Krisis Kelahiran Timur Tengah: Dulu 7 Anak, Kini Hampir Nol
10 Juli 2025Para ahli menyebut ada "revolusi senyap" yang sedang berlangsung di Timur Tengah. Ini bukan revolusi yang melibatkan unjuk rasa di jalanan atau tumbangnya pemerintahan, melainkan perubahan yang terjadi secara diam-diam di dalam rumah tangga. Revolusi iniberkaitan dengan menurunnya tingkat kesuburan.
Hampir di seluruh negara Timur Tengah, jumlah anak yang dilahirkan perempuan selama usia suburnya telah menurun drastis dalam dua hingga tiga dekade terakhir.
Tingkat Kesuburan Total (TFR), yang merujuk pada jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan antara usia 15 dan 49 tahun, telah berkurang lebih dari setengahnya di Timur Tengah sejak tahun 1960-an. Perempuan di wilayah ini dulu rata-rata melahirkan sekitar tujuh anak, tetapi pada awal 2010-an, angka tersebut turun menjadi tiga.
Penurunan tingkat kesuburan merupakan fenomena global. Namun, pada tahun 2016, para peneliti melaporkan bahwa Timur Tengah mengalami "penurunan tingkat kesuburan terbesar di dunia dalam 30 tahun terakhir.”
Selama 10 tahun terakhir, angka-angka tersebut terus menurun. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Middle East Fertility Society pada Oktober tahun lalu menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan tersebut mengalami penurunan TFR antara 3,8% hingga 24,3% antara tahun 2011 dan 2021, dengan penurunan terbesar terjadi di Yordania, Irak, dan Yaman.
Menurut data Bank Dunia, pada tahun 2023, lima dari 22 negara anggota Liga Arab memiliki TFR di bawah 2.1, angka kelahiran per orang yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat populasi dan empat negara lainnya mendekati angka tersebut. Misalnya, Uni Emirat Arab memiliki TFR hanya 1.2, jauh di bawah tingkat penggantian populasi. Angka tersebut bahkan lebih rendah daripada beberapa negara Eropa: Pada tahun 2024, TFR nasional Jerman diperkirakan sebesar 1.38 anak dari setiap perempuan usia subur.
Mengapa orang di Timur Tengah punya lebih sedikit bayi?
Para ahli telah mengajukan sejumlah hipotesis mengenai mengapa hal ini terjadi. Hipotesis-hipotesis ini umumnya terbagi menjadi dua kategori yang saling terkait: ekonomi dan politik, atau sosial dan budaya.
Kategori pertama mencakup hal-hal seperti perang dan ketidakpastian politik, orang tidak ingin membawa anak ke dunia yang tidak aman. Perubahan ekonomi, termasuk penghapusan subsidi nasional di Mesir dan Yordania, inflasi, atau berkurangnya pekerjaan di sektor publik di negara-negara penghasil minyak, membuat semakin sulit untuk membiayai pernikahan dan anak-anak. Perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan turut menjadi faktor utama bagi pasangan muda di Timur Tengah, yakni kawasan yang mengalami pemanasan lebih cepat dibanding banyak wilayah lainnya.
Perubahan sosial dan budaya meliputi ketersediaan dan penerimaan kontrasepsi yang semakin luas (termasuk di kalangan konservatif agama) dan perceraian, serta reformasi penting dalam status perempuan, termasuk akses perempuan ke pendidikan dan partisipasi mereka dalam angkatan kerja.
Hal ini juga kemungkinan melibatkan urbanisasi. Misalnya, di daerah pedesaan di Yordania dan Mesir, tingkat fertilitas seringkali dua kali lipat dibandingkan di kota-kota besar. Hal ini bahkan mungkin melibatkan media sosial. Beberapa analis berargumen bahwa akses terhadap informasi tentang gaya hidup "Barat” mengubah pandangan tentang seperti apa keluarga ideal seharusnya.
Semua faktor ini saling terkait, kata para ahli seperti Marcia Inhorn, profesor antropologi dan urusan internasional di Universitas Yale di AS, yang telah meneliti secara mendalam perubahan sikap terhadap anak dan pernikahan di wilayah tersebut. Di persimpangan kedua kategori ini adalah apa yang para ilmuwan sosial sebut "waithood,” katanya kepada DW.
Tradisi pernikahan di Timur Tengah seringkali mengharuskan transfer kekayaan, misalnya, di Irak, ini mungkin termasuk perhiasan emas, uang tunai, atau rumah yang sudah fully furnished, seringkali dibayar oleh mempelai pria. "Dan generasi muda tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk mengumpulkan semua itu untuk menikah,” kata Inhorn, jadi mereka memilih untuk menunda.
Ada juga peningkatan kelompok perempuan yang menunggu pasangan yang tepat atau mungkin tidak akan pernah menikah, lanjutnya. "Dan di seluruh wilayah, minat untuk memiliki keluarga besar juga menurun,” tambah Inhorn. "Ada pandangan ‘saya lebih memilih keluarga kecil berkualitas tinggi di mana saya bisa memberikan anak-anak saya hal-hal yang mereka layak dapatkan' daripada keluarga besar.”
Penurunan fertilitas di negara-negara Arab
"Manusia akan memasuki era baru dalam sejarah. Sebut saja ‘era depopulasi',” tulis Nicholas Eberstadt, ekonom politik dari lembaga think tank berbasis di Washington, American Enterprise Institute, untuk majalah Foreign Affairs pada akhir tahun lalu. Nicholas menambahkan, "Untuk pertama kalinya sejak Wabah Hitam pada abad ke-14, populasi planet ini akan menurun.”
Secara umum, para ahli berbeda pendapat mengenai dampak dari fakta bahwa 76% negara di dunia diperkirakan akan memiliki angka kelahiran di bawah tingkat penggantian populasi dalam dua setengah dekade ke depan.
"Apa artinya hal ini bagi masa depan umat manusia masih cukup ambigu,” tulis para peneliti dari Dana Moneter Internasional (IMF) bulan lalu mengenai perdebatan tersebut.
"Di satu sisi, beberapa pihak khawatir hal ini dapat menghambat kemajuan ekonomi karena akan ada lebih sedikit pekerja, ilmuwan, dan inovator ...di sisi lain, jumlah anak yang lebih sedikit dan populasi yang lebih kecil berarti akan ada kebutuhan yang lebih sedikit untuk pengeluaran pada perumahan dan perawatan anak, sehingga sumber daya dapat dialihkan untuk penggunaan lain,” lanjut para peneliti IMF. " Penurunan populasi juga dapat mengurangi tekanan pada lingkungan."
Tingginya proporsi lansia dinilai akan mengancam keberlanjutan jaring pengaman sosial dan sistem pensiun, menurut para ahli. Masalah ini diperkirakan akan lebih berat di Timur Tengah, di mana anak muda merawat orang tua mereka secara langsung dan panti jompo bukanlah hal yang lazim.
Kinerja ekonomi di beberapa negara yang mulai mengalami sub-replacement fertility (tingkat kelahiran di bawah angka pengganti) cenderung lesu, kata Eberstadt kepada DW.
"Artinya, satu generasi dari sekarang, banyak masyarakat di kawasan Timur Tengah Raya, meskipun tidak semuanya, tapi banyak, akan mengalami penuaan, bahkan mungkin mulai menyusut jumlah penduduknya, dengan populasi lansia yang besar dan rentan terhadap penyakit kronis," ujar Eberstadt. "Namun tanpa dukungan finansial seperti yang dimiliki negara-negara Barat untuk membiayai layanan kesehatan dan pensiun."
Dalam hal apakah penurunan tingkat fertilitas baik atau buruk dalam jangka panjang, secara umum, Eberstadt tetap optimis dengan hati-hati. "Saya mulai meneliti ini sejak lama, pada era ketika semua orang khawatir tentang ledakan populasi,” jelasnya. "Tapi saya pikir banyak kepanikan tentang hal itu sebenarnya tidak beralasan karena bukan berarti orang-orang bereproduksi seperti kelinci, mereka hanya berhenti mati seperti lalat. Ledakan populasi sebenarnya adalah ledakan kesehatan."
Layanan kesehatan terus berkembang, seiring dengan meningkatnya pendidikan dan pengetahuan, kata Eberstadt. "Semua itu akan menunjang prospek kemakmuran manusia di masa depan, meskipun jumlah penduduk semakin menurun. Di dunia yang menyusut dan menua, tentu akan ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan — namun kita adalah spesies yang cukup adaptif,” pungkasnya.
Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Iryanda Mardanuz
Editor: Prita Kusumaputri