Konferensi Islam / Protes Guru di Kampar
24 Februari 2004Tinjauan Pers Indonesia kali ini menyoroti Konferensi Cendekiawan Islam di Jakarta, dan Protes Guru di Kampar. Konferensi Internasional Cendekiawan Islam di Jakarta diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama dan Kementrian Luar Negeri Indonesia. Terutama setelah peristiwa serangan teror 11 September, dunia Islam menjadi sorotan. Umat Islam harus berhadapan dengan berbagai tuduhan dan citra negatif yang muncul terutama di negara-negara Barat. Harian Republika menulis:
Di tengah berbagai tuduhan negatif terhadap umat Islam itulah, PBNU bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama Departemen Luar Negeri RI mengambil inisiatif menyelenggarakan konferensi ini. NU dan juga Muhamadiyah sebagai ormas terbesar di negeri ini yang dikenal berpandangan moderat, tentu sangat berkepentingan untuk menangkis berbagai tuduhan yang merugikan umat Islam itu. Islam sebagai agama tentu memerintahkan kepada umatnya melakukan hal-hal yang baik dan dengan cara-cara yang baik pula. Hanya saja, seperti dikemukakan oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, akibat tarik-menarik kepentingan, terjadilah ketegangan-ketegangan global yang seringkali disangkutpautkan dengan Islam. Karena itu, harus ada upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam, seperti 'prinsip non-kekerasan, penghormatan kepada kehidupan, toleransi, dan kesetaraan untuk mencapai perdamaian dan kesejahteraan'. Upaya ini akan semakin menemukan legitimasinya apabila dilakukan oleh para ulama yang berkompeten. Di sinilah arti penting dari konferensi yang diselenggarakan PBNU ini. Selain ulama-ulama dan cendekiawan Muslim dari Indonesia, konferensi ini juga diikuti ulama-ulama besar dan berpengaruh dari berbagai negara. Dari Balai Sidang Jakarta diharapkan akan keluar rumusan Islam tentang apa itu perdamaian.
Sorotan berikutnya: protes para guru di Kampar. Setelah aksi protes berlangsung selama dua minggu, akhirnya DPRD Kampar melaksanakan sidang khusus dengan keputusan memberhentikan Bupati Jefry Noer, yang dinilai telah menghina para guru. Bagi para guru, ini merupakan keberhasilan memperjuangkan kepentingan mereka. Tetapi mereka juga harus hati-hati, jangan sampai jadi alat permainan politik. Harian Media Indonesia berkomentar: Ada dua sisi penting dari peristiwa Jefry Noer versus para guru. Sisi pertama adalah arogansi kekuasaan yang turun sampai ke tingkat bupati. Di era otonomi daerah, para bupati tiba-tiba merasa menjadi raja-raja besar yang tidak suka dikritik. Sisi kedua adalah harga diri yang terluka yang kemudian melahirkan solidaritas kelompok yang begitu dahsyat, sehingga memunculkan guru sebagai kekuatan penekan. Ini, mungkin bagus untuk pendidikan politik. Bahwa, setiap warga negara memiliki hak bersuara dan berserikat untuk memperjuangkan kepentingan. Kasus Jefry Noer membuka mata bagi kelompok kepentingan untuk melirik guru sebagai kekuatan penekan yang efektif. Dengan tingkat penghasilan yang memilukan, guru sangat potensial untuk dibayar sebagai demonstran. Kalau ini yang terjadi--dan sangat mungkin mengingat sebentar lagi kita akan memasuki masa kampanye pemilihan umum--dunia pendidikan berada dalam bahaya. Guru yang dipuja sebagai pahlawan tanpa tanda jasa bisa berubah menjadi penjual jasa demi atribut pahlawan.