Marak Kekeringan di Jerman, Apa Solusinya?
4 Juni 2025Sebuah pepatah lama petani Jerman berbunyi: "Bulan Mei yang sejuk dan basah, memenuhi lumbung dan tong petani.” Tapi di tahun 2025, hujan yang seharusnya datang tak kunjung terlihat. Yang terjadi justru malah sebaliknya: Kekeringan parah.
Dari awal Februari hingga pertengahan April, curah hujan di Jerman tercatat sebagai yang terendah dalam hampir satu abad. Pada bulan Maret saja, curah hujan anjlok hampir 70 persen dibanding rata-rata tahun-tahun sebelumnya.
Dampak langsung kekeringan, tanah meranggas, pertanian terancam
Akibatnya, ancaman kebakaran hutan meningkat secara signifikan. Di negara bagian Thüringen dan Nordrhein-Westfalen, kemunculan titik api sudah mulai dilaporkan. Adapun Sungai Rhein—jalur transportasi air terpenting di Eropa—mengalami penurunan permukaan air secara drastis. Alhasil, kapal-kapal logistik hanya bisa mengangkut maksimal 25 persen dari muatan normal.
Kondisi ini berdampak langsung pada biaya pengiriman yang melonjak. Para ahli memperingatkan bahwa harga barang-barang konsumsi bisa ikut terdongkrak. Asosiasi Kota-kota Jerman (Deutscher Städtetag) ikut menyerukan masyarakat untuk mulai menghemat air minum.
Data dari Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz menunjukkan derasnya penyebaran titik kekeringan ekstrem, terutama di wilayah utara, timur laut, dan sebagian Bayern.
Kekeringan bukan hanya terjadi di permukaan, melainkan di seluruh lapisan tanah. Bagian yang meranggas paling cepat mencapai sedalam 25 sentimeter dari permukaan—bagian yang sangat penting bagi pertanian.
"Lapisan tanah ini sangat krusial bagi tanaman pertanian seperti gandum atau padang rumput karena akar mereka cenderung dangkal,” jelas pakar lingkungan Borchardt. Dia menambahkan, kekeringan bisa menjadi isu umum di masa depan akibat pemanasan global.
Prediksi itu diamini oleh Dinas Cuaca Jerman (Deutscher Wetterdienst) dan Badan Lingkungan Hidup (Umweltbundesamt). Kedua lembaga menyatakan bahwa kekeringan ekstrem kemungkinan besar akan terjadi lebih sering, seiring meningkatnya suhu bumi.
Kekeringan di zona kuning
Para ahli memperingatkan: kondisi air tanah Jerman sedang berada di zona waspada. "Lampu kuning sudah menyala," kata Borchardt, peneliti dari Helmholtz-Zentrum für Umweltforschung. Tanah yang terlalu kering justru tidak mampu menyerap air dengan baik karena permukaannnya keras. Air akibatnya hanya menggenang di permukaan dan tidak meresap.
Tanah yang kering menjadi masalah besar saat hujan deras datang. Alih-alih memulihkan cadangan bawah tanah, air justru langsung mengalir ke permukaan, menuju sungai dan selokan. "Hujan lebat hampir tidak memberikan kontribusi bagi pembentukan air tanah baru, apalagi jika tanah sudah mengeras akibat kekeringan."
Padahal, masa krusial pengisian ulang air tanah terjadi antara bulan November dan Maret, ketika tumbuhan masih dalam masa dorman dan tak banyak menyerap air. Namun musim lalu, bulan-bulan itu justru nyaris tanpa hujan. Di Sachsen, lebih dari 80 persen titik pengukuran menunjukkan penurunan signifikan pada muka air tanah.
Institut Helmholtz mencatat, hanya hujan ringan dan merata selama sehari yang bisa sedikit membasahi permukaan tanah. Namun untuk mengisi ulang air tanah secara nyata, dibutuhkan hujan stabil selama beberapa minggu. Dan waktu kian menipis. "Kalau hujan baru turun di musim panas, hampir tidak ada yang akan terserap ke dalam tanah," kata Borchardt.
Kondisi ini memberi tekanan besar pada sektor pertanian. "Sekarang saatnya tanaman mulai tumbuh dan berbunga, dan itu butuh air," ujar Verena Graichen dari organisasi lingkungan BUND. Tanpa pasokan air yang cukup, tanaman, khususnya pohon berakar dangkal, akan cepat mengalami stres kekeringan. Akibatnya, mereka lebih rentan terhadap serangan hama dan kerusakan akibat badai.
Efek jangka panjangnya serius. "Jika hutan atau lahan gambut melemah karena kekeringan, kemampuan unit ekologi ini untuk menyerap karbon juga menurun," tambah Graichen. Dalam skala besar, kondisi ini mempercepat perubahan iklim, menciptakan siklus yang semakin sulit diputus.
Pertanian di ujung tanduk
Sektor pertanian adalah yang paling terpukul jika hujan tak segera turun. "Kalau kekeringan terjadi di awal musim panas, saat tanaman mulai berbuah, itu bisa jadi bencana,” kata Meike Mieke dari Asosiasi Petani Brandenburg. Saat ini, para petani masih berharap cuaca membaik.
Celakanya, ramalan dari Dinas Cuaca Jerman juga tidak menghibur, dengan kadar kelembapan tanah yang diprediksi terus turun.
Secara nasional, Jerman belum memasuki fase krisis air secara kuantitatif. Sebuah negara dideklarasikan mengalami stres air jika konsimsi tahunan melampaui 20 persen dari cadangan air nasional.
Di Jerman, hanya sekitar 10 persen dari total sumber daya air dimanfaatkan pada 2022. Angka ini terus menurun dalam beberapa dekade terakhir.
Rendahnya permukaan sungai membawa masalah tersendiri. Sektor energi, yang paling banyak menggunakan air—sekitar 6,6 miliar liter air sungai pada 2022—bergantung pada pasokan air untuk mendinginkan pembangkit listrik termal. Meski air ini biasanya dikembalikan dalam kondisi hampir sama, kekeringan ekstrem tetap berdampak. Pada musim panas 2018, misalnya, beberapa pembangkit harus mengurangi produksi karena air sungai terlalu sedikit.
Namun, "dengan transisi menuju energi terbarukan, kebutuhan untuk mendinginkan pembangkit energi akan sangat berkurang pada pertengahan abad ini," ujar Kirschbaum. Energi dari matahari dan angin tidak membutuhkan sistem pendingin, sebabnya dianggap ramah iklim dan efisien air.
Air masih cukup, tapi sampai kapan?
Di luar sektor energi, kebutuhan air juga besar di industri—terutama kimia, logam, dan produksi kertas. Sekitar 5 miliar liter air sungai dan air tanah digunakan di sektor ini, sebagian besar juga untuk pendinginan.
Ke depan, pusat data (server farms) diperkirakan akan menjadi pengguna air yang signifikan, seiring meningkatnya kebutuhan akan sistem pendingin di era digital.
Untuk saat ini, pasokan air masih mencukupi bagi sektor pertanian. Hanya sebagian kecil lahan pertanian di Jerman yang saat ini membutuhkan irigasi. Namun, para ahli memperingatkan: kondisi ini tidak akan bertahan lama.
Dengan semakin nyatanya dampak perubahan iklim, kebutuhan air untuk produksi pangan diprediksi melonjak drastis. "Menurut proyeksi, hingga tahun 2100, kebutuhan air untuk pertanian bisa meningkat hingga empat kali lipat,” ujar Borchardt. Penyebabnya bukan hanya berkurangnya curah hujan, tapi juga karena suhu yang lebih tinggi membuat air lebih cepat menguap.
Borchardt menyimpulkan dengan tegas, "Dengan kata lain, kita tidak bisa lagi menganggap bahwa air akan selalu tersedia untuk semua kebutuhan.”
Pertanyaannya adalah: jika musim kering makin sering terjadi, siapa yang harus berhemat air, dan bagaimana?
"Prioritas utama adalah mempertahankan air di dalam lanskap,” kata Bernd Kirschbaum dari Badan Lingkungan Hidup Jerman (Umweltbundesamt). Salah satu caranya adalah memberi kembali ruang bagi sungai, hutan, dan lahan basah agar bisa menampung air lebih baik secara alami.
Verena Graichen dari organisasi BUND menambahkan, "Sungai yang mengalir berkelok, bisa menampung air lebih banyak saat hujan dan mengalir lebih pelan saat kering. Itu membantu menjaga kelembapan di seluruh wilayah.”
Di kota-kota, solusi serupa juga bisa diterapkan. Membuka kembali area yang tertutup beton dan menanam lebih banyak vegetasi memungkinkan air hujan meresap lebih baik ke dalam tanah, alih-alih langsung mengalir ke sistem drainase.
Potensi penghematan di sektor industri
Kirschbaum melihat potensi besar untuk penghematan air di sektor industri. "Di area industri atau atap bangunan besar, air hujan bisa dikumpulkan dan disaring, lalu digunakan kembali untuk keperluan teknis. Air limbah dari proses produksi pun bisa dimurnikan dan didaur ulang untuk dipakai lagi.”
Langkah-langkah semacam ini tidak hanya menghemat air, tapi juga mengurangi ketergantungan pada pasokan air bersih yang semakin terbatas.
Bagi sektor pertanian, Graichen menyarankan investasi pada sistem irigasi yang lebih efisien, seperti irigasi tetes, yang menyalurkan air langsung ke akar tanaman sehingga hampir tidak ada yang terbuang.
Selain itu, pilihan jenis tanaman juga perlu disesuaikan. "Kacang arab dan lentil, misalnya, membutuhkan air jauh lebih sedikit dibandingkan tanaman seperti buah beri,” kata Graichen. Tanaman-tanaman tahan kering ini bisa menjadi kunci ketahanan pangan di masa depan yang makin panas dan kering.
Artikel ini terbit pertama kali dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk