduksi 400.000 barel minyak sehari. Demikian menurut perhitungan Dana Moneter Internasional (IMF). 90 persen produksinya di ekspor, terutama ke Amerika Serikat. Petro dollar yang mengalir, antara lain dipergunakan membangun istana presiden yang baru, yang dibangun Presiden Theodoro Obiang di pusat kota Malabo. Di dekatnya juga dibangun hotel mewah kedua serta pelabuhan samudera di kota Luba yang terletak di Pulau Bioko.Pelabuhan itu akan merupakan pelabuhan penting untuk mengangkut bahan baku di teluk Afrika Barat.
Meskipun petro dollar terus mengucur dan pendapatan perkapita yang tertinggi di Afrika, namun rakyat Guinea Equatorial tidak menikmatinya. Wartawan Simeon Buaballa menunjukkan warga yang menjunjung ember plastik di kepalanya yang harus berjalan kaki dari satu desa ke desa lainnya. Pada malam hari, sebagian besar wilayah masih gelap gulita, karena belum adanya jaringan listrik. Juga bangunan besar di ibu kota Malabo, misalnya gedung kedutaan asing sering menggunakan generator. Simeon Buaballa menambahkan:
"Listrik mati terjadi setiap hati. Ini menimbulkan banyak masalah. Perabotan rumah tangga rusak, lampu byar pet. Penduduk menunjukkan rasa tidak puas. Mereka putus asa."
Rakyat Tetap Miskin
Sementara itu perkebunan coklat yang dulu merupakan kebanggaan Guinea Equatorial tidak meninggalkan bekasnya. Hanya di pinggir-pinggir jalan tampak kaum perempuan yang menanam sayur-sayuran. Tapi hasilnya tidak banyak dijumpai di toko swalayan. Sebagian besar keperluan pangan, diantaranya daging, didatangkan dari Spanyol atau negara Eropa lainnya.
Penguasa Guinea Equatorial menyebut pemerintahan yang dijalankannya berdasarkan sistem demokrasi parlementer.T api pada kenyataannya Presiden Theodoro Obiang yang menentukan pengambilan semua keputusan, di segala tingkatan. Ia membungkam lawan politiknya. Serikat Pekerja dilarang. Radio dan televisi milik pemerintah. Satu-satunya organisasi hak asasi yang diizinkan dibentuk, dikendalikan penguasa. Jadi tidaklah mengherankan, bila sejumlah organisasi hak asasi Internasional mencantumkan Guinea Equtorial dalam daftar hitam pelanggaran hak asasi. Warga yang kritis, harus dengan sikap berhati-hati menyampaikan pandangannya. Demikian dikatakan Honorioa Ndong, seorang penyiar radio. Ia mengungkapkan:
"Saya bekerja di sebuah pemancar radio nasional. Bila menyangkut kritik, terdapat hal dimana saya tidak dapat mengatakan, apa yang ingin saya katakan. Banyak yang ingin saya katakan. Tapi yah, saya tidak dapat menyampaikannya."
Meskipun boom ekonomi telah membawa Guinea Equatorial keluar dari isolasi politik dan budaya, tapi kehidupan rakyat dan politiknya tidak berubah. Kucuran petro dollar tidak dinikmati sebagian besar rakyatnya. Ternyata kekayaan minyak yang dimiliki Guinea Equatorial tidak membawa berkah bagi mereka.(ar)