Lima Tahun Peringatan Serangan Rasis di Hanau
19 Februari 2025
Pada 19 Februari 2020, seorang pria bersenjata yang termotivasi keyakinan rasis sayap kanannya melancarkan aksi pembunuhan di Hanau, sebuah kota di Jerman dekat Frankfurt.
Ia menargetkan tempat-tempat yang terkait dengan komunitas imigran, menembak mati sembilan orang dan melukai tujuh lainnya. Setelah itu, ia mengarahkan senjatanya ke ibunya dan dirinya sendiri.
Pelaku telah menonton video YouTube sesaat sebelum serangan, termasuk pidato Björn Höcke, salah satu tokoh paling terkemuka di partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) dan pemimpinnya di negara bagian Thuringen.
Lima tahun kemudian, salah satu ibu korban mengatakan belum cukup banyak yang dilakukan untuk mencegah tragedi seperti itu terjadi lagi. Serpil Temiz Unvar kehilangan putranya yang berusia 23 tahun, Ferhat.
"Peristiwa tragis ini bergema di masyarakat, tetapi gema ini sebagian besar disebabkan oleh upaya keluarga yang terdampak, yang telah berjuang tanpa lelah untuk membuat suara mereka didengar," paparnya kepada DW.
Ditambahkannya: "Upaya-upaya ini, bersama dengan solidaritas yang ditunjukkan oleh banyak pihak, telah berkontribusi pada upaya masyarakat untuk bersatu dalam kasus ini lebih dari pada peristiwa serupa di masa lalu. Namun, upaya-upaya individual ini, meskipun penting, tidak cukup untuk mewujudkan transformasi masyarakat yang mendasar."
Mengenang para korban
Segera setelah pembantaian tersebut, Unvar mendirikan sebuah inisiatif pendidikan yang dinamai sesuai nama putranya untuk melawan rasisme dan memberdayakan kaum muda.
Sejumlah proyek sosial dan politik lainnya telah didirikan di kota tersebut. Banyak yang diluncurkan atau didukung oleh keluarga dan teman-teman korban, bertekad untuk mengungkap kesalahan yang mungkin menyebabkan serangan tersebut dapat dicegah, untuk menjaga kenangan orang-orang yang mereka cintai tetap hidup, dan untuk menyoroti rasisme di masyarakat Jerman.
Sebuah tugu peringatan juga akan didirikan pada tahun 2026 di sebuah persimpangan lalu lintas utama di Hanau yang akan berganti nama menjadi "Platz des 19. Februar" atau Lapangan 19 Februari, sebuah patung baja yang memuat nama sembilan korban: Gökhan Gültekin, Sedat Gürbüz, Said Nesar Hashemi, Mercedes Kierpacz, Hamza Kurtović, Vili Viorel Păun, Fatih Saraçoğlu, Ferhat Unvar, dan Kaloyan Velkov.
Tugu ini akan berdiri di luar Gedung Demokrasi dan Keberagaman, yang juga dijadwalkan selesai pada tahun yang sama dan akan dirancang sebagai ruang untuk dialog, pendidikan, dan peringatan.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Kelanjutan dan keterkaitan
Tragedi Hanau bukanlah kejadian yang hanya terjadi sekali. Diperkirakan lebih dari 200 orang tewas dalam serangan sayap kanan di Jerman sejak Jerman bersatu kembali. Meskipun negara ini sering dipuji karena budaya mengenang Holokaus dan kejahatan era Nazi, banyak yang merasa kurang ada kemauan untuk menghadapi berbagai tindakan kekerasan rasis di era pascaperang.
Furkan Yüksel, anggota Koalisi Wacana Publik Pluralistik (CPPD) dan seorang pendidik yang bekerja di bidang sejarah dan politik, termasuk di antara mereka yang mengkritik budaya mengenang Jerman. "Saya rasa citra Jerman tentang dirinya sebagai bangsa yang telah belajar dari pelajaran Perang Dunia Kedua dan berhasil meninggalkan masa lalunya agak menipu," jabarnya kepada DW.
Mirjam Zadoff, direktur Pusat Dokumentasi München untuk Sejarah Sosialisme Nasional, menekankan perlunya mengakui keterkaitan antara masa lalu dan masa kini Jerman.
"Rasanya sangat penting untuk menunjukkan kesinambungan karena orang-orang dibunuh oleh ideologi yang sama, dan mereka bahkan terkadang berasal dari keluarga yang sama - seperti dalam kasus Mercedes Kierpacz, yang kakek buyutnya dibunuh di Auschwitz dan menjadi salah satu korban di Hanau."
Kierpacz, seorang ibu dua anak berusia 35 tahun - seperti dua korban Hanau lainnya - adalah anggota komunitas Roma dan Sinti, minoritas yang juga dianiaya di bawah Nazisme.
Poster merah putih dengan gambar hati yang patah dan berbagai gambar sembilan korban dan slogan yang menyerukan agar mereka diingat, untuk keadilan dan penyelidikan atas kejahatan tersebut.
"Gagasan tentang masyarakat homogen yang menganggap dirinya sebagai orang Jerman, sementara orang lain yang berbeda agama atau etnis tetap menjadi orang luar - itu merupakan kelanjutan dari kedua kediktatoran Jerman," kata Zadoff kepada DW.
Reformasi pemerintah ditinggalkan
Ketika pemerintahan kiri-tengah Kanselir Jerman Olaf Scholz berkuasa pada tahun 2021, perjanjian koalisi menyatakan bahwa budaya mengenang negara itu akan diperluas untuk mencakup sejarah kolonial dan migran.
Jerman baru secara resmi mengakui bahwa itu adalah negara imigran pada tahun 1999. Namun, pekerja migran mulai berdatangan dalam jumlah besar di tempat yang saat itu merupakan Jerman Barat pada tahun 1950-an dan di Jerman Timur pada tahun 1980-an, dan sejarah komunitas kulit hitam Jerman sudah ada sejak abad ke-19.
Meskipun sudah ada dua museum yang menceritakan kisah emigrasi Jerman ke luar negeri di kota-kota utara Hamburg dan Bremerhaven, museum pertama negara itu tentang migrasi ke Jerman baru akan dibuka di Köln pada tahun 2029. Dinamakan DOMiD, museum ini tumbuh dari sebuah inisiatif yang diluncurkan oleh imigran Turki pada akhir tahun 1980-an.
Proposal tahun lalu dari kantor komisioner budaya Claudia Roth untuk memperluas budaya peringatan Jerman akhirnya ditangguhkan di tengah kritik, khususnya dari para kepala situs peringatan Holokaus.
Mereka khawatir tentang relativisasi Shoah, pembunuhan sistematis yang disponsori negara terhadap sekitar enam juta orang Yahudi, bersama dengan Sinti dan Roma, lawan politik, dan kelompok-kelompok lain.
Ribuan orang membawa spanduk dengan wajah para korban dan plakat dengan nama mereka berkumpul untuk memperingati ulang tahun keempat Hanau dan berdemonstrasi melawan teror sayap kanan.
Namun, beberapa lembaga publik sudah mulai berubah. Pusat Dokumentasi München untuk Sejarah Sosialisme Nasional mulai memasukkan pameran tentang kekerasan sayap kanan di Jerman kontemporer setelah serangan senjata tahun 2016 di München, yang menewaskan sembilan orang. Dan pada tahun 2024, pusat ini memamerkan instalasi karya Talya Feldman "Wir sind Hier" (Kami Ada di Sini).
Berdasarkan proyek peta digitalnya yang sedang berjalan dengan nama yang sama, karya tersebut mengenang para korban teror sayap kanan dan kekerasan polisi selama 40 tahun terakhir, termasuk Hanau. Seniman asal Amerika Serikat tersebut menyebut proyeknya sebagai seruan untuk "mengingat secara aktif".
Rasisme struktural, pendidikan, wacana politik
Yüksel ingin melihat pendekatan transnasional terhadap pengajaran sejarah di sekolah-sekolah Jerman dan pengakuan bahwa rasisme dan ekstremisme sayap kanan ada dalam semua konteks budaya.
Ia juga menyerukan pelatihan antidiskriminasi untuk menjadi bagian wajib dari pelatihan guru di Jerman dan untuk lebih banyak kesadaran tentang rasisme struktural di bidang-bidang seperti pendidikan, lembaga penegakan hukum, dan kedokteran.
Ia juga mengkritik wacana politik seputar migrasi di seluruh spektrum partai setelah perdebatan "remigrasi" AfD yang kontroversial, sebuah rencana yang dilaporkan untuk deportasi massal jutaan penduduk.
"Kita perlu menciptakan kesadaran bahwa kekerasan sayap kanan bukan hanya fenomena yang melibatkan pelaku individu yang gila," katanya. "Itu bukan hanya senjata terhunus yang menciptakan kekerasan."
Meskipun terjadi pembunuhan di Hanau pada tahun 2020, AfD, yang sebagian anggotanya telah diklasifikasikan sebagai ekstremis sayap kanan oleh dinas intelijen negara, memperoleh lebih dari 18% suara dalam pemilihan daerah tahun 2023 di Negara Bagian Hessen, tempat Hanau berada, dan menjadi partai terbesar kedua.
Musim gugur lalu, lukisan dinding setinggi 27 meter yang menggambarkan wajah para korban Hanau di kota terbesar di negara bagian Hessen, Frankfurt, harus dipugar setelah diolesi cat bergambar swastika dan lambang SS.
Yang lebih mengancam lagi, ayah pelaku telah berulang kali melecehkan Serpil Temiz Unvar lewat surat dan upaya menghubungi meskipun ada perintah penahanan.
Oktober lalu, pengacara Unvar meminta hukuman penjara selama 18 bulan, tetapi hakim menyimpulkan bahwa meskipun Hans-Gerd R. "tanpa diragukan lagi rasis," hukuman penjara tidaklah tepat. Ia mengatakan bahwa meskipun ia mungkin akan melanjutkan tindakannya, ini adalah "sesuatu yang harus ditoleransi oleh masyarakat."