Krisis Politik di Pakistan
10 Agustus 2007Masa jabatan Musharraf sebagai presiden akan resmi berakhir November mendatang. Setelah itu seharusnya parlemen memilih presiden baru. Tapi Musharraf kelihatannya ingin mempertahankan kursi presiden, sekalipun menurut konstitusi, ia tidak boleh mencalonkan diri lagi. Mengenai situasi politik di Pakistan, harian Inggris Telegraph menulis:
„Jendral Pervez Musharraf dulu oleh pihak Barat dianggap sebagai figur yang menentukan dalam upaya menanggulangi terorisme internasional. Sekarang dengan manuver-manuvernya ia malah menemui jalan buntu. Pada kenyataannya, posisi presiden Pakistan ini makin lama makin lemah sebagai aliansi yang tadinya diharapkan bisa menghadapi jaringan teror Al Kaeda dan melawan kelompok Taliban. Posisi sang jendral sudah sangat lemah dan setiap upayanya untuk mempertahankan jabatan malah membuat situasi makin runyam. Musharraf sekarang harus mencari calon penerus. Setelah pemilihan parlemen yang seharusnya berlangsung dalam waktu dekat, para anggota parlemen akan memilih presiden baru. Sang jendral sebaiknya melepas seragam militer dan menarik diri dari panggung politik.“
Harian Austria Die Presse berkomentar:
„Kelihatannya Musharraf dihinggapi gagasan, bahwa hanya dirinya sendirilah yang mampu menyelamatkan Pakistan dari kekalutan saat ini. Tapi ia justru jadi penghambat perkembangan positif di negaranya. Ia adalah tokoh kunci jaringan militer dan industri Pakistan. Tentara masih tetap berperan di belakang layar dan menentukan kebijakan pemerintahan. Mereka dianggap bertanggung jawab untuk meluasnya korupsi, situasi tanpa hukum dan inflasi yang tinggi. Masalah utama Pakistan belum terpecahkan: aliansi antara para mullah dan militer menghindari perkembangan negara itu menuju demokrasi dan normalitas. Musharraf sejak dulu adalah tawanan sistem ini.“
Harian Jerman Badische Zeitung yang terbit di Freiburg menulis:
„Keadaan darurat tidak jadi diberlakukan. Apakah artinya Pakistan normal? Sebaliknya. Di negara berpenduduk muslim kedua terbesar dunia setelah Indonesia ini, situasinya sejak dulu seperti dalam keadaan darurat. Itulah normalitas di negara ini. Pakistan bisa menjadi mimpi buruk bagi Barat.
Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung menyoroti pertemuan Jirga Perdamaian antara para pimpinan suku dan kelompok etnis Afghanistan dan Pakistan di Kabul. Harian ini menulis:
“Para pejuang Taliban bebas menyeberangi perbatasan di bawah pengamatan para kepala suku. Hubungan kedua negara makin buruk. Keduanya saling menyalahkan pihak lain telah membiarkan teritorialnya jadi tempat persembunyian kelompok-kelompok yang menyiapkan aksi-aksi bersenjata. Jirga di Kabul diharapkan bisa membantu membangun kembali jembatan antara Kabul dan Islamabad. Tapi presiden Pakistan Musharraf batal hadir dan menerangkan, ia masih punya kewajiban penting di ibukota.”