Para Elit Afrika Lebih Memilih Berobat di Luar Negeri
12 Agustus 2025Pada dasarnya setiap orang dapat memutuskan di mana ia akan mendapatkan pertolongan medis. Namun, banyaknya kasus di mana pemimpin negara Afrika yang kerap memilih untuk berobat ke luar negeri menimbulkan pertanyaan, mengapa para pemangku kebijakan tidak berjuang mengembangkan sistem kesehatan nasionalnya.
Kasus terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah mantan Presiden Zambia, Edgar Lungu, yang meninggal di sebuah rumah sakit di Afrika Selatan pada 5 Juni dan Muhammadu Buhari, Presiden Nigeria, yang meninggal 13 Juli lalu di London.
"Kondisi sistem kesehatan di Nigeria sangat mengkhawatirkan. Masalah terbesarnya adalah infrastruktur. Tidak ada obat-obatan dan peralatan medis yang berfungsi,” kata Jamila Atiku, peneliti kesehatan publik di Nigeria, dalam wawancara dengan DW.
Minimnya investasi pada lembaga kesehatan publik
Alasan di balik "wisata medis” (kosakata yang digunakan bagi mereka yang bepergian ke luar negeri untuk mendapat perawatan medis) adalah karena kurangnya fasilitas perawatan khusus di daerah setempat, rumah sakit yang kurang lengkap, dan kekhawatiran keamanan bagi para politisi. Faktor lainnya adalah ketergantungan yang berlebihan pada bantuan asing, menurut Chamunorwa Mashoko, seorang aktivis hak kesehatan di Zimbabwe.
"Di Afrika, setidaknya 32 dari 54 negara tidak mengalokasikan dana yang signifikan untuk sektor kesehatan. Alasannya adalah ketergantungan yang berlebihan pada bantuan,” jelasnya kepada DW. "Afrika tidak memahami bahwa bantuan keuangan asing di sektor kesehatan hanya bertujuan untuk kepentingan diplomatik. Mereka yang mendukung kami dengan semua bantuan ini sebenarnya tidak benar-benar menjawab tantangan sektor kesehatan kami,” kata Mashoko.
Negara-negara Afrika menerima bantuan dana kesehatan senilai lebih dari 52 miliar euro (986 triliun rupiah) namun jumlah tersebut hanya sebagian kecil dari total pembiayaan kesehatan yang dibutuhkan untuk benua tersebut.
Dalam Deklarasi Abuja tahun 2001, negara-negara anggota Uni Afrika (AU) berkomitmen untuk mengakhiri krisis kesehatan di benua tersebut dengan mengalokasikan 15 persen dari anggaran nasional tahunan mereka untuk sektor kesehatan.
Namun, lebih dari dua dekade kemudian, hanya tiga negara, yakni Rwanda, Botswana, dan Cape Verde, yang memenuhi atau melampaui target tersebut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)melaporkan bahwa lebih dari 30 negara anggota AU menggunakan kurang dari 10 persen anggaran nasionalnya untuk layanan kesehatan, bahkan beberapa negara bahkan hanya mengalokasikan 5 hingga 7 persen.
"Nigeria berfluktuasi antara empat dan enam persen dari anggaran tahunan,” kata pakar Nigeria Atiku. Politikus Nigeria hanya peduli pada proyek infrastruktur lain seperti jalan, katanya. "Dokter dan tenaga medis terus ‘mogok kerja' karena gaji mereka terlalu rendah.”
Pendanaan publik yang tidak memadai untuk sistem kesehatan telah menyebabkan sistem kesehatan di banyak negara di Afrika dikelola dengan buruj dan berkinerja buruk."Ketergantungan berlebihan pada dana eksternaltidak berkelanjutan dan bertentangan dengan target kesehatan universal,” tegas Itai Rusike dari komunitas kelompok kerja kesehatan yang berbasis di Zimbabwe.
"Target untuk mengalokasikan 15 persen anggaran negara Abuja untuk sektor kesehatan masih sulit dicapai. Mengingat pertumbuhan populasi, beban penyakit yang besar, kondisi infrastruktur yang buruk, dan tingkat fluktuasi yang tinggi di sektor kesehatan, target ini kini sudah tidak relevan lagi,” tambah Rusike.
Layanan medis apa saja yang dicari di luar negeri?
Metode dan fasilitas perawatan khusus di bidang onkologi, kardiologi, neurologi, ortopedi, transplantasi organ, kesuburan, dan pediatri kerap dicari para pasien Afrika di luar negeri.
Lebih dari 300.000 orang Afrika bepergian ke India setiap tahun untuk mendapatkan layanan medis, menghabiskan lebih dari dua miliar dolar AS (sekitar 32 triliun rupiah). India diperkirakan mengumpulkan lebih dari enam miliar dolar setiap tahun (97 triliun rupiah) dari wisata medis. Lewat inisiatif "Heal in India”, negara tersebut diproyeksikan dapat mengumpulkan 13 miliar dolar AS hingga (211 triliun rupiah) hingga 2026.
Menurut jurnal ilmiah African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, sekitar satu miliar dolar AS yang dihabiskan warga Nigeria tiap tahunnya untuk wisata medis. Jumlah ini hampir setara dengan 20 persen pengeluaran kesehatan publik tahunan untuk menggaji tenaga kesehatan. Menurut perkiraan, setiap bulan 5.000 warga Nigeria terbang ke luar negeri untuk perawatan medis, banyak di antaranya memilih India.
Apa yang perlu dilakukan?
Beberapa otoritas kesehatan Afrika mengklaim bahwa mereka sedang berusaha meningkatkan layanan kesehatan di negara mereka. "Masih ada potensi perbaikan dalam pembiayaan sistem kesehatan. Kami menargetkan hingga 2027 setidaknya 17.000 fasilitas layanan kesehatan dasar di Nigeria dapat beroperasi," jelas Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nigeria, Iziaq Adekunle Salako, kepada DW. ”Tidak ada sistem kesehatan di dunia yang 100 persen sempurna. Kami yakin bahwa kami berada di jalur yang benar dalam mengimplementasikan solusi."
Para ahli kesehatan mengatakan bahwa pemerintah Afrika perlu membangun fasilitas kesehatan modern untuk menyediakan layanan kesehatan yang selama ini didapatkan di luar negeri.
Namun, menunggu inisiatif politik tidak cukup, kata aktivis kesehatan Zimbabwe, Mashoko. "Komunitas harus bersatu dan mengumpulkan sumber daya untuk menciptakan sistem kesehatan yang bermanfaat bagi mereka,” kata Mashoko kepada DW.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid